Tuesday Dec 10, 2024

#46-48 penantian bertemu burung raja-udang

April 2018

Di musim kemarau itu kami pergi ke Kebun Raya Bogor. Tujuan utama saya yaitu nongkrong di pinggir kali, berniat bertemu dengan raja udang yang selama ini saya nantikan.

Ternyata hari itu kakak saya hendak menjenguk temannya di lokasi yang cukup jauh, sehingga anaknya yang biasa kami panggil “Mas” dititipkan pada kami. Maka, berempat (berlima dengan dede di dalam perut) kami pun nge-Bolang ke Bogor.

Dari Stasiun Bogor kami naik angkot dan turun di pintu 3. Harga tiket masuk adalah Rp 14.000/orang. A dan Mas pun langsung lari-larian sambil sesekali kami pegangi karena masih banyak mobil yang lalu lalang.

Rencananya saya hendak menggelar alas duduk dekat kolam teratai besar. Namun ternyata ada mempelai yang menggelar hajatan di sana. Sehingga kami menggeser tempat ke kolam yang lebih kecil. Ternyata hari itu cuaca sangat cerah dan terbilang terik, saya pun menggeser tempat kembali ke bawah pohon.

Dari tempat duduk itu saya sempat menangkap sosok burung yang hinggap di pohon bunga dekat kolam. Saya pikir itu raja-udang, ternyata burung madu sriganti alias Olive-Backed Sunbirds. Nama Latinnya Cinnyris jugularis (Linnaeus, 1766).

A dan Mas sudah nggak jelas bentuk lari-larinya. Kadang lompat di batu, kadang nyolek lumpur, lalu nyemplungin kaki ke aliran air. Nggak berapa lama ternyata mereka beneran tengkurep berenang-renang di aliran air. Bener-bener tengkurep sambil kecipak-kecipak! Dikira dugong?! Lha nanti mau bilas di mana?

Saya ngomel-ngomel pun percuma, toh mereka sudah basah semuanya dan cuma hahahihi saja kegirangan bisa berenang gratis. Yo wess, sakarepmu..

Akhirnya setelah puas, nggak pake mandi langsung ganti baju bersih. Hiii… nggak bilas dulu! Komentar saya sambil ngolesin minyak kayu putih biar nggak masuk angin.

Mereka kembali lari-larian, lalu nggak lama kembali dengan Mas digendong Abang sambil jejeritan, sementara A nurut saja jalan sendirian di belakangnya sambil nenteng sepatu. Ternyata kaki Mas kejepit batu gara-gara lelumpatan.

Habis itu mereka pun kapok main-main lagi dan hanya bermain di sekitaran tempat kami duduk. Karena saya nggak masak buat bekal jadinya saya harus membeli nasi kuning seharga Rp 10.000 (kalo nggak salah) dan buah potong seharga Rp 15.000.

Mas saya suapin nasi kuning sementara A masih kekenyangan karena sebelumnya makan nasi uduk dalam porsi banyak. Habis itu Abang menghabiskan porsi nasi kuning yang masih ada, sementara saya mengajak Mas dan A menuju tepian kali di sudut yang berbeda. Beberapa kali saya menangkap sekelebat warna biru kecil melesat di sebelah sana.

Kami pun bermain memungut ranting dan daun di dekat kali. Lalu tiba-tiba ada satu burung yang hinggap di batu di tengah kali. Huaaaa! Itu dia!

Sang burung menolehkan kepalanya lalu sekejap terbang lagi. Syukurlah sempat saya jepret meski masih jarak jauh. Saya pun hendak mendekat lagi ke tepi kali, namun terhalang semak belukar dan akar yang menggantung. Khawatir luput mengawasi anak-anak maka kami bergeser sekian meter ke tempat yang lebih terbuka. Saya kembali menanti sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain ranting. Jarak mereka cukup jauh dari kali.

Setelah beberapa kali menajamkan mata, saya menangkap lagi sosok dan suara burung raja-udang yang kali ini mulai menempel di kepala. Ia hinggap sejenak di pohon pepaya lalu melesat terbang ke arah permukaan kali, berusaha menyambar sesuatu, lalu kembali lagi ke semak-semak. Kemudian satu burung lagi datang dari arah yang berbeda.

Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya jatuh cinta tetapi belum pernah bertemu langsung maka seperti saya dengan raja-udang meninting saat itu haha.

Pertama kali mengetahui burung ini adalah sekitar tahun 2011. Ada yang bahkan berhasil menjepretnya setiap ke Ragunan karena burung ini cukup sering terlihat, ada juga yang berhasil mengabadikannya saat berada di tepi Ciliwung Condet, Pesanggrahan, dan sebagainya. Saya? Tak kunjung bertemu hingga tujuh tahun kemudian.

Alhamdulillah. Lifer nomor 47.

Lalu bocah-bocah mulai berebutan nyemplungin segala ranting ke kali hingga bahkan hampir mendorong saya. Ok, enough.

Kami pun kembali ke tempat Abang menunggu, membereskan tas lalu bergerak lagi menjelajah Kebun Raya Bogor. Saat itulah satu burung kembali terbang di depan saya. Burung tersebut ternyata adalah empuloh janggut alias cucak janggut. Lifer #48.

Setelah berjalan melewati jembatan merah dan Taman Meksiko yang gersang, Mas dan A masih punya tenaga buat lari-larian dan meminta difoto dekat kaktus besar. Setelah itu kami menuju pintu utama dan naik angkot untuk kembali ke Stasiun.

Weleh-weleh, naik jembatan tinggi menuju Stasiun Bogor buat ibu hamil-muda ini bikin ngap-ngap-an yo. Kami pun shalat dulu di mushola stasiun, kemudian salah satu bocah mulai ngambek ketika kereta berjalan. Mereka berdua ngantuk rupanya dan akhirnya dua-duanya tertidur di ketek saya.

Ok, see you again, Bogor. Kapan-kapan ketemu raja-udang meninting lagi yo.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top