Survey di Hutan Kota UI
8 Januari 2011
Hari itu saya mengikuti kegiatan survey keanekaragaman hayati di Hutan Kota UI, Depok. Kegiatan ini diadakan oleh komunitas Peta Hijau Jakarta yang sedang melakukan pendataan mengenai keanekaragaman hayati di lokasi-lokasi hijau yang tidak jauh atau masih di sekitaran Jakarta.
Lokasi yang akan kami survey adalah hutan yang tak jauh dari asrama UI. Waah ternyata saya belum pernah lho masuk ke sini, hehe. Kuliah 4 tahun kemarin saya masuk ke hutan bagian mana ya?? 😀
Hutan-kota (urban forest) merupakan salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang merupakan komunitas tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. (Jejak, 2009)
Peserta yang mengikuti kegiatan survey keanekaragaman hayati tersebut berasal dari berbagai profesi dan usia. Satu keluarga yang terdiri dari tiga generasi (kakek-nenek, ibu, dan anak) membuat saya semakin tak mau kalah semangat memperhatikan apa yang ada di sekeliling. Sang “peneliti termuda” itu pun bersemangat sekali mencatat tumbuhan dan serangga yang ia lihat di sekitarnya ke dalam buku tulis miliknya.
Fungsi hutan-kota terbagi menjadi fungsi lanskap dan fungsi pelestarian lingkungan (ekologi). Fungsi lanskap ini terbagi lagi menjadi fungsi fisik dan sosial. Fungsi fisik terkait dengan peran hutan-kota secara fisik, contohnya sebagai pelindung terhadap angin, memperindah pemandangan, dan mengurangi timbulnya bau yang menyengat. Fungsi sosial yaitu sebagai lokasi interaksi sosial, sarana rekreasi, dan pendidikan. Sementara fungsi pelestarian lingkungan yaitu berfungsi sebagai penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, melindungi permukaan tanah dari erosi, membantu menyediakan air tanah, meredam kebisingan, dan sebagai tempat pelestarian keanekaragaman hayati. (Jejak, 2009)
Dalam Jejak (2009) juga, Bapak Tarsoen Waryono menuturkan bahwa fungsi hutan-kota UI secara khusus yaitu sebagai laboratorium alam bagi civitas akademika UI atau perguruan tinggi lain serta siswa sekolah.
Fungsi hutan-kota sebagai penghasil oksigen itulah yang membuat udara di sekeliling menjadi luar biasa sejuk dan membuat saya sejenak lupa bahwa sedang berada tak jauh dari pusat kota, bahwa di depan sana terletak jalan raya yang luar biasa bising. Ditambah lagi hujan baru saja berhenti sehingga tetes-tetes airnya masih tersisa di dedaunan. Ah, anggap saja di hutan Kalimantan.
Sesekali kami berhenti berjalan dan saling bertanya satu sama lain mengenai tumbuhan atau serangga yang kami lihat. Satu hal yang menarik adalah ketika kami menemukan suatu tumbuhan bernama Gadung tikus dan salah seorang dari kami berkata bahwa menurut cerita orang dulu, buah dari tumbuhan tersebut merupakan makanan ular. Sehingga jika ada tumbuhan tersebut, kemungkinan besar tak jauh dari situ ada ular. Lalu..
Siiing…
Sunyi. Hehe. Semua celingukan dan memperhatikan semak-semak di sekitar dengan seksama. Halah, saya pakai sendal lagi, bukannya pakai sepatu. Sesal saya dalam hati.
“Tapi itu belum bisa dibuktikan secara pasti sih.” Salah satu peserta memberikan komentarnya menanggapi analisa itu.
Dan rombongan pun berjalan kembali. :p
Kami berhenti memperhatikan dengan hati-hati sarang semut yang menggantung pada dedaunan, membungkuk untuk melihat jamur di kayu, menyipitkan mata pada seekor kupu-kupu kecil yang sedang menghisap nektar di sebuah bunga, dan mengantri untuk melihat lebih dekat serangga yang berjalan di dedaunan.
ada yang bisa mengidentifikasi serangga ini?
Saya senang hari itu menemukan belalang yang berbeda-beda.
Semakin lama berjalan, vegetasi semakin rapat. Melangkah hati-hati karena beberapa tumbuhan melintang di tengah jalan. Dan sayangnya sang peneliti termuda kita menangis karena digigit semut. Dan ia ternyata tak mau berhenti menangis sesudahnya hehe.
Seekor burung kemudian melintas, hinggap sebentar di pepohonan tinggi tak jauh dari kami, dan sekejap kemudian terbang lagi. Entah benar Sikep Madu Asia seperti yang diperkirakan beberapa peserta atau bukan. Tapi yang jelas berdasarkan beberapa pengamatan selama musim migrasi, Hutan-Kota UI Depok yang memiliki pepohonan rapat dan tinggi-tinggi ini memang kerap menjadi persinggahan burung migrasi. Saya nggak lihat pas dia lewat. Ihiks..
(ingin tahu sedikit cerita mengenai burung migrasi? Baca di sini 🙂)
Jalan setapak yang becek dan luar biasa licin membuat kami akhirnya memutuskan untuk molos lewat batang pohon yang rubuh saja.
Beberapa kali kami menengok ke belakang, ke arah ibu dan anak yang tertinggal (ditemani beberapa peserta). Sang anak masih menangis kencang dan tak mau jika tak digendong. Mereka belum terlihat tapi suaranya yang menangis kencang tetap terdengar. Ngambek dan lelah rupanya.
Perjalanan ini hampir mencapai ujungnya, kami tiba di danau dan beberapa meter ke depan akan menembus ke halte Gerbatama.
Para peserta kemudian berkumpul di Kantin Asrama untuk saling menceritakan kesan dan pesan selama survey dan saling bertanya. Pembicaraan para peserta yang terdiri dari pengamat burung, pengamat semut, dosen biologi, karyawan, pekerja-lepas, dan lain sebagainya itu pun semakin seru menceritakan pengalaman hari itu. Pembicaraan, yang kemudian melebar mulai dari kupu-kupu hutan sampai kupu-kupu malam (eh?), itu pun kemudian diakhiri dengan foto bersama di kantin. Saking serunya semua mahasiswa di kantin menoleh pada kami dan di kening mereka tertulis satu pertanyaan yang sama: “Ini orang-orang angkatan berapa yah??” :p
Senangnya bisa memperhatikan lebih dekat suatu proses ekosistem dan merasakan secara langsung arti sebuah ruang hijau. (Sayangnya sampai tulisan ini dibuat saya belum bisa mengikuti kegiatan survey komunitas ini di lokasi lain seperti Kali Pesanggrahan, Bumi Perkemahan Cibubur, dan lain sebagainya.)
Saya kemudian melangkah pulang, bersiap menanti kendaraan umum di halte. Ada semacam shock buat saya. Baru saja menghirup udara bersih dan menikmati kesunyian di dalam hutan, tiba-tiba dikejutkan dengan klakson dan asap knalpot yang keluar dari bus yang menderu-deru di depan halte.
Menyadarkan saya bahwa saya memang berada di Jakarta.
Ah, nasib. Knalpot lagi.. Knalpot lagi… -__-.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Referensi:
Endes N. Dahlan. (1992). Hutan kota: untuk pengelolaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bekerja sama dengan IPB
Prihandoko; Zulbahri. (2009). Di samping beton harus ada pohon: arti penting hutan kota bagi ibukota. Majalah Jejak, Vol.2/1 Januari
Sofyan Nurhadi (2009). Hutan kota UI: wujud cinta sang arsitek. Majalah Jejak, Vol.2/1 Januari