Tim Hore Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) 2015
Informasi tentang acara PPBI (Pertemuan Pengamat Burung Indonesia) tahun 2015 ini hadir begitu saja di depan mata saya saat membuka laman FB di ponsel. Saya mengangkat alis mengingat sudah banyak sekali kegiatan yang saya lewatkan. Dan dari yang saya baca itu, pertemuan para birdwatcher tahun ini adalah yang ke-5. Ah, ya. Tahun lalu kegiatan serupa di Cangar tentu saya lewatkan. Baluran Birdwatching, kompetisi pengamatan burung di Baluran juga (apalagi) saya lewatkan. Kopi darat FOBI juga waktu itu saya lewatkan. Terakhir saya ikut kegiatan serupa adalah pengamatan raptor migran 5 tahun lalu! Tahun ini haruskah saya lewatkan juga? Lokasinya dekat, lho. Bandung. Bisik saya pada diri sendiri.
Tentu alasan tidak ikut kegiatan semacam itu adalah sulitnya meminta izin dari orangtua. Jangankan kemping di Baluran, pengamatan di mangrove Angke saja saya bisa berdebat panjang lebar dulu sebelum berangkat. Lalu kali ini? Kondisinya adalah saya sudah menikah dan ada bayi! Huaaa… ibu mana yang mengajak anaknya pengamatan burung?! :O
Tapi saya tetap saja mengajukan izin ke Abang. Iyes, kali ini kan minta izinnya bukan sama orangtua hihihi. Ia menyahut boleh saja dengan catatan dede dibawa. Lalu gantian saya yang garuk-garuk kepala. Meski menyanggupi tapi tentu ini akan butuh banyak sekali persiapan. Kegiatan hari pertama dilakukan di Bandung Kota, sementara pengamatan akan dilakukan di Ranca Upas, Ciwidey.
Hal pertama yang kemudian saya lakukan adalah menghubungi panitia. Hasna nama kontak person yang katanya bisa ditanya-tanyai. Saya bilang, “Bolehkah bawa bayi? Hasna menjawab boleh saja. Lalu bisakah kami ikut kemping? Kali ini ia tidak menyarankan karena suhu di Ranca Upas kabarnya bisa mencapai 5 derajat celcius dan ia tidak yakin itu aman untuk bayi kami.
Baiklah. Saya pun mulai dengan membuat Plan A hingga Plan D sambil mencari-cari info mengenai kemping di Ranca Upas, suhunya, hotel atau penginapan, tiket kereta, hingga menelepon kawan Abang yang berprofesi sebagai supir di salah satu travel Jakarta-Bandung. Bepergian dengan naik kereta tentu sangat menggoda saya, tapi keberangkatan paling pagi adalah pukul 5. Itu berarti kami harus berangkat dari rumah sekitar pukul setengah 4 pagi. Kalau berangkat sejak Jumat tentu kami harus mencari tempat bermalam lagi dan menunggu Abang pulang kerja dulu.
Saya pun sempat pesimis saat itu. Info penginapan di sekitaran Ranca Upas minim sekali didapatkan. Kalaupun ada kamarnya sudah full booked semua. Sebagai jaga-jaga, kami pun membeli jaket khusus udara dingin untuk bayi. Sayang seribu sayang, begitu kiriman jaket dibuka saat itulah kami baru tahu kalau dede Arsa takut sama bulu-bulu, benang, dan semacamnya! Onde-mandeh! Bagian dalam jaket itu adalah bulu angsa dan dia jejeritan begitu dipakaikan. Esoknya kami coba memberinya bunga dari pohon jambu (tahu kan ada bagian putik yang seperti bulu-bulu itu?) dan dia ogah megangnya. Huaaa! Begitupun dengan rambutan dan bahkan untaian benang yang terlepas dari pakaian.
Kami mencoba membujuknya setiap hari. Mendekatkan jaket tersebut pada dirinya, membentangkannya di kasur, dan mengusapkan ke pipinya yang kemudian malah ia jauhi! Blaah.. Macam mana ini di Bandung. Saya pun semakin gencar untuk mencari penginapan dan mencoret kemping dari daftar acara PPBI ini.
Rasa pesimis juga datang manakala KTP saya entah ada di mana sementara menaiki kereta antar kota sekarang ini harus melewati pemeriksaan KTP.
“Nggak jadi aja apa ya? KTP nggak tahu di mana.. penginapan nggak dapet-dapet.” kata saya pada Abang.
“Coba cari dulu.” sahutnya.
Pada akhirnya KTP saya ketemu, nyelip di dompet Abang, menempel pada KTP miliknya sehingga tidak terlihat. Fiiuuh… Kami pun langsung pesan tiket dan di beberapa hari terakhir akhirnya mendapatkan kamar di penginapan sekitar Ranca Upas. Alhamdulillah.
******************
28 November 2015

Dede Arsa tak hentinya meminta titah di atas kereta. Rupanya ia begitu excited berada di dalam kereta dan memerhatikan penumpang lain. Ia menggamit tangan saya untuk memeganginya berjalan di sepanjang gerbong, bolak-balik hingga saya mabuk karena berjalan di antara goyangan kereta.
Pukul 9 lewat kami tiba di gedung BPLHD kota Bandung yang kemudian disambut Hasna di depan gedungnya. Acara rupanya dilaksanakan di lantai 6. Saya sempat deg-degan karena niatnya mau mengganti baju dede dulu begitu tiba. Sayangnya toilet lantai 6 berada di ujung dengan memasuki aula tempat acara dilaksanakan terlebih dulu. Duh, melewati sekian banyak orang dengan membawa bayi tentu akan menarik perhatian banyak orang. Tahu gitu tadi saya ke toilet lantai 1 dulu saja ihiikkss..
Pada akhirnya saya menarik nafas dan masuk ke ruangan bersama Abang. Beberapa orang berkomentar tentang bayi dan salah satunya berdiri memberi saya tempat untuk duduk tapi saya tolak karena sebenarnya tujuan utama saya masuk ke ruangan adalah menuju toilet terlebih dulu.
Usaha saya mengganti baju dede rupanya gagal total karena ia yang heran tiba-tiba masuk ke ruangan berisi banyak orang lalu berganti dengan ruangan sempit membuatnya menjerit di toilet dan ogah digantikan baju. Ditambah lagi sepertinya saat itu sudah masuk jam tidur paginya. Maka mulailah ia menangis yang kemudian membuat saya sempat khawatir tangisnya membuat konsentrasi peserta acara di ruangan sebelah mabur bablas karena jeritan bayi. Saat itu saya merasa pilihan saya untuk membawanya serta adalah tidak tepat.
Tapi sebentar! Tidak lama disusui ia pun tertidur. Saya yang meminta Abang menyusul ke toilet pun akhirnya hanya terduduk di dekat tangga di luar ruangan sambil memangkunya. Saya melirik ke tangga bawah, bagaimana kalau turun lewat tangga ke lantai 5? Akhirnya kami pun turun lewat tangga dan balik lagi ke lantai 6 lewat lift. Abang lalu menggendong dede yang tertidur dan akan menunggu di luar sementara saya masuk kembali ke dalam ruangan untuk mengikuti seminar.
Ah, i can’t define the feeling of thinking how blessed i am having them..
Saya pun kembali masuk ke dalam ruangan seminar. Pembicaraan yang tadi tidak sempat saya dengarkan dari balik pintu rupanya baru pembukaan. Seseorang yang duduk di sebelah saya kemudian berkata; “Mbak Yulia ya?”.
Saya menatapnya bingung tapi menyambut uluran tangannya. “Maaf siapa…”
“Swiss…” katanya lagi.
“Oalah… haha…” Ini toh orang yang selama ini misah-misuh di blog dan FB, membeli buku saya dan membuat postingan tentang buku tersebut, juga yang menyebabkan saya terjebak ingin ke Baluran di saat musim kupu-kupu karena jepretan fotonya.
Belakangan kalau tidak salah ingat, orang ini juga yang tadi sempat ingin memberi saya tempat duduk. Mas Swiss, Ranger tenar seantero Baluran. Kalau nggak percaya dia tenar, coba aja tanya sama banteng di sana XD.
Pembicara pertama adalah mas Yok Yok Hadiprakarsa dari IDOU atau Indonesian Ornithologist Union yang membicarakan mengenai Enggang Gading atau juga disebut Rangkong (CMIIW ya kalo saya salah catat).
Perburuan enggang gading kabarnya sudah dimulai sejak abad 16-17 pada era Dinasti Ming. Burung tersebut diburu karena paruh atau balungnya. Perburuan ini sayangnya hanya ada di Indonesia.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah perburuan enggang gading antara lain:
- Percepatan informasi dasar rangkong melalui kolaborasi antara akademisi, pengelola, dan masyarakat. Pada lini masyarakat, di sinilah citizen scientist berperan.
- Aksi konservasi lintas pihak.
- Bersama-sama masyarakat menjadi pelindung rangkong.
Di tengah seminar saya mengirimkan pesan ke Abang, bertanya “Dede nangis tak?” Jawabannya berupa kiriman foto mereka berdua yang lagi asyik mainan hehe, tenang deh saya.
Pembicara kedua yaitu Mas Giyanto dari WCS yang berbicara mengenai perdagangan burung secara ilegal. Menurutnya ia tidak sering mengamati burung di alam secara langsung tapi di pasar burung saat hewan-hewan tersebut menjadi komoditas ilegal yang marak diperjualbelikan. Ada sekitar 80% burung yang diambil dari alam dan marak sekali di Indonesia. Hal ini terutama terjadi di masa sekarang ketika kemajuan teknologi berkembang sangat pesat karena di beberapa kasus perdagangan burung justru terjadi via online bahkan melalui media sosial.

Pembicara ke-3 dan yang ditunggu-tunggu oleh hampir semua peserta adalah sekilas mengenai Atlas Burung Indonesia (ABI) oleh Mas Imam Taufiqurrahman. Atlas Burung ini masih dalam proses dan melibatkan seluruh pengamat burung dari seluruh Indonesia yang pastinya membutuhkan data dan energi yang sangat besar.

Lebih jauh tentang Atlas Burung Indonesia ini bisa baca sekilas di sini.
Setelah itu istirahat makan siang dan persiapan berangkat ke Ranca Upas. Diskusi lebih lanjut mengenai ABI akan dilanjutkan setibanya di Ranca Upas nanti. Peserta akan berangkat dengan truk tronton dan kendaraan pribadi, sementara saya bertiga akan menumpang mobil panitia.

Sebenarnya kami jadi nggak enak dengan kemurahan hati panitia. Terutama Cipta dan Jasmine yang saat itu mengantar kami. Bahkan hingga menempuh macet dan kekeuh memaksa mengantar hingga penginapan dan kekeuh pula ingin menjemput kami kembali esok paginya.
Tiba di penginapan sudah gelap dan sempat kecewa dengan fasilitasnya. Padahal niatnya kalau memuaskan mau saya tulis reviewnya, laah liat kamar mandinya pun boro-boro deh nulis review huaaa… Ditambah tengah malam dede jejeritan nangis hingga hampir 1 jam. Entah karena lelah, telat menyusu, karena kami mencoba memakaikan jaket padanya, atau something wrong yang lain. Akhirnya ia tertidur sendiri di gendongan Abang karena kelelahan menangis.
29 November 2015
Pukul setengah 3 dini hari suhu dingin menyerbu. Saya sudah pakai sarung tangan segala dan masih saja menggigil. Heran sekali si dede bisa tenang saja tanpa jaket dan bahkan tadi memaksa piyama lengan panjangnya untuk digulung sampai hampir batas siku. Diam-diam saya merapatkan selimut bulu pada tubuhnya dan memastikan ia tetap hangat. Gimana mau ngajak kemping kalau anaknya nggak mau pakai jaket begini?!
Esoknya saya coba cek pakai instaweather. Dan saya yakin itu nggak akurat. Karena menggigil luar biasa saat ambil air wudhu. Syukur tempat kami menginap termasuk pemandian air panas. Saya sih nggak bisa bayangin kalau sudah beku macam itu lalu ke toilet harus ketemu air dingin pula.
Pukul 4 dini hari seperti biasa dede terbangun dan saya bersyukur sekali melihat raut wajahnya yang penuh tawa seperti biasa saat di rumah. Dan ia pun tetap stay cool, nggak kaya emaknya yang menggigil kedinginan.
Pukul setengah 6 Jasmine menelepon dan bertanya apakah kami ingin dijemput. Karena peserta akan mulai pengamatan dan trekking pada pukul 6. Kami menolak dan memutuskan untuk naik angkot saja nantinya karena kami masih harus packing ulang dan lagipula kasihan panitia kalau sibuk ngurusin kami doang sementara masih ada 100 peserta lainnya. Ffiuuuh… Jasmine sempet nggak enak tapi kami kekeuh nggak mau dijemput hehe.

Pukul setengah 8 kami bertiga baru sampai di Ranca Upas. Setelah menitipkan tas pada Cipta dan panitia lain yang stay di pos, kami pun menyiapkan bekal dan barang yang akan dibawa. Entah trekking sampai mana yang penting disesuaikan kondisinya dengan dede.
Begitu melewati penangkaran rusa, laah ni anak malah tidur. Saya pun sempat melewati tanah-tanah becek dan memutuskan untuk trekking ke jalan setapak untuk masuk ke dalam hingga kemudian berhenti karena di depan sana tak ada batu-batu lagi. Tanahnya terlalu njeblos untuk diinjak dan saya khawatir terpeleset. Yo wess, pengamatan di sekitar situ saja dan melihat elang yang tidak juga berhasil saya identifikasi sebagai elang apa. Habis itu perut krucuk-krucuk dan pengamatan berakhir dengan kami yang belok ke warung haha.

Sambil menunggu yang lain kembali dari pengamatan, kami lalu menunggu di depan pos BKSDA dan mengobrol sedikit dengan Mas Imam. Juga dihampiri oleh Pak Bas yang kemudiansaya, Abang, dan Pak Bas jadi ramai membahas mengenai database perpustakaan dan buku-buku.
Hingga pukul 11 kurang belum ada peserta yang kembali. Dan karena cuaca mendung, juga khawatir lalu lintas ke Bandung macet maka dengan terpaksa kami harus pamit duluan untuk mengejar kereta pukul 4 sore. Sesungguhnya saya yang hanya sebagai tim hore PPBI dan luar biasa amatiran ini bersyukur sekali bisa ikut acara tersebut. Meski tidak ikut keseluruhan diskusi atau pengamatan ke dalam hutan dan hingga saat catatan ini dituliskan hanya bisa mengagumi luntur gunung yang dijepret dengan luar biasa cantiknya oleh pengamat lain lewat layar medsos, tapi bersyukur sekali bisa bertemu dengan sekitar 100 orang pengamat burung dari berbagai lokasi di Indonesia.
Terima kasih kepada seluruh panitia yang sudah kami repotkan; Hasna, Jasmine, Cipta, Ader, dan kawan-kawan lain yang sudah luar biasa merancang kegiatan PPBI tahun 2015 ini. Terima kasih juga kepada peserta lain yang sudah pengertian dengan adanya emak-emak ini yang kekeuh bawa bayinya hehe.

Sepertinya karena sudah niat dan diridhoi Allah (terima kasih!) maka semesta pun mendukung. Pertama, kami diberi kebaikan bertemu dengan panitia yang luar biasa baiknya. Kedua, akhirnya saya bisa kopdar dengan trio Pak Bas, Mas Swiss, dan Mas Imam setelah selama ini hanya interaksi lewat dunia maya. Ketiga, kami bertemu dengan ibu dan mamang penjual strawberry yang sedang menimbang hasil panennya lalu dengan murah hatinya memberikan dede strawberry 1 wadah kecil. Mereka menolak dibayar padahal kami niatnya mau beli. Semoga diberi rezeki yang semakin berlimpah ya. Aamiin.

Kebaikan keempat adalah dalam perjalanan pulang ke stasiun kami melewati ibu warung yang sedang mengupas kentang yang sudah dikukus. Rasanya saya langsung freeze saat itu! Karena sesungguhnya sejak kemarin kami membawa kentang mentah di tas sebagai bekal makan dede di hari minggu itu tapi tidak bertemu kesempatan ataupun tempat untuk mengukusnya. Kami pun langsung membeli kentang kukus yang masih panas tersebut dan setibanya di stasiun dede langsung lahap memakannya.
Hal yang paling penting adalah ketika kami (terutama dede) bisa pulang dan tiba kembali di rumah dengan sehat dan selamat. Meski saya sempat sakit kepala karena sepertinya masih kurang banyak minum air putih. Terima kasih banyak untuk Abang yang sudah mengizinkan emak ini ikut seminar dan pengamatan.
Jika ada yang menanyakan kenapa dengan kekeuhnya saya mengajak bayi saya ikut pengamatan? Jawabannya bukan supaya memaksa ia menjadi seperti saya. Saya hanya ingin mengenalkannya ke alam dan ingin menunjukkan padanya bahwa saya mengizinkannya untuk mengamati secara langsung. Jauh sebelum acara PPBI ini kami berjalan-jalan ke taman, mengamati kupu-kupu dan burung, juga memunguti daun yang jatuh. Tidak apa kotor sedikit.
Tidak apa juga saya kehilangan momen trekking bersama di dalam hutan atau foto bersama seluruh peserta dan panitia. Suatu hari nanti kan ada saatnya ‘De Arsa berjalan di depan saya, mungkin saja mencangklong kamera dengan lensa tele yang super canggih dan tripod yang tidak seberat saat ini. Atau bisa saja ia berada di kota untuk merancang kereta macam shinkansen yang cepat itu untuk mengatasi permasalahan transportasi publik, sementara saya trekking di dalam hutan untuk mengamati luntur gunung.
Semoga kau tumbuh dan menjadi profesi apapun yang kau inginkan, selalu sayang agama, dan sayang lingkungan ya, Nak! Aamiin.
