Konservasi penyu oleh 4K di Pantai Pelangi, Jogja
Setelah menghadiri punlic seminar IUCN di Universitas Atma Jaya Jogjakarta, saya berniat untuk berkunjung ke Pantai Pelangi dua hari setelahnya untuk singgah ke konservasi penyu yang ada di sana. Pantai Pelangi terletak di Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Komunitas yang melakukan proyek konservasi penyu di tempat tersebut adalah 4K. Kegiatan konservasi yang dilakukan di Pantai Pelangi meliputi kegiatan pencarian induk penyu yang bertelur di malam hari, tempat penangkaran telur penyu hingga menetas, pelepasan tukik, hingga penanaman pandan laut.
Komunitas 4K membuka kesempatan menjadi relawan setiap beberapa bulan sekali. Kegiatan relawan ini mencakup kegiatan pencarian induk penyu bersama-sama di malam hingga dini hari. Induk penyu akan naik ke daratan untuk bertelur, telur yang sudah dikubur itu kemudian akan diambil dan dipindahkan ke penangkaran oleh para relawan. Maraknya pencurian telur penyu masih sering terjadi dan menjadi salah satu penyebab populasi penyu menurun jumlahnya.
Menjelang minggu-minggu terakhir di bulan Juni itu, komunitas 4K masih membuka kesempatan menjadi relawan. Saya pun mendaftar untuk ikut kegiatan meski hanya satu malam saja. Pada hari Sabtu selepas shalat maghrib saya meluncur ke lokasi yang sudah dijanjikan bersama relawan lain untuk bersama-sama ke lokasi Pantai Pelangi mengingat cukup jauh tempatnya dari Jogja dan saya tidak ada kendaraan. Mbak Ika namanya. Kami pun meluncur malam hari dengan mobil yang dikendarai suami Mbak Ika. Turut serta dua anak mereka yang usianya sama dengan anak saya.
Semakin lama kondisi jalan semakin gelap dan tidak ada penerangan sama sekali kecuali dari lampu sorot mobil yang kami naiki. Kiri dan kanan jalan hanya dipenuhi semak-semak dan pohon cemara laut. Saya pun sudah bisa mendengar suara debur ombak. Beberapa menit kemudian mobil berbelok ke sebuah rumah yang tampak juga seperti warung. Kami sampai di basecamp konservasi penyu. Beberapa relawan sudah ada yang berkeliling pantai untuk mencari penyu sejak 30 menit lalu. Saya, Mbak Ika, dan dua anaknya pun memutuskan untuk menyusul kelompok tersebut dan berjalan ke arah barat.
Saya menjejakkan kaki di pasir yang sangat lembut. Dari tempat menginap di basecamp mahasiswa di Jogja saya meminjam sandal jepit yang ada di sana karena saya hanya membawa sepatu yang memungkinkan pasir justru akan masuk ke dalamnya berulang kali saat menelusuri pantai. Lama-lama di kegelapan itu saya tergoda untuk menenteng sandal saja dan memutuskan untuk nyeker. Bulan purnama bersinar terang namun tanpa lampu senter kami kesulitan melihat dalam jarak jauh. Hanya ada bayang-bayang gelap nun jauh di sana dan suara debur ombak dalam jarak dekat yang memenuhi seluruh indera pendengaran dan bahkan suara angin super kencang khas tepi laut yang membuat saya berulang kali merapatkan jaket.
Mbak Ika dan anaknya menjumpai kelomang yang sangat besar. Kami pun sempatkan untuk bermain-main dulu dengan kelomang itu sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan kembali untuk menelusuri pantai mencari induk penyu dan menyusul kelompok lain.
Setelah jauuuh berjalan, akhirnya kami pun bertemu dengan kelompok pertama. Di sana akhirnya saya bertemu Alfian, salah satu pengamat burung juga yang memang selama ini kami sudah berteman secara online. Dari dirinya lah saya mengetahui mengenai tempat konservasi penyu ini.
Kami kembali melanjutkan perjalanan namun kali ini berbalik arah kembali ke arah basecamp. Sambil berjalan kami sambil mengobrol ditemani cahaya bulan purnama yang sangat penuh. Setelah sampai di basecamp, relawan beristirahat dan sambil membahas mengenai bahwa sebelum saya datang rupanya ada kelompok yang juga menemukan bekas tempat induk penyu bertelur namun sayangnya telur-telur tersebut sudah lebih dulu diambil orang lain tak bertanggung jawab.
Sambil mengobrol dengan Fian, tentu saja kami saling menunaikan janji jika bertemu yaitu trade pokemon hahaha.
Tidak lama kemudian ada laporan yang masuk yaitu terjumpai penyu naik ke daratan di pantai sebelah timur. Namun letaknya sangat jauh dan tidak memungkinkan untuk berjalan kaki, sehingga kami pun menaiki motor bersama-sama beriringan. Saat itu kami juga membawa ember untuk persiapan meletakan telur dan galah untuk memastikan ada telur penyu di dalam pasir. Saya kebagian tugas membawa galah sambil berboncengan motor dengan Fian dan saat itu saya merasa seperti geng motor yang mau beraksi malam hari tapi dalam versi kegiatan positif dalam hal ini yaitu konservasi penyu.
Saat tiba di lokasi, sudah ada relawan lain yang lebih dulu dan juga Pak Sarwidi yang membongkar pasir dengan galah yang saya bawa dan dengan tangan kosongnya juga. Nampak dalam kondisi yang remang-remang di tepi pantai itu memang terlihat ada jejak penyu di pasir yang naik ke daratan dan berhenti di sebuah warung yang sudah tutup. Sebelumnya pemilik warung yang masih buka berkata bahwa ada penyu yang naik ke sana dan menggali-gali pasir bahkan ada bukti fotonya juga. Namun lebih dari 30 menit Pak Sarwidi mencari-cari tak juga nampak ada telur di sana. Relawan lain menebak berbagai kemungkinan yaitu telurnya sudah diambil orang atau penyu hanya menggali saja tapi tidak jadi bertelur karena satu dan lain hal.
Satu jam lebih kami di sana dan tak nampak ada telur hingga akhirnya diputuskan untuk kembali ke basecamp saja. Setelah itu saya makan mie rebus dan jam 12 malam akhirnya mengambil posisi untuk tidur di area saung tepi pantai bersama relawan lain. Angin pantai yang sangat kencang itu ternyata tidak bertiup ke arah saung, namun tetap saja dingin buat saya.
Pukul 4 relawan dibangunkan untuk kembali berkeliling, namun ternyata saya nggak kuat sama sekali sama dinginnya hingga akhirnya saya memutuskan untuk tetap tidur di saung saja T_T. Kelompok yang berkeliling dini hari itu rupanya juga tidak bertemu dengan induk penyu.
Pagi hari relawan mulai berpamitan pulang dan saya pun menyempatkan diri untuk bermain di pantai sejenak terlebih dulu. Sambil sarapan dengan nasi yang dibungkus daun jati, saya pun mengobrol dengan Daru, pendiri 4K yang bercerita asal usul pendirian komunitas ini.
Daru juga berkata bahwa di penangkaran penyu seperti ini, peluang untuk tukik menetas adalah 80%. Mereka juga mencoba menetaskan dengan metode inkubator dan presentase untuk hidup adalah 90%. Kekurangannya adalah tempat menggunakan inkubator sangatlah terbatas.
Hari itu adalah menjelang hari terakhir ditutupnya relawan luar untuk patroli penyu. Sebelum pulang saya sempatkan untuk melepaskan tukik terlebih dulu. Biayanya adalah Rp 25.000/tukik. Dana tersebut digunakan untuk pembiayaan konservasi penyu.
Semoga tahun 2025 saya bisa kembali lagi ke Pantai Pelangi. Aamiin. Terima kasih kepada relawan 4K.