Friday May 17, 2024

Skoliosis: kualitas hidup, quality of life

*Tulisan ini saya buat pertama kalinya saat tahun 2011. Tulisan yang mengawali proses penulisan buku pertama saya mengenai pengalaman skoliosis setelah melewati proses pengembangan kalimat.

*********

Awalnya saya tak mau mengakui bahwa diri ini skoliosis, atau memakai brace. Malu? Ah, bukan. Apa ya namanya. Tapi malu bukan kata yang 100% tepat. Mungkin lebih tepatnya karena tak ingin terlalu membesar-besarkan skoliosis yang ada pada diri saya. Sehingga untuk sementara topik skoliosis dan brace tak menjadi topik dalam tulisan-tulisan harian saya.

Suatu ketika saya nyasar ke blog milik Bu Ika, yang rajin membuat tulisan mengenai subjek kesehatan. Nah, kata kunci yang saya gunakan waktu itu adalah skoliosis. Dan saya pun nyasar ke kumpulan info mengenai skoliosis yang ditulis bu Ika tersebut.

Komen, tidak, komen, tidak.

Selama beberapa hari saya hanya mengintip dan membaca komentar-komentar yang masuk saja. Tak berniat memberi satu kalimat pun. Namun suatu hari, satu komentar yang masuk mendorong saya untuk ikut berbicara juga. Membuat saya berpikir lebih jauh untuk berbagi tulisan mengenai pengalaman bersama skoliosis dan brace ini. Saya jadi berpikir mungkin dengan berbagi tulisan, akan ada orang-orang yang tidak lagi merasa sendiri memiliki skoliosis dalam hidupnya. Mungkin dengan menyadari bahwa ada orang-orang yang senasib, rasa minder dalam diri bisa berkurang.

Saat ini saya pakai brace selama 9 bulan. Bagi saya pengalaman selama beberapa bulan ini saja sudah banyak memberikan banyak pelajaran.

^^^^^^^^^^^

“Macam mana tuh alat?!” Omel saya dalam hati waktu tahu wujud brace seperti apa.

Kesal, marah, sedih bercampur jadi satu. Teringat kebaya yang sudah dijahit untuk saya pakai di pernikahan kakak saya dua minggu lagi. “Gimana kalo kebayanya nggak muat?” tanya saya lagi.

Hal yang paling menusuk di pikiran adalah bagaimana saya bisa berkegiatan dengan alat itu? Atau naik bus yang luar biasa padatnya dari dan menuju tempat kerja. Tapi tak ada pilihan lain. Atau kalaupun ada, saya bisa pilih untuk tidak memakainya, anggap saja skoliosis ini tak ada. Tapi dengan risiko nyeri punggung terus muncul, derajat skoliosis bertambah, dan akibat lain yang akan muncul jika tidak ditangani. Lagipula 8 tahun adalah waktu yang sangat lama untuk menahannya. Dan tak boleh lagi ditunda-tunda.

Dugaan saya skoliosis ini mulai muncul ketika SMA. Saat itu saya memang sering sekali menggambar. Dengan hobi itu mungkin tanpa sadar saya duduk dengan pose ke sana ke mari, atau bisa juga ditambah dengan posisi tidur yang tak baik. Entahlah, tapi yang jelas lama kelamaan punggung kanan saya lebih menonjol dari punggung kiri. Akibatnya jika duduk terlalu lama saya jadi tak betah karena nyeri punggung (terutama jika duduk lesehan di bawah), atau merasa pegal-pegal luar biasa setiap bangun tidur. Hal ini selalu muncul setiap hari.

Bertahun-tahun saya tak juga memeriksakan diri ke dokter tulang. Saya pikir “Oh saya skoliosis, ya sudah.” Saya berpikir bahwa sesudah itu tak akan ada tindak lanjutnya dari dokter.

Delapan tahun berlalu baru sangat terasa efeknya. Ingat tulisan tentang kejadian sepulang menonton konser gitar Jubing? Mungkin itu salah satunya. Dan saya juga memiliki MVP. Sehingga jika nyeri itu muncul, sesaknya menjadi dobel.

Ketika ke dokter-tulang pertama kali dan sang dokter menyarankan pemakaian brace itulah ibu saya menangis-nangis. Ia menyesali kenapa baru sekarang, kenapa ia mendiamkan saja meski tahu bahu saya tak sama, tahu cara jalan saya agak timpang, dan sebagainya. Tapi sama seperti saya, ibu pun tak mengerti kalau hal seperti itu sampai harus diperiksakan ke dokter tulang.

Saya berusaha menenangkannya, bahwa bukan ibu yang salah. Lagipula tak ada siapa-siapa atau apa-apa yang harus disalahkan. Juga dengan hobi menggambar saya. Meski saya berusaha berbesar hati, tapi begitu tahu wujud brace seperti apa rasanya saya mau kabur dari rumah sakit saat itu juga hehe.

Alat itu keras dan kaku sekali, dipasang pada tubuh meliputi punggung sampai melebihi pinggang. Jika kalian mau tahu wujudnya mungkin bisa terbantu dengan membayangkan long-torso untuk kebaya, hanya saja jauh lebih kaku. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tadi berderet-deret muncul di kepala saya; bagaimana saya bisa berkegiatan dengan alat kaku dan keras seperti itu melekat pada tubuh saya?!

“Ikhlas aja yah pake itu?” tanya ibu. Saya mengangguk, dengan amat sangat terpaksa.

Untuk bisa menggunakan brace harus melalui berbagai macam tahap dulu. Karena disesuaikan dengan tubuh skolioser, maka brace (yang bahannya serupa dengan gips itu) harus dicetak terlebih dulu, ditunggu sampai mengeras, dipotong, lalu tunggu lagi seminggu supaya benar-benar mengeras, lalu dipas-kan atau fitting, lalu tunggu lagi tiga hari lagi, baru kemudian jadi dan dipasang di tubuh.

Ada yang berkata pemakaian brace ditujukan bagi mereka-mereka yang masih dalam tahap pertumbuhan, tapi mungkin pendapat ini juga bisa ditambahkan; dengan pengecualian pada kasus tertentu. Misal contohnya solusi yang dipilih untuk kasus saya adalah pemakaian brace, padahal usia saya kan sudah jauh dari masa pertumbuhan, yaaa.. 17 tahun deh! 17 tahun lari-lari tapi hehe :p

Brace hanya boleh dilepas ketika mandi dan berenang, waktu pemakaiannya adalah 23 jam, termasuk saat tidur. Ngok! Gimana bisa tidur kalo pake alat kaya gituan? Pikir saya lagi. Tapi aneh. Ketika baru diberi tahu alat tersebut saya menolak mentah-mentah untuk memakainya, namun ketika brace sampai pada tahap pengerjaan, separuh hati saya justru ingin cepat-cepat menggunakannya.

Dan ketika sudah dipasang memang sangat terasa kaku, sesak, risih, tak nyaman, bahkan tak bisa sujud (eh tapi sekarang sudah bisa sujud dengan brace lho kalo sholat :D). Minggu-minggu pertama memakainya adalah minggu-minggu luar biasa.

Dan sejak beberapa hari sebelum memakai brace, saya mendeklarasikan diri bahwa tak boleh ada yang berubah dalam diri saya. Tak boleh minder, tak boleh ngeluh, tak boleh merasa diri paling menderita. Semuanya sama.

Supaya bisa seperti itu maka saya pikir saya harus mulai berpikir tentang sesuatu yang menyenangkan dan positif. Sesuatu yang bisa membuat hati dan pikiran merasa senang dan tak terbebani bahwa diri ini sedang sakit.

Maka dimulailah pemikiran bahwa; “Setiap langkah dengan brace yang kaku dan membuat risih itu adalah langkah-langkah mendaki gunung”.

Mendaki adalah hal tak mudah buat saya tapi sekaligus juga menyenangkan. Ingat kah dengan tulisan saya tentang mimpi mendaki dan akhirnya terwujud bisa sampai Cibereum? Nah jika boleh mari saya tambahkan dengan tulisan mendaki milik Tantyo Bangun (ehem.. tulisan beliau selalu jadi tulisan favorit saya hehe).

Pada majalah NG Traveler Vol. 1, No. 8, 2009 dengan judul utama “55 Pendakian Terindah” itu ia menulis begini:

“Ada pertanyaan remeh yang sering ditanyakan kepada para pendaki gunung; mengapa harus mendaki susah-payah sampai puncak apabila nantinya turun lagi? Yang bertanya mungkin perlu mengkaji filosofi hidupnya sendiri. Mendaki gunung dan turun lagi itu mencerminkan perjalanan umum manusia; kita lahir, mencapai puncak usia, dan turun ke haribaan Ilahi. Mendaki gunung menjadi semacam simulasi kehidupan ketika kita berjuang bukan mengatasi tingginya pendakian atau curamnya tebing, melainkan mengatasi diri kita sendiri. Saat itulah, pada titik-titik ekstrem kelelahan, kita tahu batas keberadaan di dunia. Saat turun dengan selamat, kita membawa diri yang baru, karena telah menemukannya kembali saat tiba di puncak.”  ~Tantyo Bangun~

Ah, untaian kalimat yang dituliskannya rasanya melayang di depan saya dengan sempurna hehe.

Kalimat “Mendaki gunung menjadi semacam simulasi kehidupan ketika kita berjuang bukan mengatasi tingginya pendakian atau curamnya tebing, melainkan mengatasi diri kita sendiri” itulah yang jadi poin utama. Mengatasi diri sendiri.

Mendaki sebagai simulasi kehidupan saya simulasikan lagi dalam setiap langkah memakai brace.

Setiap titik yang saya tempuh dalam memakainya adalah sebuah usaha perbaikan diri, untuk kesehatan tulang belakang yang lebih baik lagi. Memang tidak bisa membuat tulangnya lurus kembali, tapi mencegah kurva membengkok lebih buruk. Dan pastinya memakai alat yang kaku ini selama 23 jam terus-terusan tidak lah mudah.

Sama seperti mendaki. Ada bukit terjal, batu besar, duri semak belukar, bahkan mungkin jelatang, derajat kemiringan ekstrim, kabut tebal membatasi pandangan, angin besar dan hujan badai. Kelelahan di tengah perjalanan, menciut karena suhu rendah, dan kepanasan terbakar matahari.

Tapi perjalanan itu sendiri juga pastinya menyimpan keindahan. Berbagi makanan dengan teman seperjalanan, melihat bentangan padang savana, mekarnya bunga, dan tetes embun yang tertahan pada dedaunan, juga berbagi pengalaman tersebut ketika sudah kembali pulang.

Maka mendaki gunung adalah simulasi dalam memakai brace bagi saya. Satu bulan pertama itu adalah “I’m on my own Mahameru.” “Aku berada di Mahameruku sendiri.” Melangkah satu demi satu, tak perduli berapa langkah lagi untuk sampai puncak. Jalan saja terus. Dengan berpikir seperti itu, desak-desakkan di bus yang luar biasa padat meski dengan menggunakan brace setidaknya menjadi lebih mudah. (Tahu kan metromini 640 yang kalau jam kerja itu bus-nya sampai miring-miring karena kepenuhan :D).

Maka setiap bulan temanya berubah-ubah. Dan pendakian gunung menjadi semakin seru saja. Satu minggu, dua minggu, enam minggu, sampai sekarang menginjak tiga puluh dua minggu alias delapan bulan. Tiba-tiba deretan gunung sudah saya “lahap”. Mahameru, Welirang, Kerinci, Marapi, Bromo, Rindjani, Batur, Lawu, dan sebagainya (saya tak ingat lagi). Kadang berubah setiap dua minggu, kadang satu bulan. Kadang jika merasa cocok dengan tema itu saya seolah berniat untuk tak turun, sehingga temanya menjadi “downhill of my own Welirang.” Ah suka-suka lah pokoknya. Yang terpenting adalah supaya tak ada rasa minder karena sakit.

Tapi tentu saja adakalanya rasa minder itu memberontak dan menyerang. Misalnya ketika sedang berdiri di bus tanpa sengaja penumpang lain menyenggol saya lalu tangannya terpentok brace yang kaku. Biasanya sih saya diem saja, sok-sok nggak tahu. Stay cool. Padahal dalam hati malu. Hehe. Sementara orang tersebut memperhatikan saya dengan seksama apakah saya ini manusia atau robot??

Kendala lain adalah memakai brace itu berarti mendorong untuk cepat sekali merasa kepanasan dan gerah. Suasana jam sibuk yang ramai, macet luar biasa, brace yang membuat panas memicu diri untuk kesal. Ditambah lagi bulan-bulan pertama memakainya, terkadang pemasangannya masih tidak pas sehingga walaupun sudah bangun pagi bisa-bisa menjadi telat karena brace yang terasa tidak enak di badan dan akhirnya ulang lagi-ulang lagi pemasangannya. Dan ketika tiba di jalan raya sudah siang dan kemacetan sudah menjadi raja di jalan raya. Kemacetan menjelma menjadi sesuatu yang semena-mena membuat orang meringkuk gelisah dan ngomel sana-sini. Belum lagi ditambah dengan perampokan penggunaan trotoar oleh pengendara motor, dan tambah tak sopan ketika rampokan itu juga ditambah dengan klakson yang dipencet tak beraturan menyuruh pejalan kaki (yaitu saya) supaya minggir.

Grrrrr…!!! Maka suasana hati yang sudah tak nyaman karena brace tidak pas, macet, serta rampasan trotoar membuat diri ini bisa adu melotot dengan pengendara motor selanjutnya, lalu memaki-makinya dengan segala kata dari jauh. Begitu naik bus, kekesalan bertambah dengan jalanan ibukota yang kemacetannya kian hari kian parah. Sepanjang perjalanan penuh dengan kekesalan dan emosi. Lupa dengan simulasi mendaki gunung tadi.

Lalu dengan manisnya Tuhan pun memberi peringatan. Hari itu juga di tempat kerja handphone saya hilang dicuri orang.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

“Keep your flame lit, and you will never feel darkness.” ~J. Parker~

Nyalakan lilinmu!

Syarat lain dari dokter adalah selama masa-masa sekarang ini tidak boleh jogging, tidak boleh olahraga berat, tidak boleh angkat-angkat barang, tidak boleh membawa tas dengan beban lebih dari 1 kilogram, dan tidak boleh percaya pada omongan bahwa wanita skoliosis tidak bisa hamil.

Dengan segala syarat itu rasanya semua terlihat jadi serba terbatas. Apalagi jogging adalah hal yang sedang sangat saya cintai untuk lakukan. Dan bagaimana mau traveling jika tas yang boleh saya bawa hanya 1 kilo? Pakai tas geret! Kata dokter dan emak bersamaan.

Beberapa bulan dengan brace, rute terjauh saya hanyalah Ragunan! Brace selain membuat cepat kepanasan, juga (buat saya) membuat cepat lelah ketika berjalan. Saya terduduk di salah satu sudut Ragunan, menenteng kamera dengan hampir putus asa. Hanya berjalan memutari saja dengan membawa kamera rasanya cepat sekali lelah. Akhirnya kamera dipegang abang, dan baru akan diberikan jika saya sudah bertemu dengan objek yang saya ingin jepret.

Sejak saat itu saya sadar, cepat lelah ini karena tak biasa. Sabtu minggu pun saya penuhi kembali dengan olahraga berjalan kaki, dengan memakai brace tentunya. Dan lambat laun, rute saya pun bisa lebih jauh lagi :). Cibulao, Bandung, bahkan Jogja. Kegiatan-kegiatan pun masih bisa saya laksanakan. Namun kesulitan pertama kali ditemui ketika memangku Themas dalam mobil sewaktu anak-anak panti asuhan itu akan mengikuti lomba OTBA Maret 2011 lalu. Apakah berat badannya yang bertambah ataukah kemampuan memangku saya berkurang? Tapi hanya itu saja. Kegiatan lain bersyukur masih bisa dilakukan. 😀

Mungkin inilah inti utamanya. Beberapa pertanyaan yang waktu itu saya ajukan pada Dokter Rahyusalim di dunia maya waktu itu bahwa operasi skoliosis bukan ditujukan untuk membuat tulang belakang lurus kembali tapi mengurangi derajatnya sehingga meningkatkan kualitas hidup skolioser.

“To achieve safe correction, to restore balance, to stop progression and to reach good quality of life are the main goals of scoliosis surgery.” Prof Subroto Sapardan, Spinal Surgery Update 2009. (Lihat artikelnya di sini)

To reach good quality of life. Meningkatkan kualitas hidup. Mungkin ini juga menjadi tujuan pemakaian brace. Ataukah hanya perasaan saya saja yang terbawa kondisi nyeri yang berkurang? Entahlah, tapi senang rasanya jika melihat statistik tulisan saya! Dulu, bahkan untuk menulis catatan perjalanan Lembah Harau saja saya harus menunggu satu tahun lebih. Atau catatan pengamatan burung raptor migran di Bukit Paralayang baru bisa saya tulis 6 bulan setelahnya ketika burung-burung migrasi itu justru sudah terbang pulang kembali ke utara. Penundaan menulis ini karena mencari-cari waktu dan kesempatan ketika nyeri punggung tak datang.

Bersyukur sekarang dengan menggunakan brace hal itu bisa lebih teratasi. Dalam satu bulan saya bisa menulis sampai 2-4 tulisan. Rasa nyeri di punggung pun tak datang jika duduk terlalu lama. Dan saya masih tetap bisa memotret sambil mengendap-ngendap di kebun untuk mengejar kupu-kupu.

Dua minggu lalu sebuah mobil menabrak saya. Akibatnya adalah saya terjatuh, lalu kaki kiri terlindas ban sehingga sampai hari ini saya masih harus berjalan dengan bantuan tongkat. Kaki kanan yang tertabrak mobil pun langsung memar. Sementara tubuh saya tidak memar karena terhalang brace yang kaku dan keras ini. Brace yang pernah membuat kesal ini mencegah saya dari benturan yang lebih parah.

^^^^^^^^

“Beauty is not in the face; beauty is a light in the heart.” ~Kahlil Gibran~

The light

Begitu cerita tentang skoliosis dan brace saya. Untuk para skolioser mari tetap semangat berkarya :). Semoga cerita yang nggak tau kenapa jadi 5,5 halaman ini bisa berguna. Saya bukan motivator sehingga tidak tahu cara untuk memotivasi. Tapi semoga dengan berbagi tulisan seperti ini bisa membuat skolioser yang merasa minder menjadi lebih baik, karena tahu bahwa mereka tidak sendiri.

Mari SEMANGAT!

Ragunan, jarak terjauh pertama! 😮

Baca selanjutnya: tentang brace

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

One thought on “Skoliosis: kualitas hidup, quality of life

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top