Tuesday Dec 10, 2024

MVP (3): di kedalaman sekian meter

Ujung Genteng, 9 Mei 2009

Saya menatap takjub pada seekor ikan berwarna biru, lalu berikutnya takjub pada asinnya air yang mengalir dengan cepat ke dalam mulut.

Terlalu gembira, senang, gugup, mau muntah akibat tak kuat menahan rasa bahan plastik yang digigit dalam mulut, dan luar biasa senang ketika sudah bisa menghirup dan mengeluarkan nafas melalui alat snorkle itu dengan baik, bercampur menjadi satu.

Sekali saja melihat satu ekor ikan berwarna warni cerah yang selama ini hanya dilihat di dalam mimpi membuat saya terlewat senang sehingga berenang ganas ke arahnya, membuat konsentrasi buyar dan nafas tak dapat diatur dengan baik sehingga terpaksa menelan air asin. Dan si ikan malang pun bersyukur bisa kabur dari manusia super heboh yang kampungan dengan alat snorklingnya ini.

Itu adalah snorkling yang pertama kalinya.

feel free

Cilacap, 1999

Saya terus mengaduk-ngaduk pasir dengan jari yang kuku-kukunya semakin penuh dengan butiran pasir yang melekat, sambil kemudian menoleh pada ibu yang berteriak menyuruh pulang; “Bentar lagiiii..!!” jawab saya dengan suara tak kalah kencang namun teredam oleh suara angin laut yang menderu.

^^^^^^^^^^^^^^

Jakarta, 2011

Rasa nyaman memainkan jemari kaki di antara butiran pasirnya yang lembut sejak saya masih di tingkat sekolah dasar kemudian meningkat menjadi keinginan untuk merasakan sensasi gelembung udara di kedalaman sekian meter. Menyelam dengan mengikuti liukan tarian anemon, ikan badut, dan penyu.

Empat tahun yang lalu, beberapa bulan setelah diberi tahu memiliki MVP ringan, saya bertekad untuk sembuh agar bisa menyelam di kemudian hari. Namun ternyata tak bisa. Pakdok bilang ini akan terus ada dan tidak bisa hilang dari diri saya, meskipun kategorinya ringan.

Ia yakin dan meyakinkan saya bisa menjaganya untuk tidak menjadi buruk, namun saya tidak bisa menghilangkannya.

Dan satu kalimat itu berarti saya tidak bisa menyelam karena tidak bisa memenuhi syarat utama dalam masalah kesehatan, meskipun kategorinya ringan. Di sini memang pada beberapa kasus mereka yang memiliki MVP masih boleh melakukan diving. Tapi melihat dari apa yang saya rasakan, i guess i really adverse to dive. Titik.

*Jeger-jeger. Backsound suara petir. [Hehe nggak deng]

Sejak saat itu rasanya rasa rindu ini menjadi naik turun. Meski tetap saja menempati ruang mimpi saya, keinginan menyelam itu kemudian menurun menjadi hanya 5 %.

Empat tahun lamanya berusaha menyingkirkan mimpi-mimpi itu. Berhasil, namun tak sepenuhnya. Terkadang kegamangan itu masih muncul.

Ketika mengunjungi sebuah akuarium besar dengan seisi laut di dalamnya, rasanya hati ini mencelos ketika menyentuh kaca tebal yang membatasi saya dengan biota di dalamnya.

Sebuah batas yang tak bisa saya rubah.

Jika merasa runtuh lagi, saya rasa saya perlu mengingat kalimat yang baru saja saya temukan beberapa hari lalu dalam buku Garry P. Scott berjudul Everest in your life yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Di halaman 51 ada suatu paragraf dengan bunyi: β€œIa menerima dirinya sendiri, dan memutuskan untuk melangkah ke depan dengan hidupnya dan tidak terkubur dengan masa lalu. Ia membuat pilihan untuk menaruh sebuah senyum di wajahnya dan berfokus pada apa yang bisa ia lakukan, bukan pada apa yang tidak bisa ia lakukan.”

Ternyata menyelam memang bukan takdir saya, karena DIA menyiapkan yang lebih baik untuk saya.

Pada halaman 142, dari buku yang sama, dikatakan bahwa; β€œKita semua memiliki Everest untuk dihadapi dalam kehidupan kita”.

Splash!

Dengan mimpi-mimpi yang sekarang ini, rasanya seolah saya berada pada kedalaman sekian meter, di dalam laut yang saya cintai, mabuk gelembung udara bersama liukan anemon, penyu, nudibranch, ikan badut, blue-back yellow fish, pari manta, lumba-lumba, paus, dan hiu paus alias whale-sharks. Pada kedalaman sekian meter ini saya terus melantunkan mimpi-mimpi.

Mimpi tentang Everest saya sendiri.

Ternyata menyelam bukanlah Everest saya. Tapi ini dan ini adalah salah satu Everest saya, yang bisa saya lakukan πŸ™‚

Never stop dreaming, boi..

August 2011

*foto bawah air oleh teman (ga tau kamera sapa :p)

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top