Monday Mar 10, 2025

Trisik yang tak bisa diusik

Saya tak ingat kapan persisnya mendengar kata Trisik, setidaknya mungkin di tahun 2011-an dan semacamnya. Saat itu yang saya tahu Trisik adalah delta sungai Progo yang menjadi salah satu tempat favorit burung pantai migrasi berkumpul. Sama seperti tempat-tempat impian lainnya yang selama bertahun-tahun hanya bisa saya lihat fotonya saja, begitu pula dengan Trisik ini. Meski jaraknya hanyalah sebatas Jakarta-Jogja, rupanya saya belum juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke sana. Maka Trisik selama bertahun-tahun tak bisa diusik dari kepala saya.

Melewati hidup yang sungguh kacau dan sangat carut marut menjelang akhir 2021 hingga memuncak di bulan Januari tahun 2022, membuat saya hampir menyerah pada hidup ini. Berbagai usaha yang dilakukan terutama pergi ke psikolog membuat saya akhirnya mendapatkan kesimpulan untuk: “carilah alasan apa saja yang bisa membuatmu tetap bertahan hidup”. Dan saya pun memasukan alasan untuk tetap bertahan hidup salah satunya adalah karena saya belum menyambangi Trisik.

Sejak bulan Agustus hingga September keinginan untuk pergi ke Jogja semakin menguat. Tapi ya seperti biasa, saya tahu itu hanyalah keinginan-keinginan yang sama seperti sebelumnya. Namun saya tetap berdoa semoga di tahun tersebut saya bisa berjumpa burung migrasi yang selama nyaris lebih dari 10 tahun ini terus beterbangan di kepala.

Rupanya ada doa yang diijabah. Secara tiba-tiba menjelang akhir Oktober saya melihat poster lomba fotografi di Jatimulyo, Kulon Progo, sebuah desa ramah burung yang juga selama ini ingin saya datangi. Mungkin memang sudah takdirnya saya menjejakkan kaki di sana karena sejak bulan September hingga awal Oktober penjualan online saya cukup meningkat. Saat itu saya berjualan air lemon yang saya buat sendiri. Nyaris setiap hari selalu ada pesanan. Begitu juga dengan proyek menulis yang rupanya cukup banyak menjelang akhir Oktober hingga saya bahkan bisa punya biaya untuk mendadak memesan tiket kereta dan mendaftar menjadi peserta untuk mengikuti lomba foto tersebut.

Sejak berhari-hari menjelang keberangkatan saya mengirim wa ke beberapa kawan di Jogja mengenai alur perjalanan ke Trisik, namun rupanya hingga berangkat ke Jogja pun Trisik seperti masih jauh dari jangkauan. Kawan-kawan pengamat burung banyak yang masih berfokus ke Jatimulyo, hingga Trisik bukan menjadi tujuan utama. Sejak berangkat hingga berada di Jogja pun saya pasrah namun tetap berdoa yang terbaik semoga masih dikasi kesempatan untuk pergi ke Trisik.

Baca juga: Mengamati burung di Desa Ramah Burung: Desa Jatimulyo

Saat baru tiba di Jatimulyo dan bertemu Mas Imam, saya menanyakan perihal Trisik. Saat itulah Mas Imam menyebut nama Mas Raden. Sampai aku ngomong dalam hati, Mas Raden ki sopo sih? Dari kemarin disebut-sebut terus sama yang lain juga @_@. Ya, maklum aku bingung soalnya pas nanya Trisik sama Ratih dan Mbak Sitta, juga Panji, yang disebut juga nama “Mas Raden.” tapi akunya kan kuper makanya nggak kenal T_T. Oh, juru kuncen Trisik kali ya. Begitu pikirku. Sayangnya selama dua hari lomba itu saya nyaris nggak ketemu Mas Raden karena selalu adanya di tengah hutan.

Yo wess kayaknya nggak ada harapan ke Trisik. Pikirku pasrah. Wa yang dikirim ke Mas Imam di hari terakhir acara soal ke Trisik udah nggak dibaca lagi soalnya semua panitia dan yang ada di situ lagi sibuk karena kami udah siap-siap angkut barang ke mobil untuk balik lagi ke Jogja menjelang acara selesai. Di tengah wara-wiri itulah tiba-tiba dipanggil sama Mas Imam: “Yulia udah ketemu Mas Raden belum?”

“Belum.” jawabku.

Ini kalo di scene film tuh kayak jadi penentu akhir film-nya gimana soalnya kalo sampe pulang aku nggak ketemu Mas Imam lagi atau Mas Raden yo aku nggak mungkin bisa ngikut ke Trisik T_T.

Ya udah habis itu kayak dibukakan jalan terang benderang karena bisa ngobrol bareng soal keberangkatan, titik ketemuan, dan semacamnya sama Mas Raden dan teman-teman yang memang mau ke Trisik esok harinya. Bhisma, kawan dari Jakarta juga yang mau ikut pun akhirnya bisa keangkut juga karena mobilnya masih muat tapi mengorbankan Niko yang naik motor :)). Mas Raden yang tadinya khawatir takut saya nggak kekejar kereta balik ke Jakarta langsung menyanggupi begitu tahu kereta saya berangkatnya jam 9 malam dari Tugu. “Kalo jam 9 masih keburu banget. Tak kira jam 7 malam. Pokoknya aman lah besok.” begitu katanya.

Eleuh, mau nangis tapi ya belum lah. Belon juga nyampe ke Trisik udah nangis aja wkwkwkwkwk.

Malamnya balik ke Jogja udah tepar banget. Perbedaan suhu di Jatimulyo lalu balik Jogja VS anak Jakarta yang biasanya kepanasan mulu bikin saya hampir tumbang. Saya tidur malam itu di kamar sepupu dengan full selimutan, baju lengan panjang, pakai jaket, dan baluran minyak kayu putih di sekujur punggung. Jangan sakit, please. Dikit lagi bisa ke Trisik. Begitu ucap saya berulang-ulang.

Hari Minggu itu kami berencana janjian di titik yang sudah ditentukan. Saya udah siap sama semua barang bawaan. Satu tas khusus buat barang oleh-oleh sampai dengan terpaksa saya bilang sama Bude, “Please stop, Bude oleh-olehnya udah nggak muat di tas aku T_T”.

Jam 12 siang saya sudah siap di ruang tamu karena jadinya dijemput di rumah. Tapi si Bude dan sepupu mau ada keperluan penting hingga akhirnya terpaksa saya ditinggal di rumah sendiri, yang penting udah pamitan. Akhirnya saya menunggu sendirian sambil khawatir kok badan makin menggigil gimana ini yah huaaaa. Saya cek suhu badan dan kayaknya agak anget. Sempat terpikir mau membatalkan tapi rasanya mimpi-mimpi ke Trisik sudah di depan mata kok malah dibatalkan. Toh, Mas Raden dan kawan-kawan juga sudah di jalan untuk menjemput ke rumah. Akhirnya saya nunggu sambil tiduran dan blonyohin punggung pake minyak kayu putih lagi. Ih, jompo banget sih lo, Yul gimana mau ke Norwegia coba. Baru ke Jatimulyo udah masuk angin T_T.

Akhirnya menjelang jam 2 siang, mobil rombongan sampai di rumah Bude. Saya sudah siap di depan rumah dengan bawaan yang luar biasa berat. Mobil pun melaju dan siap menjemput Bhisma. Jadinya di dalam mobil sudah ada Mas Juki, Mas Heru dari Baluran, dan Ikmal.

Sepanjang jalan ngebut wuzzz wuzzz wuzzzz supaya bisa cepat sampai Trisik. Gapapa dah ngebut dikit meski sayanya ketar-ketir juga pas lewatin truk hahaha. Menjelang pukul 4 setelah melewati jalur berkelok-kelok Jogja-Kulon Progo, Srandakan, hingga semakin lama kami mendekati tepi pantai dan rumah-rumah semakin sepi.

Kami melalui semacam pematang jalan yang sisi-sisinya seperti tambak dan hanya muat dilalui satu mobil. Lalu tibalah saya di Trisik. Tempat yang sudah lama sekali berada dalam kepala saya.

I can’t describe my feeling at that time when my feet step on the sand at Trisik.

Sementara nun jauh di sana, burung-burung pantai migrasi yang selama ini beterbangan di dalam kepala kini hadir di depan mata secara langsung.

Saya melangkahkan kaki dan menginjak lumpur yang rupanya cukup dalam. So, this is it. This is how it feels when your dream come true huhuhu.

Saya bolak-balik mengarahkan kamera hingga akhirnya tengkurep juga di atas pasir. Udah nggak bisa lagi nahan senyum pokoknya selama di sana. Sampe lupa kalo lagi masuk angin, untungnya udah minta tolak angin dari Bhisma hahaha.

Nggak tahu ada berapa burung yang bisa saya jepret. Dan meski hasilnya banyakan blurnya karena kesalahan besar saya adalah meninggalkan tripod di atas batu yang jaraknya jauh dari saya, tapi ketika secara tiba-tiba langit berubah menjadi campuran pink, ungu, oranye, violet dan semacamnya pertanda matahari sudah terbenam, rasanya masih belum mau pulang.

Kawan-kawan pengamat burung lain sudah berjalan jauh di depan, saya menyempatkan diri untuk menoleh lagi ke belakang ke tempat burung-burung pantai migrasi itu masih sesekali terbang dan mendarat lagi di pasir. Angin bertiup cukup kencang dan saya mengucap doa supaya bisa balik lagi ke Trisik.

Pulangnya kami semobil beserta kawan-kawan lain yang naik motor mampir ke masjid untuk ganti baju yang basah dan penuh lumpur, dan shalat, lalu mampir ke warung mie ayam yang porsinya buanyaaak banget sampe saya minta mangkok tambahan buat dikasi ke yang lain karena tahu pasti saya nggak habis. Sambil makan sambil ngobrol hahahihi dan barulah dari situ rombongan bubar dan nganterin saya sampai stasiun Tugu.

Setelah kepanikan salah paham mengenai kereta gara-gara petugas (wess ribet lah pokoknya hahaha) akhirnya saya masuk juga ke dalam gerbong kereta yang siap membawa balik ke Jakarta.

Pernah nonton film Narnia ke-2 yang ada adegan empat bersaudara itu melewati pohon di negeri Narnia untuk melintasi waktu dan tiba-tiba ada di stasiun kereta di Inggris nggak? Nah, waktu saya nonton itu rasanya kayak ada rasa shock karena dalam sekejap beralih tempat yang berbeda banget waktu dan kondisinya hingga seperti menyisakan kehampaan. Itu juga lah yang saya rasakan saat kereta mulai bergerak meninggalkan Jogja. Kayaknya baru tadi saya masih dikelilingi burung-burung pantai migrasi dan menapaki lumpur yang bikin kejeblos di Trisik, tiba-tiba saya sudah berada di dalam kereta yang penuh dengan penumpang dan koper-koper besarnya.

Kereta bergerak dan nggak tahu kenapa saya terisak diam-diam. Terserah orang mau bilang saya lebay atau apa tapi kebaikan-kebaikan yang saya dapatkan selama di Jogja dan juga Trisik membuat saya sangat bersyukur bahwa saya tidak jadi menyerah pada hidup ini.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top