Sabar menanti tamu: pengamatan raptor migrasi Oktober 2010
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 9-10 Oktober 2010. Berlokasi di CICO, Bogor dan Bukit Paralayang, Puncak. Tulisan ini tidak disertai catatan jenis burung yang terlihat dan waktu terlihatnya karena waktu itu saya nggak nyatet. Ck..ck…ck.. penulis macam apa ini hehe.
Yah silahkan membaca saja. Dedicated especially to Agnes, teman seperjalanan berangkat dan pulang..
^^^^^^^^^
“… winter is coming, and I need to stay warm…”
-The Corrs, Summer Sunshine-
Lagu itu mungkin berputar di benak para burung migrasi yang terbang melintasi jarak ribuan kilometer, meninggalkan tempat tinggal mereka yang dihinggapi musim dingin, untuk kemudian menuju wilayah selatan, ke tempat yang lebih hangat.
Pengetahuan saya mengenai burung masih sangat sedikit, bahkan membedakan burung air semacam Cangak abu dan Kuntul Besar pun masih samar-samar. Harus berulang kali memicingkan mata sambil menempelkan rapat-rapat binokuler supaya bisa melihat lebih jelas (meski terkadang hasilnya tetap saja tidak bisa membedakan burung-burung tersebut).
Burung air pun belum khatam, tapi saat itu saya penasaran dengan burung pemangsa yang bermigrasi dari Siberia menujuIndonesia. Sudah sejak beberapa minggu sebelumnya, tanpa sengaja saya membaca tulisan mengenai burung pemangsa atau raptor yang bermigrasi dari utara dan pada bulan Oktober setiap tahunnya mulai terlihat berdatangan di Indonesia. Karena itulah, ketika salah satu organisasi mengadakan pelatihan identifikasi dan pengamatan burung migrasi, saya berniat untuk mengikutinya meskipun buta sama sekali dengan yang namanya raptor dan mungkin di acara tersebut pun tidak kenal dengan siapa-siapa.
Kegiatan yang diadakan oleh RAIN (RaptorIndonesia) di gedung CICO Bogor itu berlangsung selama dua hari. Hari pertama merupakan seminar di dalam ruangan dan hari kedua yaitu pengamatan raptor secara langsung dilakukan di Bukit Paralayang, Puncak.
09 Oktober 2010 06.00
Saya setengah berlari menuju stasiun. Tas yang saya gendong di pundak terasa penuh dan sesak sekali meski saya hanya membawa satu potong pakaian. Sisanya adalah binokuler, kamera, dan jaket. Hanya itu saja namun entah kenapa rasanya backpack ini penuh sekali. (Jika bukan si abang yang packing waktu lagi ngapel ke rumah di malam sebelumnya, saya tidak yakin ini semua bisa dengan rapi masuk ke dalam tas).
Kereta baru muncul setengah jam kemudian. Ah, Agnes pasti sudah lama sekali menunggu saya. Saya dan Agnes baru tahu kalau kami sama-sama akan ikut kegiatan ini satu hari sebelumnya dan kami janjian bertemu di stasiun Bogor. Di dalam kereta menuju Bogor, yang cukup penuh dengan penumpang itu, saya meletakkan tas ransel yang melembung besar di bawah dekat kaki saya.
07.30
Saya celingukan di stasiun Bogor, mencari-cari Agnes yang kemudian takjub pada bawaan saya. Haha saya sendiri pun masih heran kenapa bisa penuh sesak seperti ini.
Sambil bertanya pada supir angkot, kami pun meraba-raba menuju gedung CICO. Sepanjang perjalanan Agnes menoleh ke kiri dan saya menoleh ke kanan, celingukan mencari-cari gedung tersebut, khawatir terlewat.
08.15
Kami akhirnya tiba dengan sukses (tanpa nyasar) dan menjadi peserta urutan ke-4 dan ke-5 yang sudah datang. Semakin siang semakin banyak peserta yang datang dan akhirnya saya menyadari bahwa jika kita berada dalam cakupan hobi atau minat atau bidang yang sama (dalam hal ini lingkungan), maka ke mana pun kita pergi dan berkegiatan di hobi tersebut niscaya kita akan bertemu dengan orang yang ternyata sudah kita kenal di kegiatan-kegiatan sebelumnya pada bidang yang sama tersebut. Istilahnya: “Lu lagi…lu lagi…” hehe.
Agnes bertemu kangen dengan teman-temannya yang hampir semuanya ternyata menjadi panitia di acara tersebut, dan saya bertemu dengan Dara dan Aini yang dulu juga sama-sama beberapa kali melakukan kegiatan di hutan mangrove Angke.
Ternyata pemikiran awal bahwa saya tidak kenal siapa-siapa di acara ini salah besar.
09.30
Seminar pun dimulai. Di awal acara para peserta diminta untuk memperkenalkan diri, lengkap dengan institusi perguruan tinggi ataupun lembaga asalnya. Para peserta yang berada di depan saya berturut-turut menyebutkan: Biologi UNES, Biologi UI, kedokteran hewan UGM, Taman Nasional Gede Pangrango, Departemen Kehutanan, Biologi UNJ, BurungIndonesia, dan sebagainya.
Saya menyikut Agnes yang masih berstatus mahasiswa itu, dia menahan tawa melihat saya yang bingung harus menyebut dari mana asal usul saya mengingat status mahasiswa sudah dilepas dan saya pun tidak tergabung dalam institusi lingkungan manapun.
Ketika tiba giliran saya, saya pun menyebutkan nama dan berkata sambil nyengir: “Dari….Jakarta…”
Selesai semua peserta memperkenalkan diri, sang pembicara pun mulai memberikan materi mengenai status dan konservasi raptor di Indonesia. Saya melirik jadwal acara, seminar akan selesai pukul 17.00. Seperti biasa saya tidak betah kalau harus berada dalam satu posisi duduk yang sama, ditambah dengan AC yang dingin membuat saya jadi punya alasan untuk menegakkan tulang punggung dan kabur ke kamar mandi untuk beser!
Dan ketika kembali ke ruangan, selalu satu pertanyaan dalam hati saya: “Boleh nggak ya ikut seminar sambil berdiri saja?”
Beruntung materi seminar, yang notabene merupakan hal baru bagi pengamat burung amatir-luar-biasa macam saya, bisa sedikit mengalihkan perhatian dari rasa sakit di punggung. Namun tetap saja, sampai pembicara ke sekian saya sudah bolak-balik ke luar ruangan berkali-kali banyaknya, baik ketika break makan siang maupun di tengah seminar.
Mari saya ulas sedikit mengenai rangkuman materi seminar hari itu. (Mohon diralat jika banyak kesalahan):
Raptor atau burung pemangsa (atau lebih akrab dengan sebutan burung elang) berada pada urutan teratas dalam piramida makanan sehingga keberadaannya sangat penting. Elang Bondol dan Elang Jawa merupakan salah dua yang tergolong ke dalam hewan raptor ini.
Sayangnya kerusakan hutan dan perburuan burung untuk dijual masih marak hingga saat ini sehingga berakibat pada populasinya yang menurun. Selain elang lokal seperti tersebut di atas, kita juga bisa melihat elang atau raptor dari utara yang bermigrasi setiap tahunnya melintasi negeri ini. Yaitu Elangalap Cina (Accipiter soloensis), Elangalap Jepang (Accipiter gularis), dan Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus).
Ketika daerah tempat tinggalnya mengalami musim dingin, maka burung-burung tersebut terbang melintasi benua dan samudera menuju wilayah lain yang memiliki suhu yang hangat serta ketersediaan makanan yang cukup. Wilayah itu disebut dengan wintering area atau tujuan akhir atau tempat di mana sang raptor akan menghabiskan waktu selama masa migrasinya. Dan Indonesia merupakan salah satu tempat yang menjadi wintering area bagi raptor tersebut. (Sementara stop over area merupakan area yang menjadi perlintasan selama burung bermigrasi).
Daerah yang menjadi incaran raptor migran adalah hutan sekunder, hutan yang di-reboisasi, dan daerah yang dekat dengan perkebunan atau pertanian manusia. Hal ini berkaitan dengan makanan yang dicari burung migrasi tersebut.
Menurut salah satu pembicara, burung migrasi ini juga bisa diberi istilah “gede di jalan”. Ia hanya sebentar saja berada di daerah asalnya. Contohnya burung asal Jepang. Di awal Oktober mereka sudah berangkat meninggalkan negerinya, berdiam di wintering area, lalu bulan Mei sudah kembali lagi di Jepang. Di daerah asalnya itu ia hanya 3-4 bulan tinggal, kemudian sudah siap berangkat lagi untuk bermigrasi.
Faktor angin menjadi faktor utama dalam perjalanan migrasi. Itulah sebabnya mengapa jalur berangkat dan jalur pulang mereka berbeda. Mereka selalu menghindari melawan angin yang terlalu besar yang bisa membuat mereka justru kehabisan energi. Burung menyukai iklim dan angin yang mendukungnya untuk bisa menghemat energi (saving energy).
Penelitian burung migrasi dilakukan dengan memasang penanda pada burung tersebut. Bisa berupa cincin (ring), penanda sayap, ataupun dengan sistem satelit tracking. Dengan alat tersebut bisa diketahui posisi di mana burung itu berada, sehingga bisa diketahui perilaku, perjalanan hidup, dan karakteristik fisiknya. Bisa saja sang burung berada di satu lokasi dalam waktu yang lebih lama dari biasanya (misalnya karena faktor makanan).
Menjelang pukul limasore, semua peserta sudah semakin mengantuk dan lelah. Ternyata meskipun materinya menarik namun tetap saja jiwa “mengantuk ketika proses belajar-mengajar” terdapat pada diri setiap orang. Hehe. Saya dan Agnes berulang kali bergantian saling sikut jika salah satu dari kami terlihat memejamkan mata barang lima detik.
Selepas pukul setengah enam, kami menuju penginapan, mandi, shalat maghrib, lalu kembali berkumpul untuk makan malam bersama yang dilanjutkan dengan sharing, saling bertanya seputar burung migrasi, serta pembagian kelompok untuk teknis pengamatan esok hari di Bukit Paralayang.
Saya yang mabok dengan asap rokok di sekitar saya tak bertanya apa-apa. Ingin cepat-cepat menuju kamar tidur dan bisa merebahkan punggung.
21.50
Diskusi dan pembagian kelompok selesai. Saya, Agnes, Dara, dan Aini berjalan menuju kamar dengan sempoyongan dan mata yang sudah tinggal ½ watt. Masing-masing dari kami kemudian menyalakan alarm di ponsel agar bisa bangun subuh-subuh. Dara kemudian mengambil buku kecil dari dalam tasnya, lalu membaca sambil menggumamkan sesuatu secara pelan:
“Tahun 2008 200 ekor burung lewat di UIN. Waktu itu…”
Saya, yang sudah berguling-guling di kasur, mengangkat alis, mengurungkan niat untuk memejamkan mata, lalu duduk lagi, mendengarkan Aini bertanya dari kasur tingkat dua di atas Agnes: “Ooh… waktu tahun 2008 itu yah?”.
Saya menyambar, penasaran: “200??”
Dara mengangguk sambil terus membaca bukunya.
“Lewat UIN???” tanya saya lagi.
“Iya, terbangnya ke arah Lebak Bulus.” Jawab Dara.
“Wow…”
Ratusan kata-kata masih sibuk beterbangan di kepala saya. Mendengarkan materi siang tadi mengenai burung yang menyeberangi samudera dan membelah langit biru melintasi berbagai negara untuk melakukan sebuah proses bernama migrasi saja saya sudah takjub. Apalagi membayangkan 200 ekor burung yang terbang melintasi kampus di mana mungkin saat itu saya sedang menyuap nasi uduk di kantin.
“Waktu itu lagi duduk-duduk biasa aja, nggak lagi pengamatan. Eh ada temen yang liat, langsung deh ambil bino.” Lanjut Dara lagi.
Dara, yang memang alumni mahasiswa biologi tentu memiliki binokuler atau monokuler di fakultasnya. Nah, coba bayangkan jika 200 ekor burung itu saya lihat di fakultas saya? Kira-kira saya lihatnya pakai apa yah? Kabur ke MIPA jauh banget. Hehe.
“Memang mereka lewat mana saja sih?” saya kembali bertanya.
Dan kemudian tanpa kami sadari, kami melanjutkan diskusi dengan serius dan lupa bahwa setengah jam lalu yang sangat kami inginkan adalah tidur.
04.30
Alarm berbunyi. Saya membuka mata, bengong menatap tembok, membayangkan ratusan burung terbang di langit di atas kepala saya. Semoga pas pengamatan tidak hujan. Doa saya dalam hati.
Samar-samar terdengar suara percakapan dari kamar sebelah. Sepertinya beberapa orang sudah bangun namun belum memutuskan untuk mandi. Saya memberanikan diri berjalan meraba-raba melewati lorong dormitory, lalu keluar dari dormitory masih dengan meraba-raba tembok dan jalan terhuyung. Ngantuk euy!
Selama perjalanan menuju kamar mandi, diiringi dengan suara jangkrik yang luar biasa nyaring, satu hal yang saya pikirkan adalah: mandi apa nggak yah?
06.00
Teh manis yang mengepul panas saya seruput dengan cepat untuk menghangatkan perut. Saya kemudian menengok ke Agnes, mengingatkannya akan sesuatu, sambil memainkan alis naik-turun dan berkata girang; “Sungai, nyes!”
“Yuk! Yuk! Mumpung belum berangkat!” sahut Agnes semangat.
Area penginapan ini dialiri dengan sungai kecil jernih yang menggoda saya dan juga Agnes sejak kami baru menginjakkan kaki di CICO. Niatnya seusai seminar pelatihan kemarin kami akan turun dan main air di sana, sayangnya tidak sempat.
Maka melangkahlah kami di antara batu-batu di pinggir sungai, pertama berhati-hati agar celana panjang tidak basah, namun ketika sudah sedikit menyentuh air yang dingin, saya menggulung celana dan dengan sengaja menceburkan kaki ke dalam sungai dangkal itu. Tak perduli celana panjang akan basah terkena cipratannya.
Seandainya saja….
Seandainya di Jakarta ada sungai seperti ini….
Pada pukul 06.30 semua peserta dan panitia naik ke dalam bus yang sudah disediakan untuk menuju ke Bukit Paralayang, Puncak.
Kursi-kursi plastik tambahan disusun memanjang ke belakang di bagian tengah bus, seperti akan main kereta-keretaan. Ketika bus sedang mundur untuk melewati gerbang, beberapa panitia yang duduk di bangku plastik tambahan menunjuk-nunjuk ke arah parkiran sambil tertawa, rupanya ada dua orang yang tertinggal. Dua orang yang sepertinya baru saja bangun itu, kemungkinan besar tidak mandi, berlari-lari mengejar bus sambil membawa setangkup roti!
Bersyukur perjalanan tidak macet sehingga kami bisa sampai di Bukit Paralayang pada pukul 09.00. (Itu pun sepertinya sudah cukup siang).
Panitia membagikan binokuler dan monokuler untuk masing-masing kelompok. Setiap kelompok diberi tanggung jawab untuk menjaga alat-alat tersebut sampai dikembalikan sore nanti. Saya mengalungkan binokuler milik saya di leher, mengalungkan kamera, dan menerima binokuler pinjaman dari panitia. Tiga alat tersebut di leher membuat saya seperti abang-abang jualan.
Kami mengambil posisi di sisi kiri lintasan landasan paralayang, beberapa kelompok lagi menempati posisi kanan. Mbak Noni datang ke kelompok kami, membawa kertas transparan bergambarkan jenis-jenis raptor. Kertas itulah yang akan menjadi panduan identifikasi kami di lapangan, untuk kemudian dicatat dalam catatan lapangan jika sudah berhasil diidentifikasi.
Monokuler dipasang dan semua kelompok mulai melakukan scanning, baik ke sisi kiri di mana Gunung Gede Pangrango berada, ke sisi depan tempat Gunung Salak nun jauh disana, dan sisi kanan ke perbukitan kebun teh.
Sepertinya doa kami terkabul, cuaca cerah sekali ketika itu, bahkan semakin siang semakin terik. Ternyata tidak hanya ke pantai yang bisa membuat kulit gosong, berada di ketinggian bukit justru malah semakin gosong.
Pengamatan diselingi obrolan yang terkadang ngalor ngidul gak karuan (jauh dari obrolan burung) langsung berubah menjadi pengamatan-sangat-serius ketika burung migrasi terlihat di langit.
Semua kelompok fokus pada monokuler dan binokuler yang dipegangnya masing-masing. Bagi yang masih sangat amatir seperti saya, harus memfokuskan diri jiwa dan raga untuk bisa mencocokan antara burung yang saya lihat di langit dengan contoh di kertas, baik ekornya, sayapnya yang dikembangkan, dan cara terbangnya. Dan memang sulit sekali buat saya.
Dalam keadaan burung yang bergerak kesana kemari untuk terbang, saya harus bisa menemukan titik temu dalam kecepatan tersebut. Namun bahkan mengidentifikasi burung dengan menyamakan ekornya di gambar pun sulit sekali.
Bisakah dia disuruh diam dulu di udara supaya saya bisa mengidentifikasi? Tanya saya asal dalam hati. Saya tidak tahu apakah itu Elangalap Cina atau Sikep Madu Asia. Hah! Beginilah kalau amatiran luar biasa.
Pada akhirnya saya pun hanya memperhatikan si burung yang sedang soaring. Kalo yang saya perhatikan saat itu, soaring bisa dikatakan si raptor terbang berputar-putar di udara dengan pola tertentu. (salah kali nih artinya hehe), katanya sih tujuannya untuk menandakan wilayah kekuasaannya.
Belakangan (saat mengedit kembali tulisan ini) saya menemukan pengertian soaring dalam e-book Design In Nature-nya Harun Yahya (2002); “Making use of air current in order to save energy in flight is called soaring.”
Terus katanya lagi: “Soaring has two major benefits. Firstly, it conserves energy needed to stay in the air while searching for food or defending the feeding ground. Secondly, it enables the bird to significantly increase its flight distances.“
Semakin siang Bukit Paralayang semakin ramai, sepertinya tempat ini ramai dikunjungi wisatawan pada akhir pekan. Mereka datang ke bukit untuk berfoto, dan ketika berada di dalam lintasan landasan paralayang justru malah mengganggu para pegiat olahraga yang akan lepas landas.
Para penerjun yang akan lepas landas menjadi hiburan tersendiri untuk kami ketika lama menanti burung-burung datang. Benar tidak istilah “penerjun” adalah istilah untuk orang yang melakukan kegiatan paralayang??. Mengamati mulai dari mempersiapkan alatnya, lari, lalu sampai di ujung lintasan dan kaki tak menapak lagi di tanah adalah suatu hal yang cukup waaah buat kami.
Rasanya ikut menarik nafas, membayangkan kaki menggantung dengan posisi duduk di udara.
Lalu hembusan angin yang menerpa wajah, dan jantung yang dipompa untuk bekerja sama melawan gravitasi bumi. Titik-titik mobil yang terlihat di bawahsana, bergerak bagai semut. Terus melayang-layang melewati pepohonan, dan setelah…..
“Elang Jawa! Elang Jawa!!!”
Teriakan seseorang –entah siapa-, yang kemudian membuat riuh semua peserta, membuyarkan lamunan paralayang.
“Ah iya… itu diaa!” Teriakku.
Elang Jawa tentu saja tak termasuk dalam burung migrasi. Namun posisinya sebagai burung yang diserupakan dengan simbol negara ini, burung Garuda, mungkin membuat burung tersebut menjadi sangat menarik di mata setiap orang. Dan saya sendiri mengakui Elang Jawa memang keren.
Mendekati pukul 11 matahari semakin bersinar garang. Payung, jaket, topi, semua peralatan tempur terhadap panas sudah dikeluarkan sejak tadi, namun tetap tak berpengaruh. Duduk, berdiri, bahkan tiduran. Semua posisi dilakukan demi menanti dengan sabar datangnya sang burung migrasi.
Beberapa orang bahkan pindah ke tempat yang lebih teduh untuk menghindari sengatan matahari, entah kelompoknya berada di mana. Sejak tadi baru enam ekor burung migrasi yang kami lihat. Supaya lebih sabar menanti, kami foto-foto saja di tengah teriknya matahari.
Angin yang bertiup kencang membuat para penerjun menyudahi kegiatannya. Ini jugakah yang menyebabkan burung-burung tersebut enggan untuk terbang tinggi-tinggi? Mereka akan kesulitan melawan angin sehingga lebih senang berada di tempat yang lebih rendah?
Bukankah kemarin dalam seminar dikatakan mereka lebih senang dengan angin yang mendukung mereka untuk saving energy?
Saya memandang ke langit biru bersih yang luas itu, menyipitkan mata. Harapan untuk melihat ratusan burung migrasi yang terbang di atas kepala ternyata belum terkabul.
Pukul dua sore, sesuai jadwal kami packing dan bersiap kembali ke bus untuk pulang. Berulang kali saya berkata dan menoleh ke arah langit; siapa tahu ketika kami akan pulang, ratusan burung itu datang. Namun tetap saja tak ada.
Hhhh… (helaan nafas panjang dengan tubuh lunglai dan langkah gontai!) -> lebay.
Sampai naik ke dalam bus, saya masih menoleh ke arah langit, berharap mereka datang. Dan akhirnya ketika bus jalan untuk kembali keBogor, saya menyerah. Berdoa saja semoga lain kali diberikan kesempatan untuk menjumpai mereka dengan cuaca dan kondisi yang bagus. Amiiiiiiin! (mengusap tangan ke wajah)
Terima kasih kepada RAIN dan semua panitia yang sudah mengadakan acara tersebut. Kapan-kapan semoga ada lagi dan bisa ikut lagi hehe.
Terima kasih kepada para pembicara yang sudah memberikan informasi dan pengetahuan baru untuk saya.
Terima kasih buat Agnes, Dara, dan Aini sebagai satu roommate! Diskusi tengah malam mengenai burung bikin melek!
Terima kasih kepada semua rekan-rekan peserta dari berbagai organisasi, universitas dan daerah. Terima kasih atas ketawa-ketawanya, foto-fotonya, saling sharing pengalamannya, dan semuanya. Bener-bener deh amatiran banget saya ini.
Seperti dikatakan oleh Colin Biby (2002) dalam buku elektronik yang saya baca juga (ini namanya kuliah otodidak hehe) bahwa pengamat burung yang memiliki pengetahuan dan perduli terhadap biodiversitas memiliki peran yang sangat penting untuk mempromosikan pentingnya konservasi bagi burung dan lingkungannya.
“The people who enjoy birds and who see their population declines are very well placed as a social and political force to promote concern for conservation, not just of birds but of the environments on which they depend. A new awareness will need to be based on a new ethic that gives greater value to the natural environment and to the fair sharing of its costs and benefits. But it will also need to be based on the application of political and economic argument at all levels of society where environmental decisions are made. Birdwatchers who know and care about biodiversity have a powerful role to play.”
Sumber kutipan:
1. Norris, Ken & Pain, Deborah J. (2002). Conserving bird biodiversity. CambridgeUniversity Press. New York. Chapter 2. p. 33
2. Yahya, Harun. (2002). Design in nature. Ta-Ha Publishers. United Kingdom. Chapter 2. p. 57