Pulang dengan aman
Sebagai orang yang pernah mengalami setidaknya dua kali kecelakaan, saya semakin menyadari betul pentingnya keselamatan dan keamanan di jalan raya. Pulang dengan aman dan selamat sampai di rumah rasanya adalah berkah luar biasa. Bertemu dengan keluarga kembali, berkumpul lagi di rumah bersama ibu, ayah, kakak, keponakan, dan suami.
I wanna go home safely..
Maret 2004
Hari itu adalah hari Jumat. Saya masih berada di kelas 2 SMA. Seperti biasa, khusus di hari Jumat saya mengenakan rok dan pakaian seragam lengan panjang. Hitung-hitung latihan mengenakan jilbab, pikir saya saat itu. Hari Jumat itu seolah sama seperti biasanya. Saya pulang dari sekolah menaiki angkutan umum bersama Rima. Selain kami di dalam angkot hanya ada satu penumpang lagi.
Lalu tibalah saatnya saya turun dari angkot kecil itu, dadah-dadah pada Rima yang masih lebih jauh sedikit rumahnya. Saya setengah bangun dari duduk dan menunduk kejedut langit-langit angkot, mencolek supir, dan menyerahkan ongkos sejumlah Rp 1.500. Tanpa disangka saat hendak turun, kaki kiri saya sudah berada di aspal jalan tapi bagian belakang rok panjang itu menyangkut pada entah paku, entah kayu atau entah benda apa yang berada di pintu angkot. Yang jelas karena kaki kanan terhambat dan tidak bisa turun, saya oleng, lalu terjatuh tengkurap di aspal. Dan si supir beserta dua orang penumpang di dalamnya (termasuk Rima yang mungkin sedang memandang keluar jendela dan mengira saya sudah menyeberang jalan) tidak tahu saya terjatuh.
Beberapa orang bapak yang berdiri beberapa meter dari saya menyadari saya terjatuh dan berlari ke arah saya sambil berteriak. Tapi sang supir tak mendengar. Iya, supir angkot melaju begitu saja sementara kaki kiri saya (entah bagaimana saya juga tak mengerti) masih berada di kolong angkot.
Saat itulah sambil tengkurap di aspal dan tetap tak bisa bangun saya meringis menahan tumpuan beban seluruh angkot yang berjalan. Seluruh dunia rasanya berhenti dan meletakkan bebannya pada kaki kiri saya yang terlindas ban. Luar biasa berat sekali rasanya. Sekelompok orang bapak yang tadi berlari-lari akhirnya tiba di tempat saya terjatuh dan cepat-cepat menggedor angkot supaya berhenti. Mereka membantu saya berdiri dan supir pun turun, sementara Rima sama shock-nya seperti saya. Wajahnya bingung tapi lalu sigap memegangi saya supaya tidak terjatuh. “Bukannya udah nyeberang??” katanya bingung.
Lalu terjadilah debat kecil karena bapak-bapak itu memaksa saya pergi ke rumah sakit beserta supir angkot agar bertanggung jawab. Tapi saya menggeleng, takut.
“Mau pulang aja.” kata saya lirih.
“Biar diperiksa kakinya. Supirnya juga harus tanggung jawab.” seru tukang majalah langganan yang biasa mangkal di dekat halte.
Saya menggeleng, bersikeras untuk pulang saja. Mereka lalu menawarkan untuk mengantar atau supir angkot yang mengantar ke rumah. Tapi lagi-lagi saya menggeleng. Tak bisa terbayang wajah ibu jika saya naik angkot yang bannya baru saja melindas saya dan berhenti di depan rumah. Saya meminta Rima saja untuk mengantar. Itupun sampai pangkalan ojek saja lalu saya naik ojek sendiri sambil meringis-meringis dan terisak.
Ibu kaget mendapati saya pulang sambil menangis lalu langsung berganti baju dan menelepon paman untuk mengantar kami menuju ke klinik terdekat. Adegan di ruangan dokter selanjutnya adalah peristiwa paling menggelikan karena si dokter bersikeras tidak mau mendengar bahwa kaki saya terlindas ban. Saya tak bisa percaya bahwa ia tak percaya cerita saya!
“Mungkin terlalu shock, bu.” katanya.
Buset! “Emangnya bohong!” seru saya pada sang dokter. Kesal luar biasa.
“Angkot itu berapa kilo, kaki kamu sih remuk kalo beneran kelindes. Ini kan nggak pa-pa.”
Okeh. Sampai di sini saya percaya bahwa si dokter mungkin saja tak percaya mukjizat. Selesai suster membersihkan luka-luka di lutut dan kaki karena terjatuh di aspal, saya keluar ruangan dengan cepat, membanting pintu ruang dokter dan berjalan secepat kilat ke mobil sambil mengomel-ngomel. Begitu tiba di rumah langsung masuk kamar sambil terus menangis. Berniat tak akan pernah ke dokter itu lagi.
Sore hari badan saya panas dan kaki snut-snut luar biasa. Dari mata kaki sampai telapak kaki kiri bengkak. Ibu berusaha membalutnya dengan kain yang sudah dibalurkan minyak tawon. Ditunggu beberapa jam mata kaki itu malah bertambah bengkak dan semakin terasa sakit.
Para tetangga menjenguk dan menyarankan kami pergi ke pengobatan alternatif pijat di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Aduh, saya sudah pernah mendengar tentang pijat-memijat itu dan kabarnya sakit luar biasa saat dipijat! Tapi malam harinya kami pergi ke sana dengan saya yang dag dig dug luar biasa. Antrian di tempat pijat tulang itu ramai meski sudah malam. Saat tiba giliran saya, rasanya mau mencakar sofa di sebelah saking sakitnya. Kakak meledek saya dan berdiri di belakang tukang pijat, maksudnya supaya menghibur,
“Habis ini beli Harry Potter, deh.” bujuknya.
Penderitaan beberapa menit itu berakhir, bapak pijat berkata bahwa tulang saya retak. Ia membebat kaki saya mulai betis hingga telapak kaki dengan bahan serupa gips yang sepertinya sudah dicampur putih telur dan membebatnya dengan kain lalu berkata bahwa saya harus kembali lagi setiap lima hari.
Segera setelah itu, selama satu bulan saya harus pergi ke sekolah dengan dua tongkat dan diantar jemput oleh paman setiap hari. Kelas saya di lantai 2, maka kawan-kawan sekelas yang lain membawakan tas sekolah setiap harinya sambil membantu saya naik-turun tangga saat berangkat dan pulang sekolah.
^^^^^^^^^^^
18 Oktober 2011
Pesanan sepatu sudah saya terima dengan baik. Ya, sebagai seorang skolioser yang wajib menambahkan 1 cm pada alas kaki sebelah kanan, cukup sulit bagi saya mendapatkan perajin sepatu yang mengerti pesanan khusus ini. Sehingga senang sekali ketika pada akhirnya bisa bertemu perajin sepatu yang mengerti betul akan kebutuhan saya itu.
Sepatu boot cantik berwarna ungu. Sebelah kanan lebih tinggi 1 cm. Sebelah kiri rata seperti biasa.
Saya sudah merencanakan untuk sekalian saja mengenakannya di pernikahan salah satu teman pada hari Sabtu malam, beberapa hari setelah sepatu khusus itu diambil. Saya sudah membayangkan warna ungu yang manis saat pesta itu nantinya, lengkap dengan dress ungu. Lamunan yang menyenangkan sampai setidaknya ketika hari sabtu itu datang.
23 Oktober 2011
Sebagai pengincar buku diskon di mana-mana, hari itu saya juga tak mau melewatkan salah satu event buku di perpustakaan kampus saya dulu. Saya pergi sendiri ke sana, tapi yakin akan bertemu Shella yang hari itu menjaga stand perpustakaan tempatnya bekerja.
Bazar buku bacaan anak untuk nantinya dikirimkan via Kelana Kelapa rupanya tak banyak. Saya hanya mendapatkan satu buku saja lalu lebih banyak nengobrol dengan Shella di stand-nya sambil menunggu hujan reda. Setelah itu saya pamit meninggalkan perpustakaan.
Aroma tanah basah setelah hujan yang semerbak di sepanjang jalur setapak membuat saya semakin semangat berjalan kaki. Saya berbelok ke kanan, menuju stasiun untuk kembali pulang. Lalu tiba-tiba secepat kilat berubah pikiran saat teringat sesuatu. Berpikir membeli hadiah untuk adik ibu alias bibi saya yang baru saja milad beberapa hari lalu. Saya berbalik, tak jadi ke stasiun tapi berbelok ke kiri. Berniat menyeberang jalan untuk menuju deretan toko pernik-pernik.
Saya menoleh ke kiri, ada mobil tapi masih jauh. Begitu pikir saya percaya diri sambil melenggang diiringi alunan syahdu pepohonan yang bergoyang ditiup angin dan tetes-tetes air yang masih tersisa di pucuk daunnya. Lalu,
BRAAAAK!
Sebuah benda menabrak saya dari kanan. Detik berikutnya saya oleng, terjerembab ke aspal. Rubuh. Benda itu berhenti. Saya masih sadar, tapi kaki saya sakit, lalu berniat bangun tapi tak jadi karena tak bisa. Saya menoleh dan memandang dengan seram.
Tentu tak bisa karena telapak kaki saya berada tepat di bawah ban si benda beroda empat itu.
Mahasiswa-mahasiswa yang baru turun dari bus kampus dan mungkin juga tukang ojek kemudian berlarian ke arah saya, menggedor pemilik mobil untuk memundurkan mobilnya. Mereka lalu membangunkan dan memapah saya. Sepatu saya (yang juga lebih tinggi sebelah kanan dan baru dipakai 1 minggu) terbelah dua, kaus kaki saya robek, dan orang-orang mulai bertanya tapi saya tak sanggup menjawab. Lebih parah lagi karena tak sanggup berdiri. Mahasiswa-mahasiswa baik hati itu memapah saya ke dalam mobil si pemilik yang rupanya adalah dua orang wanita. Saya meringis kesakitan karena telapak kaki yang sakit dan terasa panas luar biasa, tak bisa digerakkan. Saya meminta pemilik mobil untuk menelepon Shella yang masih di perpustakaan agar ikut bersama kami, supaya saya lebih tenang dan ia bisa membantu menelepon keluarga saya.
Jam-jam berikutnya saya sudah berada di rumah sakit bersama Shella. Tak lama kemudian datang berombongan kakak saya beserta adik ibu, Bulik Pikoh, serta suaminya. Wajah mereka penuh rasa khawatir, terutama adik ibu yang menjadi alasan saya untuk berbalik arah tadi. Hadiah yang mau saya cari adalah untuknya. Ia menangis di hadapan saya. Sementara Bulik Pikoh tertawa-tawa saja sambil mendorong kursi roda saya.
“Mbak Indah, Mbak Indah… hihi.” katanya. Mau tak mau saya ikut tertawa. Menertawakan nasib saya yang terlindas ban dua kali. (Ah, aku rindu senyummu, Bulik Pikoh..)
Beberapa menit kemudian saya sudah berada di depan dokter skoliosis yang kebingungan melihat saya di kursi roda. “Kamu bukannya pakai brace?”.
Begitu dijelaskan tentang saya yang terjatuh, kebingungan di wajahnya sirna.
“Makanya dari tadi saya bingung. Pakai brace, kenapa di kursi roda? Ada-ada saja.” Begitu katanya lalu menyuruh saya rontgen.
Saya terkekeh menanggapi kebingungannya, tapi lalu dag dig dug tak berani memandang kaki yang akan di-rontgen. Begitu hasil rontgen sudah didapat, kami hening di dalam ruangan menanti dokter yang menatap hasil rontgen telapak kaki saya itu. Ia mengangguk-angguk saja dan membuat kami cemas.
“Mukjizat. Telapak kaki kamu nggak retak atau patah. Syaraf-syarafnya saja yang terkena, makanya jadi memar. Hitam begitu kakinya. Fisioterapi ya setiap minggu.”
Sang dokter masih berdecak kagum. “Syukur ya, padahal katanya mobilnya besar. Hehe.”
Saya hanya tertawa sambil meringis. Dokter lalu membuat surat untuk perpustakaan tempat saya bekerja agar mengizinkan saya tidak masuk selama tiga minggu. Ah, mungkin saya memang butuh liburan. Dan dimulailah peristiwa pengulangan seperti tujuh tahun lalu: saya kembali pakai tongkat. Bedanya kali ini ditambah melakukan fisioterapi dengan berbagai alat. Kaki saya juga wajib direndam di es batu setiap pagi sampai saya bersin-bersin karena kedinginan.
Lalu dimulailah liburan. Menggambar, blogging, menulis, dan tidur.
Dua minggu kemudian barulah rendaman di kaki dirubah menjadi air hangat. Masa berlibur tiga minggu yang diberikan jatah oleh dokter pun hampir mendekati batasnya. Menjelang masa-masa akhir, saya kembali kontrol ke RS dan dengan pedenya melepas tongkat, masuk ke ruang dokter sambil tertatih-tertatih.
“Hei, tongkatnya mana?!” seru dokter begitu melihat saya.
“Kan sudah bisa.” jawab saya nyengir.
“Aduh…belum waktunya. Belum kuat telapaknyaah.”
Walaah mak..! Paman pun langsung bergegas mengambil tongkat yang kami tinggal di luar ruangan. Halah.. sapa ya yang kemaren nyuruh saya latihan jalan tanpa tongkat, ternyata sama dokter belum boleh -_-.
“Nanti dulu.. masih ada beberapa terapi sebelum akhirnya baru bisa latihan jalan lagi, okeh?”.
Oh, rupanya selain terapi-terapi di kaki yang selalu membuat telapak saya kegelian, kedinginan, kepanasan, kesetrum, sampai kesakitan, masih ada lagi terapi selanjutnya hingga nantinya saya bisa berjalan kembali. Setelah kaki dirasa cukup kuat, terapis meletakkan kantung berwarna hijau (yang saya rasa diisi batu kerikil dengan berat sekian gram) di pergelangan kaki untuk kemudian harus saya angkat dengan kaki tersebut sambil berhitung dari 0 sampai 10.
Rasanya beraaaaat. Beban kantung yang mungkin hanya maksimal mencapai 1 kilogram itu segera saja membuat saya berkeringat dan kesulitan mengangkat kaki di hitungan ke sekian. Terapis menyemangati saya yang mulai menyerah. Saya takjub saat itu. Kaki yang awalnya bisa saya gunakan berjalan seperti biasa lalu memar sampai berubah menjadi warna hitam dan bengkak besar sehingga tidak bisa menapak lalu kemudian tak digunakan untuk berjalan selama tiga minggu dan berujung pada harus dibiasakan latihan kembali agar berfungsi lagi seperti biasa.
Saya tak suka terapi angkat berat di kaki itu, tapi terapi yang paling saya suka adalah mengayuh sepeda statis. Ini serasa olahraga saja dan bukannya sedang terapi.
Begitu tiga minggu benar-benar berlalu, sama seperti pasca kecelakaan saat SMA dulu paman kembali menyupiri saya setiap harinya menuju dan dari tempat kerja (meski tentu saja diselingi hari-hari dengan tetap ke RS untuk terapi). Kami pun menembus kemacetan dengan mobil ayah, dan di sinilah saya menyaksikan kembali laju para pengendara yang sesat dan tak memerhatikan keselamatan. Ah, kau tak butuh kecelakaan dulu kan untuk bisa mengerti artinya tiba di tujuan dengan selamat?
Pengendara motor berputar seenaknya, sebagian bahkan nekat menaikkan motor ke bagian tengah pembatas jalan yang notabene adalah area tanah yang ditumbuhi pepohonan. Bahkan tak hanya motor, mobil pun nekat berputar di situ saat macet. Macam off road saja. Kadang paman sengaja berhenti, di tempat motor-motor itu seharusnya menaikkan kendaraannya ke jalan pintas. Maka mobil kami pun ramai diklakson motor dan dimaki-maki mereka yang marah-marah karena tak bisa menerabas jalan. Sementara kami hanya cekikikan di dalam mobil.
Ayah memang memiliki kendaraan pribadi berupa mobil sementara dan motor pribadi, tapi tak pernah mengantar jemput kami kecuali bepergian bersama-sama seluruh keluarga atau saat kondisi mendesak. Maka diantar jemput paman dengan mobil setiap hari adalah kemewahan yang ternyata kemudian malah membuat saya rindu mengejar metromini dan segala keseruannya.
“Cepetan sembuh. Ditungguin tuh sama metromini.” ledek paman seolah tahu apa yang ada di kepala saya saat memandangi bus tersebut meliuk mengambil para sewa (-sebutan untuk para penumpang) di tepi jalan yang biasa saya lalui.
Kira-kira butuh beberapa minggu lagi sampai akhirnya saya bisa kembali berangkat sendiri dan mengejar metromini seperti biasa. Saya bahkan batal menjadi penerima tamu saat pernikahan adik tante karena kaki yang belum sembuh benar jika terlalu lama berdiri. Sepatu boot ungu yang awalnya hendak dipakai pun harus menunggu dua bulan lamanya hingga akhirnya baru bisa digunakan. Itu pun dengan kondisi berangkat kondangan tanpa mengenakan sepatu dari rumah akibat bengkak yang kerap muncul saat kaki terlalu lama dalam posisi menggantung. Sang sepupu, Aliya, saat itu dengan matanya yang berbinar berulang kali menanyakan apakah kaki saya sudah sembuh dan tidak lagi menggunakan tongkat untuk berjalan.
Sayang, tak sampai sebulan sesudahnya saya kembali mengalami kejadian tak menyenangkan di jalan raya, tepatnya di trotoar. Saat itu saya sedang berdiri di halte yang sepanjang beberapa meter sebelumnya merupakan jalur pejalan kaki alias trotoar. Lampu merah yang berdiri tak jauh dari situ rupanya kerap membuat banyak pengendara motor tak sabar dan lebih sering melipir melewati trotoar dan mengusir pejalan kaki. Salah satunya seorang pengendara motor yang saat itu berhadapan dengan saya yang sedang berdiri di halte (yang diapit trotoar).
“Mbak, awas mbak.” katanya menatap saya.
Saya (yang pura-pura tak memerhatikannya) pada akhirnya menoleh, menatapnya sambil mengerutkan kening dan balas dengan isyarat dan raut wajah bahwa saya tak mau minggir. Lha, ini kan halte.
Ia pun mengulangi ucapan perintahnya, “Mbak, awas mbak. Minggir..!”. Kata-katanya mulai meninggi.
“Apa seh?!” balas saya. “Ini halte! Bukan jalan!” Saat itu saya merasa wajah saya mulai memerah dan merasakan seantero kepala pengendara motor lain yang sedang terkena macet lampu merah memandangi perseteruan kami.
“Minggir nggak! Gw tabrak lo!” gertaknya lagi.
Eh, buseet! Udah salah, pake ngancem lagi.
“NGGAK MAO MINGGIR!”
Si pengendara pun mulai melakukan isyarat tangan yang nge-gas motor. Beeuh! beneran mau nabrak. Aduh beneran ya saat itu rasanya saya tak mengerti KENAPA BISA ADA ORANG MACAM ITU?!! (maap pake capslock). Intinya setelah perseteruan yang seolah tak ada habisnya, si pengendara berlalu tapi sempat saya tendang motor bagian belakangnya. Blaaah! Ngapa jadi dia yang lebih marah?! Ini kan hak sayah!
Okeh, cukup ya marah-marahnya. Setelah itu saya cukup menyesal. Menyesal karena kurang sabar rasanya menghadapi pengendara motor itu. Saat tiba di rumah saya tiba-tiba merasa bersalah teringat Rasulullah SAW yang dilempar kotoran unta namun tetap bisa bersabar dan berdoa semoga kaum tersebut kembali ke jalan yang benar. Sementara saya? Waktu itu saya doain motornya dia rusak.
Di lain waktu saya hanya bisa menghela nafas saat berjalan di trotoar dan motor-motor melaju di sisi kiri-kanan saya. Terkadang saya sengaja memelankan langkah agar mereka tak bisa lewat. Jalan kaki yang seharusnya menjadi aktivitas menyenangkan lalu berubah menjadi memusingkan karena saya tak tahu lagi harus menengok ke kiri atau kanan terlebih dulu akibat motor-motor yang melaju melawan arus.
Kabarnya, statistik kecelakaan di jalan raya jauh lebih tinggi daripada statistik manusia diserang ikan hiu di laut lepas. Tapi perburuan hiu masih berlanjut sementara perbaikan sikap di jalan seolah tak berubah bahkan cenderung semakin kencang persaingan dulu-duluan dan sikut-sikutan.
Setiap orang tentunya ingin tiba di rumah dengan aman dan selamat. Tidak seperti saya yang harus belok dulu ke rumah sakit, kan? Banyak yang bahkan tak dapat lagi pulang ke rumah. Naudzubillahimindzalik… Saya rasa setiap orang sebenarnya tahu apa-apa yang tak boleh dan apa-apa yang seharusnya dilakukan. Ada yang sudah super hati-hati, eh pengendara di sebelahnya malah serabutan. Kalaupun tidak mengerti rambu lalu lintas dan hak pengguna jalan lain, saya rasa SIM mereka nemu di selokan dan bukannya membuat sesuai prosedur.
Mari melaju dengan tak merugikan orang lain. Mari pulang dengan aman.