Berlelah-lelahlah..
*Ditulis di tahun 2013, saat masih menjadi karyawan tetap dan setiap hari menempuh kemacetan ibukota
Sewaktu melihat foto ini di surat kabar Kompas (lupa tanggal berapa), saya setengah tertawa (dan setengah lagi miris) karena merasa sepertinya saya berada di dalam Kopaja tersebut saat foto ini diambil.
Coba lihat kemacetan yang seolah seperti tanpa harapan itu. Sampai saya (lagi-lagi) menanyakan ulang pada diri sendiri mengenai pilihan untuk setiap pagi melalui jalan padat dan terjebak di tengah kepungan polusi di ruang Jakarta.
Ada rasa jenuh yang membuat saya semakin gamang meneruskan langkah. Haruskah saat berdiri pun saya dikepung asap? Haruskah saat berjalan di trotoar pun saya diklakson untuk minggir? Haruskah tulang punggung saya terus berteriak di tengah kemacetan yang selalu menyita waktu?
Tiga tahun sejak lulus perkuliahan dan mulai bekerja, rupanya tetap tak membuat saya terbiasa dengan semua carut marut kota. Lagipula, siapa yang mau terbiasa dengan macet? Ibu saya (yang sehari-harinya di rumah) terkadang sampai heran saat tahu saya sudah berangkat jam sekian tapi baru tiba di tujuan dua jam kemudian. Padahal waktu tempuh normal adalah tiga puluh menit.
Selama tiga tahun ini menempuh perjalanan pergi dan pulang kerja di Senin-Jumat, saya semakin merasa kalau jalan raya semakin bertambah macet karena volume jumlah kendaraan pribadi yang rasanya semakin banyak. Dan saya termasuk dalam golongan yang tidak percaya kalau pembangunan atau pelebaran jalan adalah solusi kemacetan. Jadi pada saat itu, setiap melihat billboard besar di jalan dengan tagline besar-besar “bla..bla.. pembangunan jalan tol, macet pasti terurai“. Maka saya akan berkata: “PREEEET!!”.
Kenapa ya saya yang awalnya tak berniat ambil bagian dalam arus padat kerja, tiba-tiba terseret dalam pusaran rutinitas ini? Mari saya ceritakan dari awal sejak lulus kuliah. (sepertinya ini akan panjang, silakan ambil cemilan dan menyeduh teh jika bersedia membaca).
^^^^^^^^^
Sejak dalam proses menulis skripsi, saya terlibat dengan sebuah komunitas relawan yang berfokus pada mangrove di Muara Angke, mangrove tersisa di kota Jakarta. Berkegiatan di ruang terbuka yang selama ini saya idamkan, rupanya menambah minat saya untuk kemudian juga bekerja di luar ruangan selepas lulus kuliah.
Maka di masa-masa itu saya menikmati betul berkegiatan di hutan mangrove, apalagi ketika tahu bahwa keberadaan saya di komunitas tersebut dilibatkan dalam berbagai proses dan mendapat banyak kesempatan bekerja sama dengan orang-orang yang baru dikenal. Saya, yang sering merasa minder dan jengah berkomunikasi di depan orang banyak, tiba-tiba berhadapan dengan banyak orang baru yang memiliki minat sama. Dalam sekejap, berkegiatan di hutan mangrove pun berubah menjadi hal penting.
Merasa nyaman dengan segudang kegiatan yang dilakukan di luar ruangan pun membuat saya kemudian enggan untuk bekerja di dalam ruangan, terikat dengan satu lembaga, sejak pagi hingga petang. Skripsi yang memusingkan dan proses penulisannya yang rupanya memabukkan, membuat saya seolah enggan untuk masuk kembali ke dalam ruangan. Saya membayangkan seharian akan duduk di depan layar komputer dan beraktivitas tanpa menghirup udara segar. Oh no.. sepertinya bikin pusing. Sehingga kemudian merasa sungkan untuk mengirimkan lamaran ke berbagai lowongan dan mengabaikan informasi mengenai penerimaan CPNS dari sanak famili yang rutin mengikuti berita lowongan kerja.
Saya akhirnya menyanggupi untuk ikut dalam tim kampanye edumobile yang berkunjung ke sekolah-sekolah menengah untuk mengenalkan mangrove pada siswa-siswa di sana. Berhubung waktu yang dihabiskan tidak seharian, maka saya juga memberikan les tambahan bahasa inggris pada sepupu yang masih di tingkat SD dan SMP. Waktunya ya sesuai kesepakatan saya dan si sepupu yang tentu saja tak kenal macet. Cihuuuy!
Rata-rata SMP dan SMA yang kami kunjungi adalah sekolah di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Saya sendiri takjub pada kekuatan kesehatan saya waktu itu. Pagi menempuh jarak sampai Cengkareng, lalu siangnya melesat ke rumah sepupu di Cimanggis, Depok. Kegiatan-kegiatan ini sama sekali tak saya anggap sebagai sebuah sampingan, bahkan meski pendapatannya pun saat itu hanya mencukupi ongkos sekali jalan.
Tak berapa lama, honor menulis catatan perjalanan Ujung Genteng dimuat di salah satu majalah. Lambat laun saya mulai menikmati sebagai seorang yang waktu kerja dan tempatnya wara-wiri tidak tetap. Saya sebut sajalah itu sebagai freelance (meski mungkin tak sepenuhnya sesuai) dan mulai melirik untuk selanjutnya pun menjadi freelance.
Lalu muncullah sebuah perbedaan. Ibu tak pernah tahu apa itu freelance. Satu hal yang ia tahu adalah “bekerja” itu berarti dilakukan di salah satu gedung dan ruangan. Maka baginya, melakukan pengenalan mangrove ke sekolah-sekolah yang lokasinya jauh dari rumah adalah sama sekali bukan sebuah pekerjaan. Tak ada istilah outdoor activity dalam lingkup pekerjaan dalam kamus ibu. Apalagi cakupan “hutan” yang menurutnya sangat berbahaya, meski lokasinya di kota! Maka perlu banyak membujuk supaya saya bisa tetap berangkat dan ikut bersama tim di hampir setiap harinya. Sampai akhirnya suatu hari saya terpleset dan terjatuh di terminal dengan lutut menabrak trotoar. Saya pun melanjutkan perjalanan ke SMA dengan lutut sakit dan berjalan tertatih-tatih. Sampai di sini saya berpikir suatu hal. Apakah Ibu tidak ridho akan apa yang saya lakukan meski sifatnya positif?
Sesudah itu, dengan banyak pertimbangan saya mulai berpikir mengirimkan lamaran ke berbagai perpustakaan yang membutuhkan pustakawan. Secara tidak langsung saya mulai mengundurkan diri dari tim edumobile, namun masih ambil bagian di banyak kegiatan. Satu surat lamaran yang dikirimkan pun bersambut. Sebuah Sekolah Dasar Plus memanggil saya untuk wawancara (luas sekolahnya bahkan menyaingi SMA saya dulu). Setelah wawancara yang tak berlangsung cukup lancar, seminggu sesudahnya saya dipanggil untuk melakukan tes kesehatan. Namun, berminggu-minggu kemudian tak ada panggilan lagi dari SD tersebut. Merasa sedikit menyalahkan kondisi kesehatan, saya kembali berhenti mengirimkan lamaran. Sehingga di saat kawan-kawan sudah bekerja dan sedang menanti pengumuman CPNS, saya malah sedang asyik naik sepeda di antara sawah dan tebing Lembah Harau, Sumatera Barat.
Tiga bulan kemudian, seorang kawan mendapatkan sebuah proyek untuk mengerjakan perpustakaan pribadi milik seorang dosen institusi negara dan mengajak saya untuk bekerja sama. Koleksi buku yang dimiliki berjumlah 3.000 eksemplar dan ingin dikelola seperti layaknya perpustakaan pada umumnya. Kami kemudian mengerjakan proyekan tersebut selama tiga bulan di rumah pribadi sang dosen setiap hari Senin-Jumat. Datang pakai kaos dan sendal pun okeh saja karena proses pengolahan buku dilakukan di rumah sang dosen di Jakarta Pusat. Di sinilah, saya mulai merasakan lalu lintas dan arus kemacetan kota.
Empat bulan setelah proyekan tersebut selesai, saya bertemu dengan seorang senior di salah satu pernikahan. Perpustakaan tempatnya bekerja sedang kekurangan pustakawan sehingga ia menyarankan saya untuk melamar. Singkatnya psikotes, wawancara, dan tes bahasa Inggris pun berlalu sampai akhirnya saya diterima sebagai pustakawan.
And here i am until now..
Dibalik pekerjaan menjadi pustakawan, saat pagi dan sore hari saya terjun ke dalam pusaran arus macet. Mendapati diri termangu di tengah hutan belantara beton. Memasuki dunia kerja yang katanya penuh persaingan. Dan ternyata bukan hanya persaingan kerja, namun persaingan naik Kopaja, Metromini, terdorong-dorong di TransJakarta, dan bahkan berebutan hak trotoar dengan motor.
Rekor pulang ke rumah di saat Jakarta “tergenang” (padahal hanya hujan satu jam) adalah tiga jam dari waktu tempuh normal tiga puluh menit. Saya memicingkan mata. Haruskah seperti ini? Lalu mulai menyalahkan pihak yang dirasa bertanggungjawab atas kacaunya lalu lintas dan transportasi publik. Lalu mulai berpikir untuk suatu hari nanti kembali menjadi freelance, masuk ke ruangan kerja pribadi dan menulis berbagai kata-kata di sana lalu kalau bosan duduk bersama kertas-kertas di rerumputan dan memandangi awan yang berarak. Hmm.. sepertinya menyenangkan.
Dulu, pilihan bekerja di rumah ini sempat saya ajukan pada Abang. Lagipula saya rasanya tak bisa membayangkan nantinya anak diasuh orang lain. Tapi Abang tak setuju. Tipe macam saya lebih baik bekerja di luar rumah. Beribadah dan mengembangkan diri. Itulah tujuan seorang ibu (dalam hal ini: saya) bekerja di luar rumah katanya.
Banyak membaca mengenai stay-at-home mom vs working mom pada akhirnya pun membuat saya menyanggupi untuk tetap bekerja. Karena kemudian muncul pernyataan: mungkin ini memang kegiatan yang Allah sediakan untuk saya bekerja dan beribadah untuk saat ini.
Perpustakaan tempat saya bekerja berlokasi di Perguruan Tinggi dengan segala warna-warninya. Pustakawan di sini berjumlah 5 orang, ditambah 1 orang staf non-pustakawan, dan 3 orang alumni Perguruan Tinggi sebagai staf administrasi. Kampus membuka lowongan untuk alumni dan akan dikontrak selama maksimal satu tahun sampai mereka mendapatkan pekerjaan.
Rutinitas dan tawa datang silih berganti di antara pustakawan, staf, dan alumni magang, serta mahasiswa pengunjung perpustakaan dengan sifatnya yang berbeda-beda (sopan-sangat sopan, songong-sangat songong). Satu tahun yang terkadang terasa sering berganti-ganti magangers karena ada pula alumni yang mendapat pekerjaan lebih cepat dari 3 bulan, 6 bulan atau bahkan saat baru 1 hari bekerja. Jika itu terjadi kami kembali harus berhadapan dengan orang baru lagi dan lagi. Ada alumni magang yang kami lepas dengan senang hati, namun tak sedikit pula yang kami lepas dengan berat karena bekerja dengan sangat baik dan sifatnya yang supel. Baru-baru ini perpisahan alumni magang malah diiringi dengan hampir semua staf menangis haha.
Namun, tiga tahun lebih lima bulan berjibaku dengan kejamnya ibukota di pagi dan petang rupanya tetap membuat saya seolah renta saat pulang ke rumah. Kota ini semakin terasa kejam karena kian hari kemacetan kian parah. Yeah, sebut saja cemen karena saya kemudian merasakan semangat merosot akibat kelelahan menantang macet. Tiga tahun bekerja yang mungkin saja belum apa-apa tapi nyatanya saat pulang ke rumah pinggang saya sudah tak karuan. (Baca juga tulisan mengenai transportasi publik di sini).
Meski punggung tertolong karena brace, namun tetap saja waktu tempuh yang molor menjadi satu jam dan bahkan dua sampai tiga jam (menuju atau dari Ciputat) membuat mood saya berantakan saat tiba di rumah. Beberapa hari lalu bahkan dibutuhkan satu jam untuk menunggu bus dan dua jam di perjalanan menuju pulang. Kamar yang berantakan, lantai yang berdebu, cucian menggunung, dan ibu mertua yang menanyakan perihal kami yang seringkali membeli makan di luar membuat saya semakin melongo. Kapan saya belajar masak jika malam hari saya kehabisan energi karena terlalu lama di jalan lalu bangun pagi sudah habis waktu untuk ini dan itu?
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” ~ Seno Gumira Ajidarma.
Saya meringis membaca kutipan tersebut di twitter. Lingkungan kerja memang cukup nyaman (kecuali mungkin beberapa mahasiswa yang kadangkala berperilaku tak sopan), namun membayangkan menjadi tua di jalan (dalam hal ini: Jakarta) cukup mengerikan rupanya. Jika sudah merasa sangat lelah, sambil berjalan tersuruk-suruk saya hanya berkata; “Kenapa kita tak bercocok tanam saja di desa?”, yang kemudian akan dijawab; “Desanya siapa dan di mana?”
Semua itu bertubi-tubi menghantam. Saya seperti kembali memikirkan untuk bekerja di rumah, menyiapkan dan membangun perpustakaan sendiri, menyambut suami dengan segelas teh hangat, dan mendengarkan rintik hujan sambil ditemani coretan-coretan tulisan. Sebuah impian yang melenakan.
Tapi sebelum memutuskan satu pilihan, saya terseret untuk menimbang lagi apakah dengan kemudian bekerja di rumah (atau mungkin pindah kerja) lalu voila! semua masalah selesai?
Bagaimana dengan cerita seorang ibu yang memutuskan bekerja di rumah dengan barang dagangan online tapi malah diprotes anak balitanya karena berada di hadapan sang anak tapi tidak ikut mewarnai dan malah sibuk membalas pesan-pesan dari sang pelanggan di ponsel yang ia genggam? (Si ibu bercerita sendiri tentang pengalamannya itu mengenai manajemen waktunya yang masih kurang baik). Atau cerita seorang kawan yang tidak menjadi pekerja tetap, tapi freelance yang ia jalani seringkali mengharuskannya bertemu klien dengan menempuh perjalanan naik KRL di jam kerja yang padatnya ampun-ampun itu. Atau cerita kawan lain yang sudah menempuh macet dua jam lalu tiba di kantor selalu dimarahi bos yang galaknya seperti singa. Bukankah semua memiliki cerita dan perjalanannya masing-masing? Juga bahu dan kekuatan masing-masing?
Jangan-jangan dalam diri saya ini masih ada seputar permasalahan “ibu bekerja yang ingin di rumah dan ibu di rumah yang ingin bekerja”? Jangan-jangan saya yang belum bisa mengelola waktu dengan sebaik-baiknya sehingga tak bisa mengatur kapan harus membereskan rumah dan kapan harus melakukan “me time“? Jangan-jangan saya yang belum mengatur pola makan dengan benar sehingga energi cepat sekali habis?
Jangan-jangan saya sedang tidak bersyukur?
Ah, untuk yang terakhir ini semoga saja tidak. Tulisan yang mulai ditulis sejak awal November hingga pertengahan bulan ini (semoga) membuat pergolakan batin bisa mereda. Semoga dengan menuliskan ini semua saya bisa mengerti apa-apa yang harus saya lakukan dan apa-apa yang sudah diberikan dalam hidup saya. Semoga saya bisa menjalani yang diamanahkan olehNya untuk saat ini dan yang akan datang dengan sebaik-baiknya.
Lakukan saja dulu apa yang terbentang di depan mata. Meski bukan perantau dan sudah sejak lahir berada di kota ini, tapi bolehlah saya mengutip sebait kata-kata.
Seperti pekerja perantau yang pergi di pagi hari dan pulang di saat senja.. yang berharap bisa pulang ke rumah dengan aman.
“Berlelah-lelahlah..
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” ~ Imam Syafii
^^^^^^^^^
Note: Stay-at-home mom vs working mom baca di sini dan di sini.
*dedicated this to Runi, yang sudah melalui masa-masa kuliah-kerja Monas-Salemba-Ciputat dengan kereta