Belajar menempuh perjalanan: naik angkot
Pada tanggal 8 September 2018 kami memenuhi undangan pernikahan sepupu di Cipanas, Jawa Barat. Sejak awal, keluarga kecil saya dan kakak sudah berniat datang ke sana dan akan berangkat pada H-1. Saat itu dikatakan bahwa bapak kami tidak bisa berangkat di hari yang sama karena sudah ada jadwal lain sehingga tentunya kami tidak akan bisa bepergian nyaman dengan menggunakan mobil pribadi bapak.
Hal itu kami tanggapi dengan biasa saja. Toh memang sudah niat datang. Jadi kakak berencana untuk naik kereta sampai Bogor kemudian dilanjutkan naik mobil L300 rute Cianjur yang lewat Cipanas. Alternatif lain yang saya dan Abang berikan adalah naik bus menuju Cianjur yang berangkat dari Terminal Kampung Rambutan.
Ide ini (seperti biasa) menimbulkan kehebohan. Saya dan kakak yang masing-masing sama-sama punya anak super aktif diperkirakan akan kerepotan di jalan, apalagi saya sedang hamil.
Dan seperti biasa juga, tanpa bermaksud meremehkan kondisi, berapa kalipun rencana kami dipertanyakan, kami tetap pada rencana:
Berangkat naik angkutan umum pada H-1 pernikahan.
That’s it.
Menjelang hari keberangkatan yaitu Sabtu, kami mendapat kabar mengejutkan yaitu salah satu sanak famili kami koma di RS. Jumat sore hingga malam saya dan kakak menjenguk ke RS. Karena berada di ruang ICU dengan penjagaan yang super ketat maka kami hanya bisa bergantian menjenguk ke dalam ruangan.
Saat pulang dari RS sudah jam 9-an malam. Saya sudah mencicil barang-barang yang hendak dibawa esok paginya namun tetap saja belum di packing sementara esok kami akan berangkat pukul 05.30.
Hingga malam hari, saya sudah tak sanggup merapikan tas dan akhirnya tertidur. Pukul 4 subuh saya terbangun dan panik karena belum packing. Lalu langsung tenang begitu melihat tas sudah rapi. Abang pasti sudah melakukan packing secara kilat sebelum saya bangun.
Ketika mengecek HP, kami terkejut pada berita duka yang datang. Bude sudah berpulang saat tengah malam. Ah, rasanya saya lemas sekali. Terakhir kami bertemu sekitar sebulan yang lalu dan ia tak pernah mengeluhkan sakit apa-apa. Saya dan Abang lalu berdiskusi bagaimana baiknya keberangkatan kami. Akhirnya kami tetap bersiap dan naik motor ke rumah kakak sambil membawa barang bawaan. Sebelumnya saya melakukan pre-condition dulu pada A: menjelaskan bahwa ada sanak famili yang berpulang dan bahwa kami harus takziah dulu. Awalnya ia kekeuh menolak dan ingin sesuai rencana yaitu berangkat pagi-pagi ke Bogor. Syukurlah lama-lama ia mengerti dan kami akhirnya sarapan dulu di rumah kakak untuk nantinya bergantian melakukan takziah.
Sementara A dan Mas tetap hahihi seperti biasa.
Setelah bergantian takziah, kami akhirnya baru berangkat ke stasiun pukul 10 lewat. Saya dan Kakak sama sekali tak bisa menahan kantuk di kereta sehingga kami berdua malah tertidur dan sayup-sayup kadang mendengar anak kami ngoceh-ngoceh dengan suara keras. Sesekali para bapak mengingatkan mereka meski tidak sesering kami haha. Tapi sungguh, mata saya lengket banget buat melek 😣.
Kami baru tiba di Bogor pukul setengah 12 kemudian mencari angkot 03 menuju Baranang Siang. Begitu tiba di Baranang Siang, tidak ada L300 di sana. Hanya ada angkot-angkot juga!
Supir angkot berkata bahwa mobil-mobil yang dari Puncak masih terjebak macet parah sehingga tidak bisa turun. Maka penumpang mau tidak mau harus naik angkot itu untuk sampai ke Cianjur. Tarifnya pun naik sampai Rp 40.000 per orang. Sambil sekadar menunggu, kami akhirnya memutuskan untuk shalat dzuhur dulu.
Setelah kembali dari shalat, angkot yang tadi sudah penuh dan siap berangkat. Mas tiba-tiba mengeluh sakit perut dan mau BAB. Akhirnya ia dan ayahnya kembali ke masjid untuk menumpang kamar mandi dan kami menunggu sambil saya makan siomay.
Dalam perjalanan yang sudah diniatkan memang selalu ada saja yang layak disyukuri. Alhamdulillah Mas sakit perutnya pas masih belum berangkat, kalo udah nanjak di dalam angkot dan kejebak macet apa nggak heboh?! 😰
Ketika ada angkot datang lagi, kami akhirnya naik dan mengajak anak-anak bersabar menunggu penumpang lain. Awalnya mereka masih diam saja, lama-lama kepanasan dan mulai tak sabar. Syukurlah mereka kemudian diem karena disodorin roti O 😂.
Oh iya, demi membuat nyaman selama perjalanan jadi kami lebih pilih membayar bangku untuk duo bocah daripada harus memangku mereka. Sempit juga, Cyin!
Akhirnya setelah sekian lama, angkot dipenuhi penumpang juga. Kami pun mulai menuju Cipanas dengan rute yang cuma supirnya dan orang yang suka lewat jalan pintas yang tahu. Pokoknya lewat jalan-jalan dalam.
Tadinya angkot hendak melewati jalur Cisarua. Tapi rupanya kami terlambat. Jalur sudah ditutup dan baru akan dibuka sekitar 3 jam lagi. Waduh. Supir sempat bingung karena jalur pintas memiliki tanjakan cukup ekstrim. Akhirnya demi menghindari macet, bapak supir putar balik dan memutuskan lewat jalur pintas.
“Nanti kalo di tanjakan, pada turun yak.” Pesannya.
Hooo… Angkot penuh tak kuat nanjak rupanya.
Beberapa kali angkot menderu dan melaju zigzag saat melewati jalur menanjak. Hingga akhirnya penumpang diminta turun. Hanya saya, anak-anak, dan satu nenek yang nggak ikut turun hehe. Penumpang pun jalan kaki menanjaki jalur beraspal. Anak-anak malah kegirangan ngeliatin yang lain jalan sementara mereka naik angkot.
Sejauh ini mereka sempat tertidur dan bersikap biasa saja dengan kondisi naik kendaraan umum. Maksudnya nggak ngeluh banget atau rewel seperti yang dibayangkan orang-orang. Ya toh bukan yang pertama kalinya mereka naik angkot, meski memang pertama kalinya jarak jauh. Namun mereka malah tetap sibuk ngomongin robot, pohon, planet, roti, dan lain sebagainya seolah baterai mereka tak kunjung habis.
Kami kembali sempat terjebak macet buka-tutup dan harus menanti kira-kira setengah jam. Syukurlah ada penjual pizza keliling. Merknya saya lupa 😂.
Oh iya, perjalanan ini cocok sekali untuk mengajarkan anak tentang konsep jalur naik dan turun dan dzikir yang diajarkan untuk diucapkan. Yaitu, mengucapkan Allahu Akbar saat menanjak dan Subhanallah saat jalur menurun.
Pukul 5 kami akhirnya sampai dan turun di Pasar Cipanas. Semua sudah kelaparan sehingga kami berbelok ke warung makan dulu. Alhamdulillah kami nggak salah pilih tempat soalnya makanannya enaaak.
Habis itu kami menanyakan perihal alamat penginapan yang sudah disewakan sepupu untuk kami. Sang sepupu menyarankan kami naik taxi online namun hingga sekian menit tidak jua ada. Akhirnya kami putuskan charter angkot saja. Supir angkot rupanya tetap ingin mengangkut penumpang sehingga kami tidak jadi charter namun bapak supir bersedia masuk ke dalam komplek perumahan yang ditentukan dan mengantar hingga depan rumah. Alhamdulillah kami akhirnya tiba juga menjelang Isya.
Langsung lah mandi, siapin baju buat kondangan besok, dan saya sama kakak udah paling heboh nyuruh bocah-bocah tidur sambil terus menerus mengingatkan bahwa besok harus bangun pagi-pagi buat ke nikahan. Masalahnya tadi mereka cuma tidur sebentar di angkot. Dahsyat bener dah ah tuh duo batere 😣.
Pukul 8-an akhirnya mereka tidur juga. Ffiuh…
^^^^^^^^^^^
Besok paginya duo bocah dan kami syukurlah bisa bangun pagi. Karena awalnya nggak niat banget datang pas prosesi akad (takut mereka bosan dan kelamaan nunggu) akhirnya kami ya sengaja nggak mandi buru-buru. Toh kamar mandinya juga ngantri dan utamakan para sepupu inti dari yang mau nikahan aja, kami mah tim tambahan hehe. Tapi akhirnya kami masih keburu juga buat datang pagi ke tempat nikahan meski prosesi akadnya udah selesai.
Ternyata tempatnya outdoor dan bocah girang banget karena bisa lari-larian.
Alhamdulillah ya, misi buat menghadiri pernikahan sepupu ini terlaksana dengan baik. Mission accomplished!