Mengenal Suaka Margasatwa Muara Angke: hutan mangrove terakhir di Jakarta
*Ditulis pada 2 Februari 2011
Tanggal 2 Februari diperingati sebagai hari lahan basah sedunia. Lahan basah atau istilah bahasa inggrisnya yaitu wetlands adalah sebuah area yang selalu tergenang air, contohnya seperti hutan mangrove, danau, rawa, sungai, dan pesisir pantai.
Jika kita berbicara mengenai Jakarta dan hutan, rata-rata orang akan menghubungkan dua kata itu dengan Jakarta sebagai hutan beton. Alias kota yang tertutup dengan tingginya gedung-gedung perkantoran, apartemen, dan padatnya permukiman. Tapi adakah yang pernah mendengar tentang hutan mangrove di Jakarta?
Yup, foto-foto tersebut diambil di Suaka Margasatwa Muara Angke, kita sebut saja sebagai hutan mangrove terakhir Jakarta yang berada di Muara Angke, Jakarta Utara. Kawan-kawan lebih sering mendengar Muara Angke sebagai pasar ikan? Nah, ini saatnya mengenal lebih dekat suatu area yang berada di ujung utara Jakarta dan berperan penting bagi ekosistem lingkungan.
Hutan mangrove Angke yang ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda diubah statusnya menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1998. Pada tahun 1960-an memiliki luas 1.334,62 ha namun luas wilayahnya sekarang tinggal 25,02 ha saja. (wikipedia.org)
Terdapat 8 jenis pohon mangrove yang ada di Suaka Margasatwa Muara Angke ini, yaitu api-api (Avicennia marinna), bakau gandul (Rhizopora mucronata), bakau kurap (Rhizopora styloso), bakau lautik (Rhizopora aploulata), pidada jenis Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris, lindur (Bruguiera gymnorrhiza), dan nipah (Nypa fraticans).
Suaka margasatwa Muara Angke memiliki peranan yang penting karena menjadi habitat bagi 90 jenis burung, di mana 20 di antaranya adalah burung air (waterbird), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan berbagai hewan herpetofauna (termasuk di dalamnya adalah kodok, katak, ular, cicak, dan biawak).
Hewan-hewan tersebut berperan penting bagi kelangsungan hutan mangrove dan begitu juga sebaliknya. Burung seperti cangak abu, kuntul (Egretta alba, Egretta intermedia, Egretta garzetta), pecuk (Phalacrocorax sulcirostris, P. niger), dan burung air lainnya terbiasa terbang dari tempat berkembang biaknya di Pulau Rambut dan mencari makan di hutan mangrove ini.
Jenis burung lain adalah salah satu burung endemik Jawa yaitu Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) yang populasinya di hutan mangrove Angke hanya tinggal 10 ekor. (sayangnya, sampai sekarang saya belum beruntung untuk bisa menjumpai Bubut Jawa. Mondar-mandir ke tempat ini ternyata tidak secara otomatis membuat saya bisa bertemu dengannya.)
Fauna lain yang ada di suaka margasatwa ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berperan dalam penyebaran biji salah satu jenis mangrove seperti pidada (Sonneratia caseolaris). Mereka memakan buah tersebut kemudian biji buah pidada yang tidak dicerna dikeluarkan kembali melalui feses mereka.
Sayangnya, berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman, perilaku monyet ekor panjang tersebut berubah akibat banyaknya sampah berada di area hutan mangrove. Mereka menjadi terbiasa mencari makan di antara kantung plastik dan tumpukan sampah. Hal ini juga menyebabkan sang monyet-monyet yang terbagi menjadi beberapa kelompok itu menjadi agresif setiap melihat manusia yang membawa makanan ataupun kantung plastik. (ehem…kotak-makan salah satu kawan pernah dibawa dan diseret-seret si macaca. Hal ini terjadi ketika kami sedang asik tidur-tiduran di bawah pohon).
Perilaku tersebut juga disebabkan akibat masyarakat yang terkadang datang dan memberi mereka makan. Perlu diingat bahwa sebenarnya monyet (dan hewan lain di alam) sudah memiliki makanan sendiri yang behubungan dengan alam dan habitat mereka (seperti penyebaran biji pidada melalui feses tadi) sehingga manusia tidak perlu memberi makan dengan makanan yang dibawa dari luar.
Selain merubah perilaku monyet ekor panjang, sampah-sampah yang berada di kawasan juga mengancam keberadaan hutan mangrove dan segala ekosistem di dalamnya. Burung yang ada pun harus mencari makan di antara sampah tersebut. Muara Angke yang merupakan muara dari 13 sungai di Jakarta sayang sekali harus juga menjadi muara dari berbagai macam sampah yang terbawa bersama aliran sungai dan masuk ke area hutan mangrove. Sampah paling utama adalah kantung plastik dan stereofoam. Sampah tersebut menyangkut di akar mangrove dan bisa menyebabkan pohon tersebut mati karena tidak bisa bernafas.
Jika banjir terjadi di area hulu sungai ataupun di bagian pertengahan, maka di muaranya bisa ditemukan benda-benda seperti kasur, kulkas, dan barang-barang rumah tangga lain. Seorang teman bahkan menjumpai sebuah sofa sewaktu ia berkunjung ke Pulau Rambut :(.
Selain sampah, faktor lain yang merusak hutan mangrove ini tentu saja adalah adanya pembangunan permukiman di sekitar area. Area mangrove dulu pastinya lebih luas dari apa yang ada sekarang, pembangunan permukiman berperan dalam menyusutnya luas lahan.
Sangat disayangkan sekali jika hutan mangrove, yang berperan penting bagi burung air dan fauna lain serta sebagai benteng terakhir Jakarta dari abrasi air laut dan penahan gelombang ini, sampai rusak. Jika hutan mangrove ini hilang, Jakarta bisa lebih kebanjiran air pasang.
Hanya itu sajakah fungsinya? Tidak. Masih ingat dengan pelajaran bahwa pohon menghasilkan oksigen? Semakin banyak pohon semakin banyak oksigen yang dihasilkan bagi kita untuk bernafas.
Fungsi lain adalah fungsi rekreasi, pendidikan, dan penelitian. Alih-alih menghabiskan waktu ke mall, cobalah untuk melakukan rekreasi ke tempat-tempat seperti hutan mangrove ini. Ajak kerabat, saudara, teman, dan keluarga untuk berkunjung dan belajar mengenal berbagai jenis mangrove, mengamati berbagai jenis hewan, melakukan pengamatan burung (birdwatching), yang ada di hutan mangrove agar mereka lebih peka dan lebih menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan. (baca ini juga)
Atau sebagai tempat kabur dari kepusingan skripsi, seperti saya bertahun-tahun yang lalu hehe.
Apa lagi yang bisa dilakukan?
Seperti yang sudah dikatakan bahwa muara ini merupakan pertemuan dari 13 sungai yang ada di Jakarta, maka hal kecil yang bisa kita lakukan adalah dengan membuang sampah di tempatnya alias tidak membuang sampah sembarangan dan terutama di sungai.
Hal lain yang sangat penting adalah mengurangi sampah dan tidak menggunakan barang-barang yang sekali-pakai-buang seperti kantung plastik dan stereofoam yang sulit terurai dan berbahaya bagi lingkungan.
Hal ini berlaku bagi kita semua, baik yang tinggal di daerah hulu, pertengahan, maupun hilir sungai. Hal sekecil apapun yang kita lakukan akan sangat bermanfaat bagi lingkungan.
————————————–
Semua langkah yang terasa tak mudah..
Karena belum semua orang mengerti dan perduli,
Tapi tumbuhnya sebuah warna baru memberikan semangat pada setiap mereka yang mau berusaha melihat warna itu dengan hati.
Tetap SEMANGAT untuk semua teman-teman yang bergerak di bidang lahan basah, baik hutan mangrove, danau, sungai (hulu sampai hilir) dan pesisir, serta para pengamat burung terutama burung air!
Selamat hari lahan basah sedunia!
Catatan:
Untuk bisa masuk ke Suaka Margasatwa Muara Angke harus memiliki SIMAKSI atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang dibuat di BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta terlebih dulu.
Berhati-hatilah ketika melangkah di jembatan kayu, buang sampah di tempatnya, tidak memberi dan menunjukkan makanan di depan monyet jika tak mau dikejar, dan tidak mengganggu hewan lainnya yang ada di sana.
(ada yang bilang jangan tertawa atau menunjukkan gigi pada sang monyet karena mereka mengira kita menantangnya, entah benar atau tidak ). Eh tapi menurut informasi teman yang bertemu di bulan Maret 2011 kemarin, katanya Macaca itu sudah tidak galak dan tidak mengejar-ngejar kok. Santai maaan!!
Foto diambil antara Januari 2009-Juni 2010