Catatan perjalanan Lombok 2012: pulang
1 Januari 2013
Seberapa pun jauhnya jarak kita melangkah dan berapa lama pun, rasanya kita akan selalu ingin untuk kembali pulang.
Saya memang tak tahu ada berapa jumlah para penjelajah di dunia ini yang pastinya bejibun. Tapi rasanya sebagian besar di antara mereka, selalu merindukan rumah di setiap langkah perjalanannya.
Entah itu seorang fotografer yang sedang berburu foto orangutan dengan keluar masuk rimba bertajuk rapat selama berbulan-bulan dan merindukan istri serta anaknya di rumah, atau seorang penulis yang sedang membuat tulisan perjalanan tentang menjelajah dunia dan merindukan ibunya.
Menempuh jarak itu memang jalan yang telah ia pilih. Tapi bukan berarti tak rindu rumah. Seorang pendaki gunung, yang berusaha untuk terus melangkah mencapai tujuannya ke puncak atau ke ketinggian sekian ribu meter di atas permukaan laut, bahkan seringkali mempertanyakan di dalam hatinya; untuk apa saya menempuh jalur ini? Disiram hujan lebat, kedinginan, betis pegal, gatal oleh semak belukar dan jelatang. Dan ketika mereka menempuh jalur turun untuk pulang, yang terbayang adalah rumah yang hangat dengan kasur empuk, secangkir teh panas, dan senyum keluarga yang gembira menyambut kepulangannya.
Kami sudah duduk santai di kursi masing-masing. Dalam waktu beberapa menit, pesawat akan lepas landas dan terbang menuju Jakarta. Gerimis yang sedari tadi menghujam ke bumi, perlahan mulai deras dan berubah menjadi hujan. Pikiran saya pun melayang, meliuk dari setiap rinai hujan menuju rumah di Jakarta, lalu dari situ melayang lagi pada memori rasa pulang yang muncul saat saya menempuh jarak di antara perkebunan teh Cibulao. [baca sebelumnya tentang Cibulao di sini]
^^^^^^^^^^^
Sejak kecil sampai kakak saya akan menikah, kami berada dalam satu kamar yang sama. Ibu tak mengizinkan kami untuk pisah kamar, selain kamar yang tersisa memang ditujukan untuk tamu, ibu pun berpikir bahwa memisahkan kamar kami bertahun-tahun hanya akan membuat dua anaknya ini menjadi jauh. Maka begitu kakak akan menikah, itulah pertama kalinya saya akan menempati kamar yang tersisa, sendirian.
Dari semenjak kepindahan itu akan dilakukan, saya kerapkali menggerutu. Tentang berapa banyak dan besarnya barang yang diletakkan di kamar yang nantinya saya tempati, sampai berakibat pintu tak bisa dibuka lebar. Jendela satu-satunya pun tak berfungsi maksimal karena tertutup lemari tinggi. Sehingga saya berpikir udara di dalam kamar sama sekali tak sehat karena minim pertukaran udara. Saya menuntut pembuatan jendela kecil sebagai ventilasi, tapi ayah acuh tak acuh karena beberapa tahun lagi kami pun akan pindah.
Karena memang tak ada kamar lain dan saya yang sudah didepak dari kamar kakak, mau tak mau saya tetap menempati kamar tersebut. Tak ada ventilasi dan sinar matahari yang masuk. Ah sudahlah, tidur saja. Untuk sedikit menghibur diri, saya pun melukis dinding kamar dengan pola rerumputan dan bunga-bunga yang letaknya berada tepat di depan mata saat saya bangun tidur. Segar secara manipulasi, setidaknya untuk sementara.
Beberapa bulan berlalu dan saya mengikuti ajakan untuk melaksanakan sebuah acara komunitas di Cibulao. Acara itu merupakan acara menginap yang pertama kalinya dengan brace, tanpa keluarga, sehingga dari awal saya sudah mewanti-wanti diri sendiri bahwa nantinya tidak boleh malu untuk meminta tolong teman memasangkan brace.
Udara dingin yang nyaris membuat saya membeku, saat larut dalam perbincangan duduk melingkar mengenai acara esok harinya, rupanya belum apa-apa jika dibandingkan apa yang saya rasakan beberapa jam kemudian di dalam saung.
Entah karena teman-teman berpikir area di teras saung sudah tak memadai untuk menggelar satu sleeping bag lagi, atau tenda sudah tak muat, atau berpikir karena kemampuan bahasa (dih pede jaya! haha), maka saya pun disarankan untuk bermalam di dalam saung saja bersama Mrs. Bule. Saya pun didaulat sebagai time keeper di acara esok, untuk itu saya harus tidur lebih dulu agar esok hari bisa bangun paling pagi dan membangunkan semua orang sambil memastikan susunan acara berjalan tepat dan sesuai jadwal.
Pukul 00.30 tengah malam, saya masuk ke dalam rumah kayu itu yang sepertinya terbagi ke dalam beberapa bilik, semua hanya samar-samar terlihat karena tak ada sama sekali nyala lampu di dalam rumah. Penerangan hanya saya dapat dari cahaya yang memancar dari pulpen kecil merangkap senter di tangan.
Tiba di satu kamar besar, yang setelah disorot dengan senter hanya ada satu kasur tipis, saya menyerahkan selimut tebal yang dititipkan untuk Mrs. Bule. Ia menggelar selimutnya di kasur tersebut, mengucapkan selamat tidur pada saya lalu berbaring dengan canggung. Saya meletakkan lilin dengan jarak cukup jauh dari kami berdua, menggelar sleeping bag sambil meraba-raba, dan menatap iri pada gundukan yang sudah terlelap dengan selimut hangatnya. Saya berbaring di sleeping bag yang permukaannya tak rata karena lantai semen yang sedikit berbatu, memejamkan mata, mulai bersiap tidur tapi rupanya semua persiapan itu hanyalah sia-sia.
Lilin yang diletakkan di lantai menciptakan bayangan besar di sudut ruangan. Sementara di luar, samar-samar masih terdengar celotehan tentang minuman hangat di malam hari, tentang rasa lapar tengah malam, tentang pendakian, dan tentang acara yang akan berlangsung. Sampai beberapa menit harusnya saya sudah terlelap dan tak mendengar suara apapun lagi namun sayangnya bahkan setelah setengah jam berlalu, saya tak dapat satu detik pun terlelap.
Udara dingin yang menyelinap masuk secara nyata di antara celah papan-papan kayu menyambangi seluruh permukaan kulit saya yang lama kelamaan menggigil tak karuan. Saya terus memejamkan mata agar bisa tertidur dan terlupa dengan kebekuan itu, tapi semakin lama jemari kaki dan tangan mulai kebas, tubuh dan bibir saya bergetar menggigil. Oh no.. ucap saya dalam hati sambil terus mendaraskan doa.
Dengan jemari yang mulai bergetar, saya meraih hape untuk melirik jam saat itu. Pukul 2 dini hari, dan saya belum juga bisa tertidur. Ingin rasanya menarik selimut tebal di sebelah sana atau bahkan langsung menyelusup saja bersama Mrs. Bule, menganggapnya seperti nenek sendiri mengingat usianya dan nenek saya rasanya tak terlalu jauh. Tapi bisa-bisa saya digeplak karena berperilaku tak sopan. Ingin juga rasanya bangkit dan menuju area luar saung untuk meminjam selimut, jaket, dan apapun itu supaya tak menggigil, tapi bahkan untuk sekedar bangun pun sulit. Saya sungguh khawatir akan hipotermia dengan kondisi seperti itu.
Pukul 4 dini hari, sisa waktu untuk tidur tinggal satu jam lagi. Dengan kondisi tak bisa terlelap berarti saya juga tak mampu mengistirahatkan jantung dari kerjanya. Ironis sekali. Karena selama ini dalam setiap langkah yang ditempuh bersama MVP, saya berusaha untuk mempelajari setiap kondisi dan menghindari berbagai kondisi yang bisa saja memancing MVP untuk datang sehingga menjadi sangat tidak bersahabat. Udara dingin yang menjadi ciri khas area pegunungan memang membuat saya membawa persiapan dua jaket. Tapi rupanya itu belum cukup.
Saya seharusnya belajar bahwa MVP dan udara dingin sama sekali tak cocok jika hanya membawa jaket -yang notabene hanyalah untuk tubuh. Sementara dalam satu artikel, jelas-jelas (dan memang pernah menjadi pengalaman) bahwa memakai celana panjang yang hangat untuk keseluruhan kaki bisa membuat MVP di jantung terasa lebih baik. Then why did i forget to bring my legging…? sesal saya dalam hati.
Selama ini, bagi saya, udara dini hari menjelang subuh adalah puncak udara dingin yang akan melingkupi setiap diri. Maka tak ada gunanya menyesali legging yang luput dibawa, lebih baik menyimpan energi yang tersisa untuk tetap bertahan. Saya terus menggigil, bergetar, mendaraskan segala macam doa, menghabiskan tetes terakhir minyak kayu putih dan membalurnya ke segala permukaan kulit, dan mulai merindukan semua orang di rumah.
Saya rindu pulang. Saya rindu celotehan ibu dan komentar ayah setiap saya akan menjelajah, juga kakak yang terkadang iri. Saya rindu selimut tebal dan jaket di rumah. Saya rindu kamar saya yang tak berjendela, penuh kardus, dengan semua kepengapannya.
Ah ralat. Bukan pengap tapi hangat. Saya terus menggigil tak henti tapi masih mencoba terlelap sampai akhirnya pukul 5 tiba-tiba datang dan saya harus sudah bergerak, menjadi time keeper.
“Bertahan hidup hanya satu-satunya pilihan – bertahan hidup dan pulang ke rumah…” ~ Garry P. Scott, Everest in your life p.136.
^^^^^^^^^^^^
Saya mengusap kaca jendela pesawat. Di luar, hujan mulai berganti kembali menjadi gerimis dan membuka kembali ingatan keseluruhan rangkaian perjalanan. Memoar tentang kebimbangan dan dilema kami saat bepergian di saat kakak akan melakukan operasi sesar, tentang Gili Trawangan dan pakaian kami yang penuh minyak, tentang Rindjani yang menjulang secara nyata di seberang lautan, tentang keriweuhan bule yang melakukan transaksi tawar menawar secara sangat ajaib (lebih ke bahasa isyarat dan haha hihi) di Desa Sade, tentang petrichor yang meruap sesudah hujan di Tanjung Aan, tentang kepingan mozaik bertemu dengan anak-anak Rumah Baca Unyil, hingga tentang matahari terbenam dan lampu sorot dari kapal yang melintas di kegelapan di tengah lautan.
Kapten pesawat mengumumkan bahwa pesawat akan segera lepas landas meninggalkan pulau Lombok. Seperti biasa, saya berpegangan erat pada kursi pesawat, mengucapkan doa, berbisik supaya perjalanan lancar sampai tiba kembali di rumah. Tanpa kurang suatu apapun.
Kembali ke rumah, berjumpa ibu, dan menemui makhluk mungil yang sudah meluncur ke dunia tiga hari lalu itu tapi belum sekalipun kami temui.
Cucu pertama ayah sekaligus keponakan pertama saya.