Hulu sungai desa Cibulao (2011)
18 Juni 2011 23.05
Minimnya cahaya penerangan membuat usaha saya, yang sedang menunduk sambil menyipitkan mata (sesipit-sipitnya) untuk melihat lebih jelas siput kecil (ataukah lintah??) di lantai-semen dekat kaki saya, GAGAL TOTAL.
Saya terus menunduk, mendekatkan wajah pada hewan itu. Penasaran. Siputkah? Bentuknya mirip, tubuhnya juga lunak, namun tak ada rumah yang biasa ia bawa-bawa. Ataukah semacam moluska lain yang hidup nokturnal?
Ah tak tahu lah. Saya menyingkirkan si siput tanpa cangkang ke pinggir dengan korek api, khawatir terinjak yang lain. Biomonitoring baru akan dimulai besok, tapi malam itu saya sudah menemukan satu biota yang menarik.
Temaram cahaya, yang ditimbulkan dari lilin yang semakin lama semakin pendek, dan suhu udara yang demikian dinginnya (buat saya) tak menyurutkan semangat teman-teman River for Life untuk terus mematangkan acara esok pagi.
Bukit yang mengepung kami dari belakang dan kebun teh di bawah sana seluruhnya gelap dan sunyi. Sesekali hanya ada sorot cahaya dari lampu motor yang melintas nun jauh di sana. Tak ada rumah tetangga kiri kanan, tak ada suara tek-tek tukang nasi goreng yang melintas. Apalagi teriakan “sateee!”.
Di bawah bukit itu hanya ada kami, yang larut dalam celotehan tentang sungai. Maka suasana obrolan antara rapat dan haha-hihi di tempat itu layaknya desingan suara sayap kumbang yang biasa saya dengar di Hutan Kota UI: riuh di antara keheningan.
Sampai ketika saya akan tidur, banyak yang masih terjaga. Sambil menahan dingin, ketika melewati lorong, menatap bukit dan langit yang malam itu berawan, satu pertanyaan muncul di benak saya: tak adakah kunang-kunang di sini?
19 Juni 2011 06.00
Kacau. Saya merutuk dalam hati menanggapi tidak bisa tidurnya saya semalaman akibat udara yang terlalu dingin. Adalah suatu kekacauan jika kurang tidur sementara kegiatan selanjutnya membutuhkan tenaga ekstra.
Tapi begitu melihat suasana pagi cerah di tempat yang semalam temaram itu, mendengar kicauan burung yang sosoknya tak bisa saya tangkap dengan jelas, kekhawatiran itu perlahan menghilang. Terutama setelah mendapatkan satu kejutan kecil dari desa ini.
Saat itu mobil kami sedang melaju pelan di antara jalan berbatu, saya menahan napas ketika sesosok burung terbang melintas dari arah sebelah kanan. Ia lalu hinggap di pohon yang tak terlalu tinggi di depan mobil kami. Sambil memicingkan mata, saya menegaskan sosoknya yang bertengger. Punggungnya berwarna biru dengan paruh merah.
Sedetik kemudian rasanya diri ini bersusah payah menahan lonjakan kegirangan dalam hati. Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris) atau Javan Kingfisher. Salah satu burung yang selama ini sangat ingin saya lihat secara langsung di alam bebas. Entah kenapa biru-merahnya itu sangat menggoda hati. Dan [akhirnya] hari itu saya melihatnya.
Teramatinya Cekakak Jawa yang diidam-idamkan selama ini menjadi pemicu ledakan semangat kegiatan hari itu untuk saya. ๐
Matahari yang bersinar cerah, kontras dengan udara dingin dini hari tadi, menemani langkah kami menuju sungai kecil di desa itu. Sungai yang merupakan salah satu hulu Ciliwung.
Dua-tiga anak melewati langkah saya. Mereka menoleh dan membalas senyuman saya dengan malu-malu. Ya, kegiatan biomonitoring hari itu ditujukan bagi anak-anak setempat yang berusia kira-kira 6-13 tahun.
Sampai di lokasi sudah cukup banyak anak-anak yang berkumpul, beberapa yang baru berdatangan terlihat ragu dan malu, namun kemudian mereka ikut bergabung bersama kami.
Salah satu relawan, yang sudah mempersiapkan tiga permainan untuk icebreaking, semangat mengajak anak-anak dan relawan untuk berdiri melingkar. Gerakan pemanasan tubuh yang dimodifikasi dengan nyanyian menjadi pembuka icebreaking. Lagu โMarina menari di menaraโ pun kemudian menggema di antara perkebunan teh yang didominasi warna hijau itu. Aduh, sampai sekarang kalau ingat lagu dan gerakannya saya masih suka ketawa sendiri nih. =)).
Diikuti dengan permainan kedua dan ketiga yang membuat suasana pagi hari itu mencair menjadi penuh tawa dan semangat.
Mereka kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Alat dan bahan yang diperlukan untuk biomonitoring yaitu baskom untuk mengumpulkan biota, kaca pembesar, dan saringan pun dibagikan.
Masing-masing kelompok kemudian turun ke sungai. Tercepuk-cepuk di antara aliran sungai, mereka membalikkan batu-batu kecil dan menyaring air sungai untuk mendapatkan biota. Cacing, kecebong, dan ikan kecil pun mulai berpindah dari sungai ke baskom.
โApaan tuh yang didapat?โ tanya saya ketika melihat salah satu kelompok dengan serius sedang menunduk memperhatikan baskom. Satu hewan baru saja dipindah ke sana. Untuk saya, bentuk hewan itu mirip ulat, namun ia berenang di air, warnanya cokelat.
Senang karena mendapatkan sesuatu yang baru, mereka kemudian tambah semangat membalikan batu, namun beberapa anak perempuan berteriak ketika menjumpai kodok (ataukah katak?) dan tidak berani menangkapnya hehe.
[Tambahan foto tumbuhan yang ada di sekitar sungai:]
Kegiatan biomonitoring yang bertujuan mengenalkan anak-anak pada ekosistem sungai ini menimbulkan pemahaman mengenai pentingnya menjaga sungai bagi mereka. Sehingga mereka mengetahui bahwa memulai hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan merupakan suatu tindakan positif untuk menjaga lingkungan dan bisa mereka mulai saat itu juga.
Selesai sharing dan bertukar info antar kelompok mengenai biota apa saja yang mereka temukan dan menuliskan komitmen untuk menjaga sungai, semua anak dan relawan River for Life kemudian ngariung di tengah kebun teh.
Menikmati makan siang ditemani gemericik air sungai dan langit biru bersama sekelompok anak yang hari itu mengenal sungai lebih jauh, semakin memberikan pemikiran positif pada saya bahwa; selama diri kita mau berusaha menjaga lingkungan dan menyebarkan kebiasaan positif itu, rasanya kita tak kan pernah sendirian mencintai alam ini.