Belajar astronomi dan trekking di Curug Ciparay bersama NDI-Kids (catatan 2019)
Bulan Juli 2019 , kami sekeluarga mengikuti event yang diselenggarakan oleh Nol Derajat Indonesia (NDI)-kids. Lokasi kemping adalah di tempat perkemahan Curug Seribu, Cigamea, Bogor. Acara kemping ini ditujukan untuk keluarga. Tema kemping adalah mengamati bintang dan trekking ke curug terdekat.
Saat itu kami membawa serta A dan N. Kemping ini adalah yang pertama untuk N yang saat itu usianya baru 7 bulan. Sementara bagi A, ini adalah kemping yang ketiga.
Kami menyiapkan semua barang bawaan yang pastinya lebih membludak dibandingkan beberapa tahun lalu saat baru memiliki satu anak. Karena tidak muat di carrier yang kami miliki, maka kami meminjam carrier milik kakak ipar.
Kami berangkat sekitar pukul 9 pagi dengan kereta commuter line menuju Bogor. Waktu untuk berkumpul di lokasi acara adalah pukul 2 siang. Awalnya kami sempat ingin berangkat bersama panitia, namun ternyata tidak memungkinkan karena bawaan panitia pun sangat banyak. Panitia yang adalah Dinar dan Yoki itu menawarkan mobil kembali ke stasiun setelah menurunkan barang di lokasi, dengan catatan agak lama menunggunya. Kami pun setuju dan memutuskan untuk makan di stasiun terlebih dulu sambil menunggu mobil.
Sayangnya, kemudian Yoki mengabari kalau terjadi kemacetan parah sehingga mobil tidak memungkinkan menjemput kami. Kami pun mencoba memesan taxi online dengan biaya yang sangat tinggi. Karena tidak ada pilihan, kami akhirnya bertumpu pada taxi online tersebut,
Supir taxi online rupanya adalah seorang ibu. Ketika menjemput kami ia bingung dan tidak yakin dengan tujuan yang kami maksud. “Ini beneran mau kemping?” Katanya bingung. Sepanjang jalan kami bersyukur mendapat taxi online dengan supir si ibu yang mengerti jalan dan bisa mencari alternatif jalur yang tidak macet.
Satu jam kemudian kami tiba di lokasi dengan selamat. Alhamdulillah. Semoga si ibu juga mendapat keberkahan selalu. Aamiin.
Area kemping ini sangat dekat dengan lokasi parkir dan warung. Kami menaiki tangga berbatu menuju area kemping. Suara serangga dan aroma rumput mewarnai langkah kami. Saat tiba di lokasi rupanya baru beberapa keluarga yang sudah hadir. Tenda-tenda pun baru berdiri.
Kami menempati salah satu tenda dan menerima sleeping bag juga matras yang dibagikan panitia.
A terlihat bersemangat dan menjelajahi rerumputan di depan tenda. Cukup banyak belalang dan serangga lain yang muncul menarik perhatian A. Ia tidak takut atau kabur seperti biasanya.
Sementara adik N masih terbengong bengong di dalam tenda. Suara terpal di dalam tenda yang cukup berisik kalau terinjak membuatnya cukup sering menjadi kaget dan menangis. Sesekali ia menoleh ke arah luar tenda dan berusaha menarik rumput yang tumbuh di dekat pintu tenda.
Menjelang pukul 3 dan peserta lain sudah berdatangan, tim panitia menggelar matras dan kami pun duduk melingkar, menikmati teh panas dan cemilan kacang rebus sambil saling mengenalkan tetangga sebelah. Iyah kami harus mengenalkan tetangga kiri-kanan dan bukannya diri sendiri sehingga kami wajib berkenalan terlebih dulu.
Setelah itu ada intermezzo sesi potong rumput dari pengelola tempat. Rumput yang terlampau tinggi memang cukup membuat gatal, sayangnya seharusnya sesi potong rumput itu digelar sebelum peserfa berdatangan.
A terus menerus bertanya kapan bisa ke air terjun. Ia rupanya sudah tidak sabar mau trekking ke air terjun.
Anggota klub astronomi kemudian membagikan karton dan memandu para keluarga membuat peta bintang. A bersemangat menggunting bersama Aba. Dan ini hasilnya.
Sementara saya bolak-balik menghabiskan teh panas dan bersama adik N mengamati kakaknya saja. Ia masih terus berusaha menggapai-gapai rumput yang mampir ke matras. Sesudahnya A sempat meminta pinjam kamera dan memotret sambil berkeliling.
Enaknya tempat kemping berdekatan dengan warung adalah kami bisa bolak-balik membeli sesuatu yang dirasa kurang, bahkan memesan teh panas dan makan mie di lokasi. Ditambah lagi bisa juga numpang ke toilet berkali-kali. Oh iya, di warung ini juga tersedia lesehan yang bisa kita pakai untuk shalat. Hanya saja untuk anak-anak pastikan berjalan hati-hati karena undakan batu yang cukup tinggi dan curam dari dan menuju warung.
Malam harinya ada sesi bermain ular tangga dengan tema astronomi untuk anak. Rupanya sesi ini seharusnya digelar sore hari tapi kelompok astronomi amatir yang menangani acara terkena macet parah hingga baru hadir malam hari.
Meskipun gelap dan terkadang turun gerimis, A bersemangat sekali dan penasaran dengan permainan ular tangga. Ia sesekali merajuk untuk melepas jaket dan kupluknya. Anak-anak lain seusianya dan di atasnya bergantian menjadi pion ular tangga. Saya tawarkan A untuk menjadi pion juga tapi ia menggeleng malu.
Karena adik N kemudian menangis minta menyusu akhirnya saya balik ke tenda terlebih dulu. Sekitar pukul setengah 10 A kembali ke tenda dan berkata kalau nanti dini hari disuruh bangun pukul setengah 2 mau lihat bintang. Kami mengangguk saja tapi tak yakin mau membangunkannya dini hari. Senang melihatnya excited tapi ia tidak tidur seharian ini sehingga khawatir esoknya malah rungsing.
Setelah A dan adik N tertidur kembali, saya pergi ke warung dengan senter ditemani sepupu yang saat itu sudah sampai di lokasi dengan keluarganya. Mereka terkena macet parah sekali di area tol.
Saya membeli beberapa kopi susu sachet dan berdua Abang, kami akhirnya merebus air dengan trangia di luar tenda dan menikmati teh panas juga kopi hangat sambil tiduran di matras. Di tenda seberang, para anggota klub astronomi asyik memasak mie.
Sewaktu kami kemping di Cibodas, bayangan menyeduh minuman hangat sambil bercengkrama bareng gagal sudah karena saat itu kami sungguh lelah akibat A menangis dan tantrum cukup lama akibat banjir stimuli. Suara aliran air yang terlalu kencang di telinganya saya duga adalah salah satu penyebabnya selain juga karena ia kurang tidur seharian. Esok hari saat trekking ke air terjun saya harus kembali mewaspadai hal tersebut meski ia sudah cukup jauh berkurang rasa sensitifnya terhadap lingkungan baru.
Dini hari sekitar pukul 2, saya mendengar suara orang bercakap-cakap. Sayangnya saat itu saya khawatir anak-anak malah terbangun sehingga saya tidak keluar dari tenda. Sayang sekali karena ternyata di luar mereka sedang mengamati bintang dan planet saturnus dengan teleskop.
Udara saat itu dingin namun di dalam tenda tidak sampai sedingin seperti di Cibodas.
Pagi hari kami shalat subuh, sarapan dan berkumpul di matras untuk membuat jam matahari. A menggunting dan memberikan lem pada kertas dibantu sepupu. Setelah sudah jadi, kami menjelaskan pada A bahwa dulu sebelum ada jam dengan baterai, orang-orang mengetahui waktu dengan jam matahari. Setelah itu kami pun dipanggil per keluarga untuk mengintip matahari lewat teropong.
Huaa senangnyaaa! Dulu saya sempat memiliki cita-cita punya teropong bintang seperti itu. Sayangnya gagal dan tidak tahu ada klub jenis astronomi seperti ini.
A belajar bahwa kita tidak boleh melihat matahari secara langsung tapi harus menggunakan teleskop untuk melihatnya. Ada dua jenis teleskop besar yang bergantian kami gunakan. Yang pertama mengintip matahari berupa bulatan putih saja. Sementara satu lagi berupa bulatan merah. Keduanya menggunakan filter yang berbeda.
Setelah puas mengamati matahari lewat teleskop, anak-anak diajak bermain lagi dan belajar mengenai museum. Kali itu temanya tentang museum bahari dan para pengarung yang menggunakan benda langit sebagai panduan.
Pertanyaan diajukan dan siapa yang bisa menjawab diharapkan tunjuk tangan. A menunjuk tangan saat pertanyaan, “Planet yang paling jauh apa ya?” Namun sewaktu disodorkan mik, ia menggeleng dan berkata “Nggak tau.”
Sesudahnya kami pun bersiap trekking.
Jalur berbatu di awal cukup landai. A melesat di depan bersama para sepupu dan bahkan tak beriringan dengan saya yang menggendong adik N. Sesekali saya berbarengan dengan seorang anak yang mengalungkan kamera kecil berwarna cerah di lehernya dan memotret bunga di perjalanan. Sempat saya berpikir untuk membeli kamera yang sama untuk A.
Di perjalanan saya menyadari keanehan yaitu sol sepatu saya ternyata hampir copot! Waduh gawatnya. Saya terus memikirkan hal tersebut dan bagaimana nanti saat perjalanan pulang dari air terjun.
Semakin jauh berjalan, jalur berbatu semakin licin dan ekstrim sehingga saya saling berpegangan pada sepupu. Saya terus berdoa semoga perjalanan lancar dengan kondisi sol sepatu hampir lepas.
Setelah melewati jalur yang sangat ekstrim dan licin, akhirnya kami tiba di lokasi air terjun Ciparay.
Aba memanggil kalau A meminta mendekati air terjun hanya dengan saya. Saya pun melepas sepatu dan nyeker di lokasi dengan bebatuan cukup licin tersebut.
Akhirnya saat itu pula saya merasakan menjadi ibu dengan anak yang memiliki rasa penasaran tingkat tinggi. Dan di sini pula saya harus merelakan banyak momen yang tidak terekam karena harus meletakan kamera.
A saat itu tidak perduli dengan kakinya yang basah. Ia juga melepas sepatunya mengikuti saya. Ia terus mendesak meminta agar dirinya dan saya mendekati air limpahan dari atas. Saya menyerah dan memgikuti rasa penasarannya. Berulang kali saya mengingatkan A untuk tidak berlari dan melangkah satu persatu di antara bebatuan berlumut yang licin.
A sudah tak perduli dengan kakinya yang basah dan kotor. Ia melesat ke sana ke mari.
Kami akhirnya mengambil spot di sungai satu lagi yang lebih sepi dan tidak licin. Ada dua aliran sungai di curug tersebut. Aliran pertama merupakan air limpahan curug dan merupakan air dingin.
Sementara sungai di sebelahnya merupakan aliran air dari kawah dan seharusnya terasa hangat. Namun entah kenapa hari itu tidak terasa hangat. Perbedaan dari bebatuan juga mencolok di kedua aliran air. Aliran air dingin berbatu-batu hitam, licin dan berlumut. Sementara aliran air yang satunya, berdampak pada batu yang berwarna coklat hingga merah dan tidak licin. A asyik bermain air dan katanya mau menangkap ikan di sungai.
Setelah puas, A berganti baju di toilet. Patut diapresiasi toilet di curug sangatlah bersih. Salut! Petugas yang masih terbilang muda itu sigap sekali membersihkan kamar mandi yang jumlahnya sekitar 4-5 pintu. Ini toilet umum paling bersih yang pernah saya temui sepanjang saya traveling di dalam negeri. Tidak ada sampah, tidak ada aroma bau.
Setelah menghangatkan diri dengan minuman panas dan mie rebus di warung yang ada di dekat air terjun, kami bersiap menempuh perjalanan menanjak lagi untuk kembali ke tenda. Kali ini adik N digendong Abang karena saya mengkhawatirkan sol sepatu yang lepas sehingga takut terjatuh. Bersyukur juga N digendong Aba karena ternyata jalur menanjak saat pulang bikin ngap-ngapan 😛.
A menjadi pemimpin grup kecil kami saat itu. Ia memimpin sepupu saya (yang sekaligus adalah tante dan om dari A namun dengan usia yang masih belasan 😁), untuk berjalan dan mencari kepiting di selokan air kecil. A terlihat sumringah dan menikmati perjalanan.
Sementara itu, sol sepatu saya akhirnya benar-benar lepas. Hiks… Sekitar satu jam kemudian akhirnya kami tiba dengan selamat di tenda. Alhamdulillah sungguh terharu dengan kondisi sol sepatu copot 😭.
Sesudah itu kami bilas kembali dan berganti baju. Saat itulah kami dikejutkan dengan rombongan monyet ekor panjang yang berjumlah puluhan (mungkin) menyeberang ke hutan sebelah.
Sesudahnya kami menikmati makan siang dan beres-beres untuk pulang.
Terima kasih untuk NDI-Kids atas event seru pengamatan astronomi kali itu dan berpertualang ke air terjun!