Thursday Nov 07, 2024

Menjadi ibu yang percaya diri: stick to plan A

Adanya kesalahan-kesalahan dan peristiwa yang tidak mengenakkan di masa lalu membuat saya kerap menoleh kembali ke belakang. Kemampuan saya yang paling terlihat sejak dulu mungkin adalah menjadi orang-yang-selalu-menuruti-instruksi.

Pendapat-pendapat yang selalu ditolak dan diabaikan pada akhirnya selalu membuat saya meyakini bahwa pendapat saya memang tidak layak didengar karena tidak baik. Barulah sekarang-sekarang ini, setelah mengamati dan merasakan sendiri bagaimana pentingnya mendengarkan pendapat seorang anak dan pentingnya memiliki penghargaan terhadap diri sendiri, saya menyadari bahwa pengabaian terhadap pendapat yang datang dari diri sendiri amatlah tidak layak dilakukan. Ya, saya baru menyadarinya saat ini.

I used to be an instruction girl, a yes girl..

At that time..

I listen to my own opinion, but when I want to speak up, people always say no. Or they said it’s bad.

“Kamu tidak perlu merasa bersalah, jika apa yang kamu lakukan memang dirasa baik dan positif untuk kamu.”

Begitu ucapan psikolog saat sesi ketiga (dan saya harap adalah yang terakhir) ketika menyudahi pertemuan hari itu.

Maka perlahan, saya mengurangi rasa bersalah yang kerap muncul jika saya melakukan hal yang menabrak apa yang sudah menjadi tradisi peraturan dalam keluarga besar. Toh sebenarnya selama ini memang tidak melanggar norma dan agama.

Apa sih yang salah dari merasa percaya diri dan tidak melulu bergantung pada orang lain? Toh, percaya dirinya juga masih dalam batas dan tidak berlebihan hingga mengabaikan orang lain.

Contoh kasusnya adalah saat peristiwa kami bertiga yang hendak berangkat ke Malang.

Abang sudah berkata bahwa hari itu ia ada kuliah dulu sehingga sore hari saya akan pergi ke stasiun Senen berdua dengan A naik taxi online. Nantinya kami akan bertemu di stasiun.

That’s the plan. The right plan for all of us.

Abang tidak mungkin membawa tas besar ke kampus hari itu sehingga tas akan dibawa saya.

Question: Apakah saya bisa membawa tas besar sekaligus menggandeng A? Apakah saya bisa menempuh perjalanan dari rumah ke stasiun Senen berdua A saja dengan membawa tas besar itu?

Answer: Bisa. And I’m sure with that.

Tapi beberapa hari menjelang hari H, semenjak kami memberi tahu bahwa kami akan menempuh perjalanan ke Malang, deretan pertanyaan bertubi-tubi diluncurkan ke saya. Termasuk persoalan tentang proses berangkat ke Stasiun Senen dari rumah itu.

“Emangnya bisa bawa anak sambil bawa tas? Tasnya gede, kan? Kamu nggak bakalan bisa!”

Begitu terus yang diucapkan meski saya selalu menjawab, “Bisa.”

“Ya nggak bisa lah, A kan anaknya nggak bisa diem. Nggak bisa. Minta anterin aja sama siapa gitu. Suruh bawain tas. Atau bapaknya suruh pulang aja dulu ke rumah.”

Saya masih menjawab bisa dan berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Saya sanggup membawa tas sekaligus juga membawa anak. Toh A sudah tidak digendong. Dan kami akan memberi tahu A lebih dulu sebelum berangkat untuk mendengarkan saya dan tidak lari-larian saat tiba di stasiun hingga berakibat saya harus mengejarnya sambil memanggul carrier.

And A said: Yes, I will listen.

So we still stick to our best plan.

Saat hari H, saya kembali mendapat telepon dan masih menerima kalimat yang sama: bahwa saya tidak akan bisa membawa tas sambil membawa A.

Siang menjelang sore, A tertidur dan sulit dibangunkan sementara waktu terus berjalan dan sudah waktunya kami berangkat ke stasiun. Abang langsung merasa khawatir saat tahu kami masih di rumah dan baru akan memesan taxi online. Sementara di luar mulai turun hujan.

Saya menjelaskan pada A untuk nantinya membantu saya memegangi payung untuk dirinya sendiri sementara saya akan mengunci pintu. Kami pun keluar rumah. Saya menyerahkan payung pada A. Point pertama sudah sukses ia lakukan: membantu memegangi payung sementara saya mengunci pintu.

Langkah selanjutnya menuju pinggir jalan tempat taxi online sudah sampai.

Saya memberi tahu A untuk tidak berlari. Ia menurut dan berjalan merapat ke saya agar tidak terkena tetesan hujan. Kami menunggu dan menunggu. Rupanya aplikasi sedang eror sehingga taxi online yang tertulis sudah sampai ternyata belum jua tiba. Kami pun menunggu di tepi jalan dengan diiringi gerimis.

Saya memanggul tas besar sambil memegangi payung dengan tangan kanan. Tangan kiri menggandeng A yang syukurlah bisa diajak berkoordinasi. Because i trust him.

Maka hingga perjalanan keluar rumah, pertanyaan apakah saya bisa? Tentu sudah bisa dijawab.

Mobil pun tiba. Dan kami naik.

Baru lima menit perjalanan, saya secara tiba-tiba meminta pak supir memutar arah! Alasannya karena saya salah mengira rute menuju stasiun Senen. Mobil masih bisa diputar lagi arahnya dan kami bisa ngebut. Tapi kemudian ada telepon lagi yang harus saya angkat.

Dan di seberang sana kembali suara mengingatkan saya. Bahwa nantinya saya tidak akan bisa turun mobil menuju stasiun. Saya menjawab sebisanya bahwa nantinya Abang akan tiba bersamaan dan langsung bisa membantu saya jika itu memang membuat khawatir.

Oh, tolong jangan bilang saya tidak bisa terus. Bisik saya dalam hati. I’m a mother now…

Saya menutup telepon dan menanggapi chat Abang yang katanya sudah dalam perjalanan di dalam kereta commuter line menuju Senen. Lalu percaya diri saya buyar. Saya kembali meminta pak supir mengarahkan mobil menuju stasiun yang terdekat dari tempat kami itu, tempat Abang kira-kira akan tiba dalam waktu beberapa menit. Lalu saya meminta Abang turun di stasiun itu dan pindah ke taxi online kami.

And this sudden new plan ruins everything…

Kondisi jalan raya yang memutar balik menuju stasiun terdekat tersebut terkena macet parah. Maka praktis, meski Abang kemudian sudah berada di dalam mobil bersama kami, dan nantinya dipastikan akan membawa tas besar yang katanya tidak akan bisa saya bawa, nyatanya tak membuat saya tenang. Kami stuck dalam kemacetan sementara waktu terus berjalan mendekati jam keberangkatan kereta di stasiun Senen.

Setengah jam kemudian kami terlepas dari macet tapi masih jauh sekali jalan menuju stasiun. Hingga pukul 6 kurang 15 menit kami masih berada dalam perjalanan, sementara kereta akan berangkat pukul 6 lewat 15 menit.  Saya tidak sanggup menjawab apa-apa pada A yang bertanya banyak hal sepanjang perjalanan, saya gelisah sepanjang jalan menanggapi kami yang akan ketinggalan kereta karena rencana yang berubah secara mendadak. Abang tidak menyalahkan saya. Saya yang sibuk menyalahkan diri sendiri.

Lalu ajaibnya, mobil sudah bisa ngebut menjelang lima menit tiba di stasiun. Dan kami turun, berlari terburu-buru sepanjang perjalanan menuju pintu masuk. Ngibrit.

Begitu akhirnya tiba di peron dan masuk ke dalam kereta yang hendak berangkat, saya kembali menyerukan pentingnya percaya pada diri sendiri.

Mendengarkan nasihat orang lain memang perlu. Tapi tak kalah penting adalah mendengarkan diri sendiri dan yakin ketika apa yang kita pegang itu memang tidak melanggar norma dan agama.

“Jika apa yang kamu lakukan memang dirasa baik dan positif untuk kamu, ya lakukan saja. Jangan terlalu perdulikan omongan orang lain.” 

Maka sesi terakhir konseling itu di pertengahan bulan Maret seolah menemukan kembali kepingan puzzle yang berserakan. I cried a lot, sat on my chair. 

Segera sesudahnya, saya berusaha tak perduli lagi pada omongan orang lain yang selalu berkata saya tidak bisa. Kata-kata “tidak bisa” yang selalu menempel di kepala dengan sangat lekat perlahan harus bisa dihapus.

Saat A tidur, saya mulai lagi gencar menelusuri internet hingga baterai ponsel habis untuk mencari program studi dan kampus yang sesuai untuk rencana selanjutnya. Ketika kemudian dinyatakan hamil, saya tetap melakukan proses pencarian kampus tersebut tanpa perduli nantinya akan ada omongan sumbang yang kembali berkata bahwa saya tidak akan bisa mengurus anak sambil kuliah.

Menjelang bulan ramadhan di pertengahan Mei, saya membulatkan tekad untuk membuka perpustakaan di rumah untuk anak-anak sekitar. Kuliah di luar negeri dan membuka perpustakaan tersebut adalah dua hal yang saya tangguhkan selama 10 tahun terakhir ini karena kata-kata “tidak akan bisa” yang selalu dilontarkan ketika saya mengungkapkan dua mimpi tersebut. Selama 10 tahun terakhir saya berpikir saya sudah menjadi anak yang baik karena sudah menurut dan menjalankan instruksi untuk tidak melakukan dua hal tersebut, juga tidak mengambil kesempatan besar mengikuti konferensi, dan tidak traveling ke tempat-tempat yang diimpikan, karena semua hal yang menjadi minat saya rupanya dianggap tidak umum dan tidak baik.

Lantas apakah saya dianggap sudah menjadi baik? Nyatanya tidak juga.

I’m doing all i can. But, i still receive many complaint.

So, this time. All is up to me. 

Sesungguhnya mendengarkan pendapat diri sendiri itu merupakan bentuk dari penghargaan terhadap diri kita. Jika ada manusia yang sudah dewasa dan tak bisa mengambil keputusan, maka kita juga perlu melihat masa lalunya, masa kecilnya. Jangan-jangan ia memang selama ini dibiarkan untuk tidak pernah percaya pada kemampuan dirinya sendiri.

Dan dengan menghargai diri sendiri, kita bisa menjadi manusia yang percaya diri. Manusia yang mandiri, yang bisa belajar untuk menentukan keputusan dengan tepat karena sudah memiliki berbagai pertimbangan. Bukan manusia yang sekadar mengikuti instruksi dan tak punya pegangan.

I am a confident, an independent woman. I am blessed, i am alive. And this is my life.

May Allah help me and give me strength to forgive all the bad things happens to me in my past. Aamiin.

#WritingIsHealing

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top