Jelajah Pulau Rambut hari ke-2
16 April 2017
A tertidur pulas sekali bahkan nyaris hanya 2 kali merubah posisi tidurnya. Kontras sekali dengan kondisi saat di rumah di mana setiap malam saya dan Abang minimal 5x memindahkan anak itu dari lantai. A gemar sekali tidur di lantai meski berulang kali kami pindahkan ke kasur.
Awalnya kami memang sudah membawa matras sebagai persiapan menginap di Pulau Untung Jawa ini. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, menurut Mbak Shanty, peserta biasanya tidur beralaskan matras. Namun ternyata kali ini kami bisa tertidur di penginapan milik BKSDA yang berjumlah tiga kamar, lengkap dengan tempat tidur dan kamar mandi.
Kebagian tempat tidur berukuran cukup tinggi ternyata menguntungkan A, ditambah dengan AC yang luar biasa dingin hingga saya tertidur dengan memakai jaket dan merasa saat itu sedang berada di gunung, bukannya di pulau. Saya menggigil dan kelimpungan berusaha mencari remote AC di mana-mana untuk mengecilkan suhunya, sayang nggak ketemu juga. Hingga akhirnya pukul 3 dini hari saya menyerah keluar dari kamar dan tidur di teras. Sebaliknya A adem ayem tertidur pulas dan bangun paling siang ketika para mahasiswa dan peserta lain sudah sedang sarapan.
Saya bersyukur sekali dengan A yang tak mengalami kondisi kurang tidur malam itu. Karena jika kurang tidur maka moodnya bisa berantakan seperti saat kemah sebelumnya. Setelah mandi dan ikut sarapan, ia makin semangat saat kami beritahu bahwa ia akan kembali ke Pulau Rambut dan bisa bermain pasir lagi.
“Horeee!” Katanya girang.
Kembali ke Pulau Rambut dan bergabung kembali dengan kelompok yang kemarin sudah ditentukan, pengamatan hari ke-2 itu kami mendapat tugas untuk menuju sisi barat pulau.
Kami pun mulai berjalan menelusuri pantai diiringi dengan gerimis. Baru beberapa langkah kami sudah menemukan banyak sekali sampah di tepi jembatan. Begitu juga ketika menyusuri pantai. Tak hanya karang dan kelomang yang kami temui, namun banyak sekali sampah.
Paling banyak adalah sampah plastik dan stereofoam. Selebihnya seperti toko serba ada. Mulai dari sandal jepit, sepatu, tas, ban bekas, bola, botol kaca, kayu, dan masih banyak lagi.
DSCN3533
Semua sampah-sampah tersebut terbawa arus dari Teluk Jakarta hingga ke Pulau Rambut tempat habitat burung-burung ini dan kerap menyangkut di akar mangrove. Siapa yang bisa yakin 100% bahwa sampah-sampah tersebut bukan milik kita?
“Kenapa banyak sampah?” Tanya A pada kami. “Kenapa burungnya mam sampah?” Lanjutnya lagi.
A berjalan bergandengan tangan dengan Aba-nya di belakang sementara saya di depan. Ia rupanya tak terlalu menyukai bagian perjalanan saat itu karena sendalnya harus basah. Sesuatu hal yang tidak disukainya. Ditambah dengan adanya sampah-sampah yang mengambang pada air laut di depannya.
Kami berusaha mengalihkan tentang sendalnya yang basah dengan berbagai cerita mengenai ombak, kerang, mangrove, dan burung-burung. Namun semakin lama berjalan ia rupanya tak tahan juga.
“Mau balik ajah.. Hueee…” rajuknya sambil mata berkaca-kaca setelah ia berjalan sekian meter.
Abang dan A akhirnya memutuskan untuk kembali ke titik kumpul saja sementara saya dipersilakan melanjutkan pengamatan bersama yang lain. Kelompok pun terbagi menjadi tim-susur-laut dan tim-darat.
Karena kami memilih jalur pantai (dan bukannya bagian dalam pulau), maka semakin lama jalan yang kami lalui terendam air laut hingga sebetis dan akhirnya bertambah naik.
Ketika berjalan menyusuri pantai kami kerap melihat pecuk ular asia yang terbang rendah lalu melesat masuk ke air, ia kemudian terbang lagi sambil membawa ranting dan material lain di mulutnya.
Kami pun sempat bertemu dengan biawak berukuran sangat besar yang langsung masuk kembali ke dalam semak-semak.
Ada seekor kokokan laut yang berdiri di antara tumpukan sampah dan lantas menjadi objek pengamatan kami. Miris sekali melihatnya dikelilingi oleh sampah.
Beberapa burung terbang melintas dan dicatat dengan baik oleh tim di depan namun saya tak mampu mengidentifikasinya secara selintas.
Saya akhirnya memutuskan berhenti ketika air sudah semakin mencapai lutut. Baterai kamera drop dan secara tiba-tiba saya khawatir kesandung karang lalu kamera terkena air. Pun tak nampak elang-perut-putih di depan mata.
Akhirnya bersama Yuli, mahasiswa Biologi UI, saya akhirnya putar balik dan memutuskan tak lagi mengikuti Tim Kaysan dan Bilal di depan.
Ketika berjalan menyusuri pantai kembali dengan kondisi air yang kembali menurun hingga hanya semata kaki, saya dan Yuli malah dikejutkan dengan adanya nudibranch alias siput laut telanjang itu. Ukurannya benar seperti yang selama ini saya baca yaitu keciiil sekali. Hanya sekian cm panjangnya. Waktu itu saya sampai lupa kenapa ya jalannya sambil nunduk-nunduk ngeliatin air hingga mata tertumbuk pada nudibranch yang berjalan pelan. Hampir saja luput!
Ini namanya rezeki. Bertahun-tahun saya memimpikan untuk bertemu nudibranch dalam mimpi-mimpi menyelam yang tak kesampaian. Ternyata malah ketemu sambil jalan kaki! Jumlahnya pun tak hanya 1 tapi 5 dengan warna yang berbeda! Sayang tak semuanya saya foto.
Batu karang tempat nudibranch tersebut nemplok tidak boleh diangkat keluar dari air maka kami lah yang harus menunduk mendekati air.
Sambil menerka-nerka apakah di balik batu karang terdapat nudibranch lain hingga akhirnya datang beberapa mahasiswa lagi yang juga penasaran dengan nudibranch dan spesies lain di laut dangkal tersebut.
Maka fixed saat itu pengamatan burung berubah menjadi pengamatan biota laut.
Setelah beberapa lama saya hanya menyaksikan para mahasiswa mencatat dan mengamati biota, akhirnya kami kembali berjalan ke titik depan pulau, menyudahi pengamatan hari itu. Baterai kamera sudah sampai titik nol dan burung madu yang lewat di depan dalam jarak dekat seolah meledek saya minta dijepret pakai kamera kosong. Euuh..
Saya sempat was-was A ngambek karena tadi harus bertemu banyak sampah hingga sendalnya basah. Ternyata ketika sampai di basecamp ia malah sudah asyik lagi ngedeprok di bawah dan mainan pasir.
Aaah, I’m a proud momma!
Ia mampu mengendalikan indra perabanya yang sensitif itu dan memilih untuk berdamai.
Habis itu jam bebas untuk kami karena menunggu tim lain kembali ke basecamp. Kami pun menghabiskan waktu untuk makan nasi uduk yang tadi dibeli di Pulau Untung Jawa dan sambil hahahihi.
A benar-benar rela melepas sendalnya dan berjalan menginjak pasir pantai dengan tawanya yang sesekali lepas. Sebelumnya ia benar-benar nggak mau menginjak lantai yang berkesan kotor dan merasakan butiran-butiran halus di telapak tangan dan kakinya. Siapa yang nggak bangga melihat hal tersebut huhuhu. Bukan karena sekedar melihatnya mengalami kemajuan namun lebih kepada A yang berani mencoba hal baru yang berdampak baik untuk motoriknya.
Satu hal lagi yaitu A bahkan sudah berani bermain dan memanggil kakak-kakak yang lain. Ini kemajuan besar karena sebelumnya ia selalu menangis kencang hingga nyaris jejeritan ketika berada di antara orang banyak. Dan ini tidak berlangsung di awal waktu saja namun lama sekali temponya.
Saya tidak ingin menghilangkan kewaspadaannya pada orang yang baru dikenal namun hanya bagaimana supaya ia merasa tetap nyaman berada bersama kami di tengah orang banyak dan lingkungan baru.
Kami juga berusaha berhati-hati menarik jarinya perlahan dari hidung karena ia kerap memasukan jari ke hidungnya setiap ia merasa malu dan tidak nyaman berada di tengah keramaian.
Sampai di sini saya sungguh bersyukur akan keputusan mengajaknya mengikuti kegiatan di pulau tersebut. Sesuatu yang ditentang habis-habisan oleh banyak orang betapapun saya menguraikan tujuan perjalanan ini untuk A, bukan semata-mata hanya karena saya yang ingin jalan-jalan.
“A senang ke Pulau?”
“Senang. Ini nanti dibawa ya.” Katanya sambil menunjuk pasir pantai.
“Nggak boleeeeh.” Kata saya dilanjutkan dengan penjelasan tak bolehnya membawa pasir pantai pulang ke rumah kami.
Peserta yang sudah kembali dari tempat pengamatan bersiap shalat dzuhur terlebih dulu. Sayangnya rencana hari itu untuk bersih-bersih pantai dibatalkan. Setelah semua peserta sudah berkumpul, evaluasi pun dimulai oleh Bilal selaku ketua pelaksana. Keseluruhan acara berjalan lancar karena kerja kerasnya, thanks Bilal!
Satu demi satu spesies yang tercatat pun diumumkan dan ternyata pengamatan selama dua hari itu berhasil mengumpulkan keseluruhan spesies yang ada di Pulau Rambut yaitu 40 spesies burung! Awalnya hanya 39 namun ternyata tercatat ada peserta yang melihat ibis roko-roko sehingga genap 40.
Senang sekali bisa terlibat dalam pengamatan bersama Jakarta Bird Walk dua hari itu. And here’s our little adventurer. Seluruhnya adalah homeschooler! Termasuk A yang merupakan pre–homeschooler hehe.
A pun sempat berkata, “A senang bisa liat burung.”
Sewaktu hendak berangkat dari Pulau Rambut, kapal sempat mogok dan berhenti cukup lama. A pun juga mogok karena ngantuks! Ia sempat ngambek di atas kapal namun Alhamdulillah tak sampai tantrum.
Kami akhirnya harus berganti kapal sementara kapal utama harus ditarik. Selanjutnya A tertidur di pangkuan hingga tiba kembali di Pelabuhan Tanjung Pasir. Momennya pas sekali ketika kami menginjak kaki di daratan, ketika itu pula dua bus Kopami yang menjemput kami masuk ke dalam area pelabuhan.
Di dalam bus A kembali dengan baterai full hingga ngoceh tak berhenti sementara saya tertidur!
Alhamdulillah semua sehat dan selamat. Terima kasih untuk semua peserta dan terutama Bilal selaku ketua pelaksana. Terima kasih untuk Abang dan A yang senantiasa mengizinkan saya kembali ke Pulau Rambut setelah 8 tahun lamanya.
Segera sesudahnya, A tak henti-hentinya mengungkapkan keinginan ingin kembali ke pulau untuk bermain pasir!
We’ll be back soon or go to another place for more adventure. Insyaa Allah. Aamiin.
And here’s our video: