Kawah Sikidang dan burung hantu

Juli 2016,
A di masa kecilnya dulu suka sekali dengan burung hantu. Setiap ada burung hantu di buku ia selalu menyeru saya untuk bernyanyi atau jika dalam satu-dua hari belum membaca buku burung hantu pasti ia akan mencari-cari buku tersebut di antara tumpukan buku (yang berantakan itu).
Kesenangannya pada burung hantu rupanya terbayar saat ia melihat sendiri dari dekat wujud burung tersebut. Ironisnya burung hantu pertama yang ia temui bukanlah burung yang sedang berada di alam liar melainkan diikat pada sebuah pohon. Inilah yang kami temui di Kawah Sikidang, Dataran Tinggi Dieng, Probolinggo, Jawa Tengah.

Kawah Sikidang merupakan salah satu tempat wisata yang hampir pasti dikunjungi di Dataran Tinggi Dieng yang berjarak sekitar 4 jam dari Purwokerto ini.
Lokasi Kawah Sikidang tidak terlampau jauh dari area homestay. Melewati jalannya yang meliuk-liuk dan mencium aroma belerang yang kuat di titik tertentu membuat beberapa penjual menjajakan masker untuk para pengunjung dengan harga Rp 2.000.
Deretan kios penjual memenuhi lorong masuk menuju kawah. Rata-rata menjual carica (buah khas Dieng), topi, syal, sovenir, tanaman, hingga madu.

Kawah Sikidang terbilang luas. Di dalamnya pun masih ada kios penjual lagi di antara jalan setapak. Pada setiap kawah di area ini seluruhnya diberi pagar kayu untuk membatasi pengunjung. Tampak beberapa warga lokal yang sedang membuktikan bahwa kawah tersebut juga bisa dipakai untuk merebus telur yang diletakan pada wadah di bibir kawah.

Semakin jauh melangkah kemudian nampaklah deretan burung hantu sedang bertengger pada ranting pohon. Karena selama ini A sudah melihat di buku maka ia langsung tahu bahwa yang hadir di depannya itu adalah burung hantu.
“Mamah.. Mamah.. atu!” Kata A girang.


“Waduh. Beneran burung hantu yah?” tanya saya. Maklum norak karena selama ini saya juga belum pernah sukses ketemu burung hantu. Dulu sempat penasaran sama burung hantu gara-gara Hedwig-nya Harry Potter hehe.
Di ranting pohon yang nggak ada daunnya itu ada kira-kira 3-5 ekor burung hantu yang kakinya diikat pada ranting, meski ada pula yang tak diikat (namun tidak terbang). Jenis burung hantu tersebut beda-beda, ukurannya pun tidak sama. Saya nggak ngeh pada saat itu kenapa burung hantu sore-sore terang gitu pada melek, bukannya bobo buat ntar malam. Ketika dilihat lagi ada satu burung hantu yang sedang menggigit sesuatu tergantung dari mulutnya (yang saya duga tikus hiiiii….), badannya bergoyang-goyang tapi matanya merem! Iyah, si burung hantu tidur sambil menggigit makanan rupanyah!
Tak jauh dari tempat burung hantu, terdapat kertas yang dipajang bertuliskan “Foto dengan burung hantu Rp 5.000”. Seorang bapak menawarkan kami untuk berfoto tapi kami menggeleng.
“Ini burung hantu dari daerah Dieng, Pak?” Tanya Abang.
“Bukan. Ada yang dari Sumatera, yang besar. Kalo yang dari sekitar sini yang kecil.” Jawabnya riang.
A senang sekali melihat deretan burung hantu tersebut dan tak mau beranjak hingga harus dibujuk lebih lama lagi. Ketika kami menuju sisi lain kawah lagi, rupanya ada deretan burung hantu lagi di ranting yang berbeda.

Ada banyak hal yang masih menjadi PR bersama, yaitu belum munculnya rasa tanggung jawab terhadap lingkungan terutama mengenai pentingnya keberadaan burung bagi keberlangsungan alam (juga ditambah lagi-lagi tentang sampah yang dibuang sembarangan). Sayangnya, berbicara mengenai hal itu kemungkinan besar cukup sulit jika berhadapan dengan “Tapi saya kan butuh pemasukan”, yang kemudian disetujui oleh sebagian yang lain.
Maka ingat-ingat saja untukmu yang mau datang ke Kawah Sikidang, masih ada yang bisa dilakukan untuk membantu perekonomian warga setempat alih-alih berfoto dengan burung hantu yang ditangkap. Misalnya saja membeli sovenir, topi kupluk, sarung tangan, hasil pertanian seperti kentang dan wortel, madu, dan terutama carica yang menjadi penganan utama khas Dieng.


I do believe birds are not mean to be caged. Or un-caged but tied to a branch. Or forced to open up eyes on their nap time.