Tuesday Dec 10, 2024

Lahan basah dan ancaman terhadapnya

Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai hari lahan basah sedunia. Hmm.. apa ya lahan basah itu?

Lahan basah atau istilah bahasa inggrisnya yaitu wetlands adalah sebuah area yang selalu tergenang air, contohnya seperti hutan mangrove, danau, rawa, sungai, dan pesisir pantai. Keanekaragaman hayati flora dan fauna yang ada biasanya mencakup jenis-jenis pohon mangrove dan juga satwa seperti burung air (waterbirds), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing, katak, kodok, kadal, dan juga ular.

Hutan mangrove Jakarta

Sementara pohon mangrove yang ada di hutan mangrove biasanya mencakup jenis seperti api-api (Avicennia marinna), bakau gandul (Rhizopora mucronata), bakau kurap (Rhizopora styloso), bakau lautik (Rhizopora aploulata), pidada jenis Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris, lindur (Bruguiera gymnorrhiza), dan nipah (Nypa fraticans). Ini belum termasuk pepohonan jenis lain yang tumbuh di sekitaran lahan basah.

Pohon mangrove bisa mudah dikenali salah satunya dengan ciri akar yang mencuat di atas permukaan air, meski tidak semua jenis mangrove akarnya mencuat ya. Tapi yang jelas, mangrove yang tumbuh di area lahan basah memiliki banyak sekali manfaat. Di antaranya yaitu mencegah abrasi air laut, menjadi tempat tinggal satwa-satwa seperti monyet ekor panjang dan tempat mencari makan bagi burung-air, tempat ikan bertelur, serta mampu menyerap karbon sehingga lahan basah ini sangat penting perannya bagi pencegahan perubahan iklim.

Hutan mangrove juga penting sekali sebagai tempat pendidikan dan penelitian masyarakat segala usia.

Selain burung-air yang mencari makan di hutan mangrove, ada juga monyet ekor panjang yang berperan dalam penyebaran biji salah satu jenis mangrove seperti pidada (Sonneratia caseolaris). Mereka memakan buah tersebut kemudian biji buah pidada yang tidak dicerna dikeluarkan kembali melalui feses mereka.

Sayangnya, berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman saat rutin mengunjungi hutan mangrove, perilaku monyet ekor panjang tersebut berubah akibat banyaknya sampah yang berada di area tersebut. Mereka menjadi terbiasa mencari makan di antara kantung plastik dan tumpukan sampah. Hal ini juga menyebabkan sang monyet-monyet yang terbagi menjadi beberapa kelompok itu menjadi agresif setiap melihat manusia yang membawa makanan ataupun kantung plastik. (ehem…kotak-makan salah satu kawan pernah dibawa dan diseret-seret si macaca. Hal ini terjadi ketika kami sedang asik tidur-tiduran di bawah pohon).

Perilaku tersebut juga disebabkan akibat masyarakat yang terkadang datang dan memberi mereka makan. Perlu diingat bahwa sebenarnya monyet (dan hewan lain di alam) sudah memiliki makanan sendiri yang behubungan dengan alam dan habitat mereka (seperti penyebaran biji pidada melalui feses tadi) sehingga manusia tidak perlu memberi makan dengan makanan yang dibawa dari luar.

Selain merubah perilaku monyet ekor panjang, sampah-sampah yang berada di kawasan juga mengancam keberadaan hutan mangrove dan segala ekosistem di dalamnya. Burung yang ada pun harus mencari makan di antara sampah tersebut. Contohnya saja Muara Angke di Jakarta Utara yang merupakan muara dari 13 sungai di Jakarta, sayang sekali harus juga menjadi muara dari berbagai macam sampah yang terbawa bersama aliran sungai dan masuk ke area hutan mangrove di pesisir Jakarta. Sampah paling utama adalah kantung plastik dan stereofoam. Sampah plastik sangat berbahaya bagi hutan mangrove karena bisa menyangkut di akarnya dan bisa menyebabkan pohon tersebut mati karena tidak bisa bernafas.

Jika banjir terjadi di area hulu sungai ataupun di bagian pertengahan, maka di muaranya bisa ditemukan benda-benda seperti kasur, kulkas, dan barang-barang rumah tangga lain. Seorang teman bahkan pernah menjumpai sebuah sofa  sewaktu ia berkunjung ke Pulau Rambut, sebuah pulau di wilayah DKI Jakarta yang hanya dihuni oleh burung-burung air dan terbang mencari makan ke Muara Angke.

Selain sampah, faktor lain yang merusak hutan mangrove ini tentu saja adalah adanya pembangunan permukiman di sekitar area. Area mangrove dulu pastinya lebih luas dari apa yang ada sekarang, pembangunan permukiman berperan dalam menyusutnya luas lahan. Efek jangka panjangnya sangat berbahaya karena wilayah tersebut akan mudah tergenang air laut, satwa-satwa akan kehilangan tempat tinggalnya, ikan akan berkurang, dan laju perubahan iklim akan semakin cepat karena hilangnya hutan mangrove sebagai penyerap karbon.

Sampai kapan ya, manusia-manusia sadar akan pentingnya sebuah lahan basah bagi kehidupan di bumi? Jangan sampai harus menunggu sampai bumi rusak dulu. Yuk, kenali lahan basah di sekitar kita dan lakukan aksi yang sebisa mungkin kita lakukan.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top