Main-main di Kebun Raya Cibodas
Saat menghadiri pernikahan sepupu di area Cipanas, kami masih belum memutuskan apakah mau langsung pulang ke Jakarta hari itu juga atau menginap lagi dan esoknya pergi ke Cibodas. Sambil makan, kami sambil menimbang dan terus menimbang. Karena tidak mungkin ke Cibodas sore itu juga mengingat anak-anak sudah sejak pagi bermain tak henti dan belum tidur sama sekali.
Selesai acara akhirnya saya dan kakak memutuskan bahwa kami akan menginap lagi dan esok pagi ke Cibodas lalu lanjut ke Jakarta.
Esok hari sekitar pukul 6 kami sarapan di tempat Bude Tita untuk kemudian berpamitan. Dari situ kami naik angkot jurusan Cibodas. Mengingat kehamilan saya yang sudah masuk 7 bulan dan agak riskan untuk naik ke Cibereum, maka kami putuskan untuk main ke Kebun Raya Cibodas saja. Toh, kami juga belum pernah ke sana.
Kami menanti sejenak sebelum akhirnya loket dibuka. Kepagian rupanya. Begitu masuk melewati gerbang, awalnya kami pikir bisa mengelilingi Kebun Raya dengan menaiki shuttle bus yang sudah tersedia lalu turun di air terjun, namun sayangnya bus tersebut harus menunggu penumpang dengan jumlah 10 orang dulu. Sementara hari itu bukan hari libur dan di pintu masuk tidak ada orang lain selain kami yang datang. Kalau harus menunggu entah berapa lama hingga penumpang genap 10 orang.
Kami pun bertanya pada petugas air terjun mana yang lebih dekat jalannya. Akhirnya kami putuskan pergi ke air terjun buatan saja dengan berjalan lurus dan kemudian melewati jalur menurun.
Kakak sempat ragu dan melarang kami ke sana saat tahu jalurnya menurun dan berbahaya untuk saya. Tapi kan nggak mungkin saya glundang-glundung aja di bawah pohon sementara mereka semua turun dan main air nun jauh di sana. Abang bilang nggak papa, insyaa Allah aman. Ya su, kami pun mulai menuruni jalur berbatu itu. Dan dari jalur menurun itu saya bertemu burung yang sedang bertengger di pucuk pohon, horray!
Alhamdulillah kemudian sampai dengan selamat di bawah. Naiknya tapi nanti gimana yah? Haha..
Nah, ini dia penampakan air terjun buatannya. Di situ rupanya tetap bisa dilewatin kendaraan, jadi hati-hati jangan keasyikan main air meskipun mobil atau motor juga pelan-pelan sih lewatnya.
Kalau mau lebih puas main air ya turun ke sungai kecil di bawahnya atau berjalan sedikit ke air terjun satu lagi.
Saat itu kami kembali mendapat ujian kesabaran yaitu A kembali pada rasa takutnya yang dulu.
Awalnya sebelum kami sampai dan saya bilang padanya bahwa kami mau ke air terjun, ia sempat bertanya mengenai kepiting. Ia bilang apakah ada kepiting nantinya? Saya jawab ada tapi kemungkinan ia ngumpet di batu. That’s it. Kami toh sudah pernah membaca buku mengenai kepiting dan saya merasa semuanya baik-baik saja. Begitu sampai di air terjun ia sempat girang bermain air namun begitu ingat tentang kepiting ia pun menolak untuk turun ke air. Begitu juga ketika melihat serangga-serangga aneh lain yang sempat hinggap di air ia malah menjerit dan kabur. Akhirnya ia memilih duduk saja di bawah pohon. Duh! ulang lagi dari awal. Pikir saya.
Saya sempat marah kala itu. Gregetan pada sikapnya. Namun kemudian ingat bahwa ini bukan keinginannya untuk sensitif pada banyak sekali hal dan ia sendiri pun tidak merasa nyaman karenanya. Saya akhirnya berusaha sekuat tenaga menahan diri dan pelan-pelan membujuknya. Saya berusaha mengingatkan A lagi bahwa kepiting dan semua serangga itu adalah ciptaan Allah. Dan saat itu saya menggunakan analogi bahwa di dalam rumah pun bisa ada berbagai hewan seperti cicak, semut, kecoa, nyamuk, lalat, terkadang ngengat, hingga kelabang. Saya sampaikan bahwa meski kepiting punya capit tapi ia akan ngumpet di batu dan malu bertemu orang sehingga tidak mencapit orang lain jika memang tidak diganggu. Sementara untuk hewan serangga lain ya tidak perlu khawatir karena ini adalah hutan, rumah para serangga. Saya mengusap-ngusap punggung A sambil terus membaca doa semoga dibukakan pikirannya. Syukurlah ia kemudian mau perlahan turun kembali ke air dan kembali bermain meski nggak nyemplung banget.
Habis itu ia mengumpulkan ranting seperti biasa dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai alat belajar berhitung secara mandiri. Kami duduk-duduk di bawah pohon yang ternyata merupakan pohon sakura. Sayangnya musim mekar sudah lewat.
Tak jauh dari situ terdapat sebuah warung makan yang menjual mie rebus, nasi goreng, juga nasi dan ayam goreng. Sayangnya ayam goreng tidak tersedia sehingga akhirnya kami pesan mie rebus saja beserta teh manis. Jarak sekian meter juga terdapat penjual sosis bakar. Harganya masih terjangkau.
Di depan warung makan alias dekat dengan air terjun buatan merupakan area parkir. Ternyata dari semua pengunjung air terjun, hanya kami yang nggak naik mobil atau motor. Saya, yang tadinya mikir mau balik naik shuttle bus yang lewat ajah, jadi mikir lagi sambil menatap nanar ke tanjakan yang tadi kami lalui dalam bentuk turunan. Shuttle bus kagak lewat di mari karena pengunjung yang naik shuttle bus nggak ada 😥.
Menjelang jam setengah 12 akhirnya kami beberes dan bersiap pulang. Bismillah nanjaknya pelan-pelan 😂. Tiap capek berhenti, tarik nafas atur nafas.
Sampai di atas kami duduk dulu sejenak. Ngap-ngap-an, Cyiin!
Lalu heboh karena A tiba-tiba mau pup! Aba dan A pun ngibrit duluan nyari toilet.
Karena sudah adzan akhirnya kami putuskan menyusul Abang dan A di masjid balai dekat dengan pintu masuk. Habis itu bocah lari-larian lagi. Kagak pada capek apah heu.
Keluar dari Kebun Raya Cibodas, saya baru tahu kalau ketika weekdays banyak toko oleh-oleh yang tutup. Saya pikir mereka buka setiap hari. Kami pun menyempatkan mencari penjual stroberi sesuai ngidam sayah. Karena lagi nggak musim jadinya harga stroberinya cukup mahal dan minim pilihan. 1 kotak besar dihargai Rp 70.000-an. Yang lagi panen yaitu raspberry dan murbei hutan dengan harga kotak kecil Rp 15.000. Yo wess beli sekalian dan ternyata tuh buah hutan habis dicemilin ibu hamil di angkots.
Habis beli oleh-oleh kami naik angkot kuning. Sang supir mengobrol dengan kakak dan akhirnya bercerita bahwa ia punya langganan yang biasa disupiri di Jakarta karena awal mulanya dompet sang Bapak ketinggalan di angkot lalu ia kembalikan ke rumahnya! Masya Allah. Akhirnya terbuka jalan silaturahim dan mas supir angkot itu pun selalu diminta menyupiri mobil saat diperlukan. Alhamdulillah ada rezeki. Semoga berkah selalu, Mas!
Sampai di pertigaan Cibodas kami (dengan segala gembolan tas) menanti apakah bus Kampung Rambutan atau elf ke Baranang Siang yang datang duluan? Saat itulah ada seorang bapak yang menawarkan angkot charteran. Waktu ditanya nganternya sampai mana, si Bapak menjawab sampai stasiun Bogor juga bisa. Waaah…! Langsung deh Abang menanyakan harganya. Dan ternyata harganya cuma beda tipis sama ongkos waktu kami berangkat kemaren dari Baranang Siang. Langsung ajah angkuts! Memang kami pada perjalanan kali ini ditakdirkan menjadi anak angkot ya!
Nikmat pertama pulang naik angkot charteran ini:
- Harga beda tipis sama yang nggak charter kemarin sehingga tentu terbilang murah.
- Angkotnya charter sehingga anak-anak lebih leluasa.
- Enaknya bisa langsung sampai stasiun Bogor, nggak pakai naek angkot lagi dari Baranang Siang atau kena macet lagi.
- Yang lebih cihuy ternyata harga sudah termasuk tol.
Maka melajulah kami dengan riang gembira. Saya nyemil buah murbei, bocah-bocah cekikikan tak henti, kakak kadang merem kadang bangun, Aba di depan ngobrol sama si Bapak supir.
Dalam waktu 1 jam kami sudah sampai di Stasiun Bogor ya Allah, Alhamdulillah 😭.
Lalu lanjutlah perjalanan dengan kereta commuter line menuju rumah. Alhamdulillah semua dimudahkan, mungkin karena sudah niat untuk silaturahim saat pernikahan ya. Padahal kami jadi rombongan yang banyak dikasihani karena katanya ngangkots doang.
Masya Allah. Tabarakallah.