Cerita tentang kenapa memulai zero waste
Zero waste adalah sebuah kegiatan mengurangi sampah dalam aktivitas sehari-hari hingga batas nol. Tidak dipungkiri, di setiap kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah. Kalau satu orang saja bisa menghasilkan banyak sampah, maka tak heran kalau jumlah sampah yang ada di bumi ini banyak sekali.
Coba saja tengok Teluk Jakarta atau yang paling dekat ya pasar di sekitaran rumah. Jumlah sampah yang dihasilkan bisa sampai hitungan ton. Apalagi sesudah acara seperti konser, perayaan malam tahun baru, hingga pernikahan.
Saat melakukan perjalanan ke Pulau Rambut yang berada di kawasan Kepulauan Seribu, kami sekeluarga menemukan banyak sekali sampah. Mulai dari ban mobil, sendal, sepatu, bola plastik, wadah stereofoam, kantong plastik, dan lain sebagainya.
Baca juga: cerita perjalanan ke Pulau Rambut
Sampah-sampah tersebut menyangkut di akar mangrove. Ini menimbulkan masalah baru yaitu membuat akar mangrove tertutup dan bisa mengakibatkan pohon penahan gelombang itu tidak bisa bernafas dan mati.
Masalah lain tentunya karena Suaka Margasatwa Pulau Rambut adalah rumah bagi berbagai burung air (waterbirds). Tentunya mereka mencari makan, membuat sarang, dan hidup di sana.
Nah, ini baru ngomongin masalah satu pulau doang. Bagaimana kalau seluruh sampah yang ada di permukaan bumi? Dan kenapa bisa banyak sekali ya sampahnya?
Jawabannya adalah karena kita terbiasa dengan berbagai macam kemasan. Setelah plastik ditemukan lebih dari 1 abad lalu, meningkatnya jumlah penduduk bumi dan kebutuhan akan material yang murah dan mudah digunakan menjadi salah satu faktor terbesar dalam semakin dibutuhkannya plastik dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya plastik dibuat memang untuk memudahkan. Namun lama kelamaan manusia jadi terlena dan mengakibatkan bertambahnya jumlah sampah karena sifat plastik yang sulit terurai.
Kini, dalam satu kali pembelian makanan saja, kita bisa menghasilkan empat buah sampah plastik. Contoh sederhana, ketika saya sedang menanti antrian dokter di Rumah Sakit dan ingin teh manis hangat. Saat itu kami tidak membawa bekal teh manis dari rumah, maka akhirnya saya membeli teh di kantin RS.
HANYA dari satu orang saya saja, sampah yang dihasilkan untuk pembelian HANYA satu buah teh manis yaitu:
- Kantong plastik transparan sebagai pembungkus luar
- Gelas plastik
- Tutup gelas plastik
- Sedotan plastik
Bayangkan saja berapa orang yang dalam sehari datang ke RS dan membeli teh manis hangat. Itu baru satu jenis minuman saja. Bagaimana kalau beli siomay, teh manis, soto ayam, nasi goreng, dan sosis bakar yang semuanya pakai plastik dan stereofoam.
Berlaku juga hal ini terutama saat pergi ke pasar. Entah berapa plastik yang dihasilkan saat seseorang membeli sayuran, buah, serta kue-kue di pasar. Termasuk juga saya, yang pernah seperti itu.
Karena itu semua ya akibatnya bisa jadi seperti ini, kan.
Tahun 2009 saat rutin berkunjung ke hutan mangrove di kota, saat itulah awal mulai saya menyadari pentingnya mengurangi sampah plastik. Di hutan mangrove terakhir di kota Jakarta itu, jumlah sampah plastik yang menutupi akar mangrove bisa mencapai ratusan dan sulit sekali terurai.
Sampah tersebut terbawa banjir lalu menyangkut di pohon mangrove. Bercampur pada makanan untuk burung air hingga monyet ekor panjang. Bahkan kabarnya perilaku monyet ekor panjang cenderung berubah dari yang biasanya memakan buah pidada merah (salah satu jenis pohon mangrove) menjadi mencari makanan di antara tumpukan sampah.
Saat itulah saya menyadari bahwa hal paling sederhana untuk mengurangi sampah adalah dengan membawa kantong belanja dan wadah makanan sendiri dari rumah.
Berhasil, kah? Kadang iya, seringkali tidak.
Saat itu, saya berada dalam kondisi dan situasi di mana pendapat saya tidak didengarkan oleh orang lain. Pendapat saya mengenai membawa kantong kain sendiri dari rumah dirasa aneh dan berbeda. Meski saat itu saya pun tidak memaksa orang lain untuk melakukan hal yang sama, setidaknya kantong yang saya pegang ya untuk barang yang saya beli sendiri saja. Namun sayangnya ketika pergi ke pasar, orang yang membersamai saya terkesan malu ketika saya menolak kantong plastik dari penjual. Takut kami dianggap aneh sepertinya. Sehingga setiap saya menolak plastik dari penjual, orang yang membersamai saya itu selalu kemudian menyanggah saya dan berkata pada penjual, “Nggak pa-pa, Bang. Pake plastik saja.”
Heu….
Maka seringkali, sukses tidaknya mengurangi sampah tergantung pada siapa orang yang bersama saya saat itu. Saat mulai bekerja kantoran dan kembali memulai diet kantong plastik, saya membawa kantong kain yang bisa digunakan untuk membawa makanan yang sudah dibeli dari warung sekitaran kantor. Meski pembungkus makanannya masih menggunakan plastik, namun setidaknya dalam satu hari saya bisa mengurangi satu kantong kresek. Jika saya membeli makanan bersama tiga orang rekan kerja dan mereka selalu nitip makanannya dalam kantong saya, maka berarti saya bisa mengurangi tiga buah kantong kresek dalam sehari. Dalam seminggu berarti ada lima belas kantong kresek yang dihemat. (Well, thanks buddies for trusting me brought my own bag. Terima kasih untuk tidak malu berjalan bersama saya wahai rekan kerja sesama pustakawan).
Hal tersebut rupanya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan para zero waster yang bahkan bisa menghasilkan sampah selama kurun waktu 6 bulan berupa setengah toples saja! Tapiiii memang di negara lain kan berbeda ya. Berbeda peraturan, berbeda kebiasaan. Jadi sampah setengah toples itu memang masih sangat sangat mustahil bagi saya untuk dilakukan. Karena ternyata setelah memiliki anak dan tinggal bertiga saja bersama suami, tantangan untuk ber-zero waste semakin seru. Saya katakan semakin seru saja (dan bukannya sulit) karena saya semakin menyadari banyak sekali sampah kemasan yang SELALU kita hasilkan.
Aba setuju saja dengan konsep zero waste. Masalahnya kami SERING LUPA untuk membawa sendiri kantong kain ataupun wadah makanan. Ini karena seringnya kami membeli makanan di luar dan bukannya memasak sendiri huhuhuhu. Kelemahan saya banget ini kalau soal masak.
“Beli ayam geprek ah.”
Begitu sampai di rumah baru ingat kenapa tadi nggak bawa wadah makanan sebagai pengganti stereofoam ayam geprek huhuhu.
Besoknya,
“Beli es kelapa ah.”
Begitu sampai di rumah baru ingat kenapa tadi nggak bawa botol minum sebagai pengganti plastik buat es kelapa.
Dan begitulah sering sekali terjadi.
Ini masih belum ditambah dengan beli sayur, tahu, telur, minuman dalam kemasan, roti tawar, kue, dan sederet kebutuhan lainnya yang kemudian rupanya menghasilkan sampah rumah tangga seabrek-abrek.
Duh, makan tinggal makan. Pake pusing amat sih mikirin sampah.
Mungkin ada yang bilang seperti itu. Tapi kalau bukan kita yang mengurangi sampah sebisa mungkin, lalu siapa lagi? Sementara anak-anak kita nantinya berada dalam lingkungan yang penuh dengan banyak sekali sampah.
Jujur saja, sebisa mungkin kami mengingat untuk membawa sendiri wadah dan kantong belanja. Tapi untuk hal-hal seperti membeli roti tawar, kue lupis, dan sederet lain yang sudah diplastikin dari sananya saya masih tetap membeli dan berpikir ya mau gimana lagi donk, sayanya cinta banget roti tawar T_T.
Ditambah lagi saya juga menjalankan toko online yang dalam proses pengiriman barang masih menggunakan kemasan plastik. Maka, sebisa mungkin ketika ada kesempatan untuk mengurangi sampah plastik dan melakukan zero waste, kami berusaha untuk tetap melakukannya.
Misalnya, plastik bekas roti tawar masih bisa saya cuci lagi dan nantinya bisa buat bungkus sayur atau buah untuk penyimpanan di kulkas. Atau nggak usah malu lagi bawa baskom ke warung sayur di depan rumah buat meletakan sayur-sayuran yang dibeli alih-alih pakai kantong plastik.
Masih banyak PR terkait zero waste bagi keluarga kami, dan masih jauh sekali untuk bisa hanya menghasilkan setoples kecil sampah dalam setahun. Setidaknya meninggalkan apa-apa yang bisa ditinggalkan.
One thought on “Cerita tentang kenapa memulai zero waste”