Menuju Pulau Rambut: mengamati burung dari dekat
15 April 2017
Saya, Abang, dan A berangkat dari rumah sekitar pukul 6 menuju Terminal Kali Deres dengan menggunakan taxi online. Awalnya kami sempat ingin menggunakan bus TransJakarta namun kami urungkan.
Barang bawaan kami membengkak hingga dua buah tas padahal niatnya hanya ingin membawa satu dry bag. Barang-barang penting yang akan sering dipakai ternyata tidak muat dimasukan seluruhnya di dry bag beserta perlengkapan selama dua hari. Maka tugas saya adalah membawa satu tas lagi, belum ditambah matras dan tripod yang diputuskan untuk tetap dibawa pada menit-menit terakhir.
Dengan perginya kami menuju Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, untuk melakukan pengamatan burung (birdwatching) bersama kawan-kawan dari Jakarta Bird Walk (JBW) maka ini perjalanan naik kapal pertama kali untuk A yang berusia kurang dari 2.5 tahun.
Kami tiba di terminal pukul 7 kurang 10 menit. Perut saya krucuk-krucuk dan karena yakin peserta lain belum sepenuhnya tiba maka kami makan dulu di warteg. Selagi makan, saya melihat Kaysan dan ibunya (Mbak Shanty), juga seorang ibu dan anak lainnya yang tidak saya kenal, melintas di depan warteg.
Selesai makan kami pun bergerak menuju pos pengaduan di dalam terminal, titik berkumpul para peserta, sesuai arahan Bilal, koordinator acara. Sambil menunggu yang lain kami berkenalan dengan sebagian peserta. Tak disangka ada Bang Etang, senior saya dan Abang yang juga ikut serta, bersama anaknya yang berusia 9 tahun. Rupanya Bang Etang yang memilih metode pendidikan homeschooling, sudah sejak lama kenal dengan Kaysan dan ibunya. Selain mereka masih ada tiga anak homeschooler lagi yang juga ikut dalam perjalanan.
Asyiik! A tambah senang kalau banyak kakak-kakak. Meski pada saat itu ia memilih untuk gendongan dan nggak mau salaman sama yang lain hehe.
Kami akhirnya berangkat pukul setengah 9 menggunakan bus Kopami yang sudah disewa sebanyak dua buah. Bus pun melaju menuju pelabuhan Tanjung Pasir di Tangerang. Sepanjang perjalanan, arus lalu lintas tidak macet sehingga memudahkan kami tiba. Sayangnya memasuki daerah yang sepertinya perbatasan menuju laut, saya melihat banyak sekali warga yang mencuci baju, peralatan makan, hingga mandi di kali yang sangat keruh dan bercampur dengan tumpukan sampah yang mengapung.
Syukurlah A tertidur sepanjang perjalanan hingga tiba dua jam kemudian di Tanjung Pasir. Setidaknya saya bisa sedikit mencoret kekhawatiran ia akan tantrum karena kurang tidur.
Kami pun bersiap naik kapal. Beberapa peserta melepas sepatu maupun kaos kakinya karena khawatir basah terkena ombak saat menaiki jembatan kayu menuju kapal.
Kapal pun siap bergerak menuju Pulau Rambut. A duduk di sebelah saya, sementara di depan dan samping kirinya duduk kakak-kakak mahasiswa dari berbagai kampus: UI, UNJ, UNAS, UIN, hingga UNTIRTA. Rata-rata program studi mereka adalah Biologi atau Pendidikan Biologi.
A senyum-senyum malu sambil melirik kakak-kakak di sebelahnya. Terkadang karena terlampau excited akan hal baru yang dilihatnya ia pun otomatis melempar beragam pertanyaan seperti di rumah namun sekejap langsung tersipu malu karena peserta lain mendengar suaranya.
Setiap ada burung terbang melintas saya memberi tahu A untuk menoleh. Ia pun tertarik dengan perahu lain yang sedang menangkap ikan.
“A mam itan. Terima kasih bapak nelayan.” Begitu ucapnya sambil tertawa menunjuk kapal nelayan yang sedang lewat.
Kami pun melewati bambu-bambu di tengah laut tempat burung cikalang christmas biasa bertengger. Cikalang christmas merupakan burung yang berbiak di Pulau Christmas, Samudera Hindia. Sayangnya saya nggak dapat foto si cikalang. Semuanya blur.
Setengah jam menyeberang dengan kapal kami pun tiba di Pulau Rambut. Aaah senangnya, setelah 8 tahun bisa kembali lagi ke pulau ini.
Pulau Rambut termasuk di dalam kelurahan Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Pulau Rambut ini tidak menjadi tempat tinggal penduduk namun menjadi surga bagi para burung, baik burung air (waterbird) lokal maupun burung migran.
Pulau Rambut ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937 karena keanekaragaman hayati di dalamnya. Status cagar alam tersebut kemudian dirubah menjadi suaka margasatwa pada tahun 1999.
Sayangnya, kondisi pulau yang menjadi surga para burung ini terancam rusak karena sampah. Bahkan begitu kami baru saja tiba di dermaga, sudah terdapat sampah yang mengapung di dekat dermaga.
Para peserta pun menuju kantor BKSDA yang terdapat di depan pulau. Kami beristirahat sejenak, makan siang, dan bersiap sholat dzuhur dulu untuk kemudian berkumpul kembali.
Momen bebas sesaat ini saya manfaatkan untuk mengenalkan A kembali pada pasir. Syukurlah ia tertarik dan bahkan mau melepas sendalnya hingga duduk asyik bermain pasir. Karena selama ini A selalu komplen kalo ada kotoran, debu, benang, tanah, dan sebagainya nempel di kaki atau tangannya.
Tiba-tiba ada kuntul kecil yang terlihat di tepian batu-batu. Semua pun ramai-ramai mendekat secara perlahan. Sepertinya kuntul tersebut sakit di kakinya karena jalannya perlahan.
MENJELAJAH PULAU RAMBUT
Selepas makan dan sholat dzuhur, kami berbaris dan mendapat pengarahan terlebih dulu dari petugas BKSDA yang ada di Pulau Rambut. Kami juga dibagi menjadi 3 kelompok.about:blankImageUpload an image file, pick one from your media library, or add one with a URL.UploadSelect ImageInsert from URL
Saya masuk ke dalam kelompok 1 yang akan menelusur ke dalam pulau hingga ke arah menara. Bersama kami juga terdapat Mbak Shanty, Isham, Mamanya Isham yaitu Mbak Lieza, Bang Etang, Chaska, Bilal, Yuli, Fadli, serta beberapa orang lain lagi dari UI dan UNTIRTA.
Kami pun masuk ke dalam pulau, menelusuri jalan setapak dengan pohon tinggi-tinggi di kiri dan kanan. Di satu titik, kami berhenti untuk mengamati burung namun kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Sayang, beberapa papan yang berisi informasi mengenai biota di Pulau Rambut sudah tidak jelas lagi untuk dibaca.
A memandang sekeliling sambil terus berceloteh ini dan itu juga sesekali menyanyikan lagu yang liriknya digubah sendiri dan berjoget ria, namun kemudian ia sempat kaget dan takut ketika ada biawak melintas dengan cepat.
Kami bertiga sempat tertinggal rombongan di depan. Namun jalan setapak cukup memudahkan untuk menemukan jalan ke menara yang terletak di tengah pulau.
Sampai di bawah menara kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Jumlah pengunjung yang dibolehkan naik ke menara secara sekaligus adalah 7 orang saja, lalu sisanya bergantian.
MENAIKI MENARA SETINGGI 15 METER
Entah mungkin karena rata-rata peserta dalam kelompok kami cukup khawatir dengan keamanan menara sehingga semuanya agak enggan untuk ada yang naik duluan hehe. Sambil menanti ada yang naik duluan, A dan Abang berlomba menghitung sarang biawak yang jumlahnya lumayan banyak di bawah menara. Karena penasaran, Abang akhirnya memutuskan untuk menjadi yang pertama naik bersama A, disusul saya.
Rupanya memang lebih mudah menaiki tangga berangka besi ini saat delapan tahun yang lalu. Kondisi tangga jauh lebih berkarat dan satu anak tangga paling atas berbunyi setiap diinjak sehingga setiap ada yang menginjaknya rasanya saya ngilu hehe.
Begitu sampai di atas, pemandangan yang ada di hadapan saya masih sama. Hamparan pepohonan hijau dihiasi warna putih dari kejauhan. Dari atas menara tinggi ini keseluruhan Pulau Rambut akan terlihat. Di seberang sana terlihat birunya laut dan sesekali kapal kecil yang melintas. Angin bertiup cukup kencang hingga rasanya saya mau pegangan aja sama tiang.
Lalu berturut-turut, terlihatlah burung-burung yang terbang melintas. Saya sungguh berharap bisa melihat elang-laut-perut-putih seperti waktu itu terbang di depan kami sambil membawa ranting di paruhnya. Sayangnya, setelah ditunggu-tunggu kami tak juga melihatnya.
Warna putih di antara hijau di depan kami sesungguhnya adalah koloni kuntul, cangak abu, bangau bluwok, dan cangak merah. Sementara pada pepohonan berdaun jarang di sebelah timur bertengger sekumpulan pecuk padi hitam. Saya kurang mengerti apakah memang April adalah musim berbiak atau tidak, karena hampir setiap burung yang terbang selalu membawa ranting.
Dari atas menara kami juga sering melihat burung kekep babi, yang sering disingkat menjadi kebab, dan kepudang kuduk hitam yang bikin geregetan pengin saya jepret tapi terbangnya cepaaat sekali! (Ini mah saya yang nggak bakat sebenarnya).
Lama menanti ternyata elang tak kunjung datang, A dan Abang menyudahi turun dari menara sementara saya masih stay di atas bersama mahasiswi-mahasiswi dari UNTIRTA. Setelah beberapa orang naik ke atas sehingga melebihi 7 orang akhirnya saya putuskan untuk turun dan kembali ke tempat basecamp.
Sejenak saya ragu untuk melintasi jalur trekking sendirian. Karena meski sudah ada jalan setapaknya ya tetep horor buat saya. Akhirnya saya ngibrit jalan terburu-buru, karena lapar, kebelet mau ke kamar mandi, dan takut tiba-tiba ada gurita raksasa atau biawak ngejar. Pokoknya jalan terus aja sambil ngibrit. Nggak perlu saya bilang sih kalo ngibritnya sambil dzikir, nanti dibilang riya :(.
Begitu udah mulai titik terang setelah kegelapan pepohonan rapat-rapat, akhirnya saya nemuin Abang sama A lagi asyik banget mainan pasir. A udah nggak perduli deh celananya kotor kena pasir. Rasanya saya mau teriak: Yes, mission accomplished!
Sambil menanti kelompok lain yang pengamatan, kami para tim hore ini ya hore-hore aja di pasir sambil nyemilin roti. Enak banget lah ya, akhirnya emak-emak ini bisa leyeh-leyeh di pulau tanpa mikirin cucian sama jemuran.
Ternyata ada kuntul kecil lagi yang main-main ke dermaga. Maka langsung saja lagi-lagi, peserta merapat diam-diam.
MENUJU PULAU UNTUNG JAWA
Sore hari setelah semua peserta kembali berkumpul dan masing-masing bercerita apa saja yang ditemukan, kami kembali bersiap-siap menuju Pulau Untung Jawa untuk bermalam.
Saya sungguh kelaparan sehingga hal pertama yang dilakukan setelah meletakkan barang-barang di penginapan balai BKSDA adalah mencari makan sore.
Warung-warung hari itu rupanya banyak yang tutup. Akhirnya kami menemukan warung nasi goreng yang buka dan makan di pinggir pantai. Ada cukup banyak pengunjung yang asyik main pasir, banana boat, hingga renang-renang saja di pinggir laut yang dangkal. Semakin sore pengunjung pun bubar sementara kami tetap duduk-duduk sambil menikmati pemandangan matahari terbenam dan makan nasi goreng. A makan hingga 1 setengah porsi, nggak cukup rupanya seporsi bedua saya.
Malamnya, seluruh peserta berdiskusi tentang sesi pengamatan hari pertama. Saya hanya sebentar mengikuti diskusi tersebut karena menemani A yang gegulingan karena ngantuks. Syukurlah setelah sempat tertidur sebentar lalu terbangun, ia tidak meracau ataupun tantrum karena kelelahan. Bahkan meski suasana di luar cukup riuh karena peserta bermain wolferine or something like that i don’t understand (but it looks so fun), A tetap tertidur pulas hingga pagi. Penyebabnya karena siang hari ia sudah cukup tidur dan AC di dalam kamar ternyata luar biasa dingin. Saya nyari-nyari remote AC buat ngecilin ternyata nggak ada! Sementara anaknya tidur pulas, emaknya ini beku kedinginan.
Nggak papa. Yang penting semua sehat dan pengamatan hari pertama berlangsung lancar.
Alhamdulillah.
Hari itu pun saya dikejutkan dengan keengganan A untuk meninggalkan pulau Rambut beserta pasir-pasirnya yang membuatnya betah untuk bermain.
One thought on “Menuju Pulau Rambut: mengamati burung dari dekat”