Menyambangi desa ramah burung: hari perlombaan
Pagi harinya saat bangun di waktu subuh, Ibu Ruwet sudah menyediakan teh manis panas dan gorengan berupa tahu dan geblek. Kemudian disusul juga dengan sarapan pagi berupa nasi, telur dadar, tumis buncis dan tempe, serta sambal.
Kami sarapan bersama-sama sambil kemudian juga berbincang-bincang bareng Ibu Ruwet tentang beraneka macam topik mulai dari kondisi desa, tamu-tamu yang selama ini menginap, hingga ke topik soal apa-apa saja yang harus dilakukan oleh seseorang menurut adat setempat sebelum melangsungkan pernikahan bagi mereka yang berasal dari Kulon Progo dan sekitarnya.
Setelah itu tim kami pun bertemu dengan pemandu yang bersiap memandu kami ke dalam berbagai spot yang sudah ditentukan untuk kami bisa mengambil foto burung untuk keperluan lomba. Tantangannya adalah kami tidak lagi boleh menggunakan birdhide saat lomba sehingga benar-benar akan sangat berjarak dengan burung-burung yang ada. Spot burung super mudah yang ada di basecamp kemarin sambil cukup dengan duduk-duduk saja pun juga tidak boleh diikutsertakan menjadi lomba foto.
Saya dan kawan-kawan mulai menapaki jalur yang sudah disediakan mengikuti pemandu. Jalur yang kami jejaki berada di tengah perkebunan namun karena ingin eksplorasi lebih jauh akhirnya kami melipir masuk ke dalam area hutan yang masih diperbolehkan selama tidak merusak perkebunan warga.
Sesekali kami berhenti saat mendengar kicauan burung dan leher kami menoleh ke sana ke mari ke pohon-pohon tinggi untuk bisa mencari tahu tempat burung tersebut bertengger dan mengabadikannya dengan kamera. Sayangnya saat hari lomba justru sulit sekali bagi kami untuk bertemu dengan burung yang mau difoto. Hingga lebih 30 menit kami hanya berputar-putar dan akhirnya memutuskan untuk duduk saja di tempat yang kira-kira burung akan kembali dan bertengger di depan mata kami. Selama berjalan kami banyak menjumpai pohon kelapa, pohon aren, pohon cengkeh, hingga kakao juga tanaman empon-empon yang menjadi komoditas petani desa tersebut.
Seekor elang yang sedang soaring alias terbang berputar untuk menandai area wilayahnya sempat terlihat tak terlalu jauh di langit di atas kami namun tetap saja tak bisa saya foto dengan baik. Leher saya sudah sangat pegal menoleh ke pepohonan tinggi. Belum ditambah dengan kamera yang digantung di leher dan tripod yang disandang di bahu. Skoliosis saya sudah jangan ditanya rasanya kayak apa 😅. Saya dan peserta lain akhirnya langsung menyanggupi saat pemandu kelompok kami yaitu Kevin, menawarkan untuk membantu membawakan tripod
Saya dan dua orang peserta lain yaitu Afrizal dan Apri, akhirnya memilih duduk-duduk saja di depan area pepohonan. Kami memang sejak tadi memutuskan menjadi tim penggembira saja dan malah mengeluarkan berbagai makanan sambil menganggap bahwa acara utama kami hari itu adalah piknik!
Saya mengeluarkan bekal roti yang saya beli di hari sebelumnya dan Afrizal mengeluarkan plastik berisi geblek, penganan tradisional yang dibuat sendiri oleh Ibu Ruwet tadi.
Sambil duduk dan mengobrol rupanya kami kemudian menyadari ada seekor burung yang bertengger dan berkicau di pohon tak jauh dari kami. Saya sontak berdiri karena terkejut ingin menghampiri. Tapi Afrizal sontak berkata, “Duduk, Mbak! Duduk!”.
Saya masih sering lupa bahwa pergerakan tiba-tiba bisa membuat burung kabur dan semakin sulit difoto. “Duduk aja, nanti juga balik lagi.” Akhirnya saya mengikuti saran tersebut sambil berjongkok namun kali ini sudah bersiap dengan pose kamera ke arah pohon. Benar saja, si burung kembali lagi dan akhirnya bisa saya jepret meski masih agak blur. Hingga akhir waktu menuju istirahat, kami hanya berjumpa dengan sikatan bubik, cipoh kacat, dan caladi tilik yang sedang mematuk-matuki batang pohon nun jauh tinggi di sana.
Saat makan siang, para peserta kembali ke basecamp dan sangat gembira sekali saat mendapati kemasan makanan yang dibungkus sedemikian rupa menjadi sangat menarik berupa daun yang dibentuk menjadi keranjang dan juga nasi yang dibungkus dengan daun jati. Kemasan alami yang tidak menambah sampah tak terurai di desa.
Selesai istirahat, saya dan kelompok menuju spot kedua yaitu di area wisata Sungai Mudal. Jika di spot pertama tadi berupa area hutan perkebunan, maka di spot kedua kami harus berhati-hati menuruni anak tangga demi anak tangga menuju area wisata. Semakin sulit saja perjalanan karena kami juga harus sambil mencari burung untuk difoto.
Beberapa burung terlihat sekilas namun keberuntungan kami hari itu rupanya tak banyak. Mengamati burung memang sangat ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya waktu, cuaca, lokasi pengamatan, jam terbang pengalaman, hingga faktor keberuntungan.
Jangankan lomba foto seperti kami yang hanya dibatasi waktunya selama satu hari, kawan-kawan pengamat burung lain bisa membutuhkan waktu pengamatan hingga berhari-hari di dalam hutan untuk mencari keberadaan seekor burung yang berada di sebuah kawasan untuk keperluan penelitian.
Meski lelah di hari itu, saya kembali mengingatkan diri saya bahwa hadirnya saya menjadi peserta lomba adalah karena rasa penasaran dengan Desa ramah burung ini dan bisa bertemu dengan kawan-kawan sesama pengamat burung, sehingga tidak terlalu kecewa ketika tidak berhasil memotret berbagai burung yang ditemui dengan sangat baik untuk kepentingan lomba semata apalagi mengingat lensa kamera milik sendiri yang tidak cukup memadai.
Rasanya bisa berjalan-jalan di dalam desa dengan tetap dalam kondisi sehat dan juga tidak kehujanan sambil mengalungkan kamera yang basah kuyup saja sudah nilai plus buat saya.
Rally lomba hari itu ditutup dengan acara resmi penutupan dari penyelenggara acara area Watu Blencong. Tidak disangka juga ada persembahan sendratari persembahan dari anak-anak dan remaja Desa Jatimulyo.
Sendra tari yang disajikan adalah mengenai kisah Barathayuda yaitu Dewi Tara yang cantik dan jelita, putri sulung dari Bhatara Indra dan Dewi Wiyati, yang menolak lamaran Mahesasura yang dibantu oleh Lembusura beserta pasukannya yang semuanya menyerupai sosok seperti lembu dengan wajah yang seram. Bhatara Indra pun meminta bantuan kepada Subari dan Sugriwa yang digambarkan menyerupai sosok kera. Dengan kostum dan koreografi yang sangat menarik, anak-anak hingga remaja menampilkan kisah tersebut dengan sangat apik.
Sudah lama sekali saya tidak melihat langsung sebuah sendratari sehingga senang sekali saat bisa menyaksikannya sendiri bersama teman-teman peserta lomba lainnya. Ah, jadi kangen almarhum kakung yang senang sekali dengan acara seperti sendra tari itu.
Sendra tari tersebut rupanya sudah sering dipertontonkan di Gua Kiskendo, gua yang juga terdapat di Jatimulyo dan dulunya menjadi tempat pertapaan dan kini menjadi tempat wisata. Namun karena sedang mengalami renovasi, pertunjukan sendratari yang kami saksikan pun berpindah tempat. Selesai pertunjukkan seluruh peserta naik ke atas panggung dan berfoto bersama para penari.
Saya menyempatkan diri memuji tarian yang apik kepada para penari yang berdiri di dekat saya, masih komplit memakai kostum dan topeng di atas panggung saat berfoto bersama.
Hari sudah menjelang malam, kabut mulai turun lagi, dan udara semakin dingin. Panitia menawarkan kembali transportasi bagi peserta untuk kembali ke arah kota Yogya. Saya pun berkemas dan mengambil tas beserta kamera yang ada di homestay. Mobil akhirnya melaju berkelok-kelok meninggalkan desa Jatimulyo dan semua keramahannya. Saya berbisik dalam hati bahwa saya akan balik lagi di lain kesempatan.