Wednesday Jul 24, 2024

Menyambangi Desa Ramah Burung: Desa Jatimulyo, Kulon Progo, Jawa Tengah

Sudah lama sekali saya ingin berkunjung ke Desa Jatimulyo yang berada di Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai seorang pengamat burung (birdwatcher) amatir, desa ini masuk ke dalam check list tempat ramah burung yang ingin saya sambangi.

Sejak tahun 2014, di Desa Jatimulyo memang mulai dibuat berbagai peraturan desa mengingat maraknya berbagai kerusakan alam di area perbukitan Menoreh tersebut. Banyak di wilayah lain yang memiliki hutan namun mulai mengalami “silent forest” alias hutan yang sunyi akibat burung-burung yang ada di hutan habis ditangkapi untuk dijual dan dipelihara di dalam kandang.

Atas peran warga pula, tokoh setempat, dan juga pertemuan dengan pengamat burung, warga Jatimulyo yang dulu berprofesi menjadi pemburu burung lantas kemudian berubah menjadi penjaga konservasi burung dan mengajak serta masyarakat lainnya untuk bersama-sama menjaga lingkungan alam khususnya di Desa Jatimulyo. Semoga dengan timbulnya kesadaran tersebut, burung-burung di Jatimulyo bisa hidup liar berdampingan dengan warga desa.

Jatimulyo: Desa Wisata Ramah Burung

Desa Jatimulyo pun kini ditetapkan sebagai desa wisata ramah burung karena keragaman burung-burung yang bebas hidup secara liar di dalamnya. Beberapa tahun lalu saya sempat mengikuti program adopsi sarang burung yang ditawarkan dan mendaftarkannya atas nama anak saya. Program adopsi kurang lebih 2-3 bulan tersebut adalah program penjagaan sarang burung oleh warga desa agar sarang maupun telur burung tidak diambil pihak yang tidak bertanggung jawab saat burung mulai bersarang, bertelur, menetas, induk burung mencari makan untuk anaknya, hingga akhirnya anak burung tersebut sudah bisa terbang sendiri. Pada saat itu program adopsi yang dipilih adalah adopsi sarang burung kehicap ranting. Saat itu pula saya berbisik berdoa semoga suatu hari nanti bisa berkunjung langsung ke Jatimulyo.

Di akhir Oktober 2022 lalu, saya mengikuti lomba rally foto konservasi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kulon Progo dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi yaitu kelompok masyarakat yang ada di Desa Jatimulyo.

Lomba foto tersebut bertema konservasi burung yang ada di wilayah tersebut. Acara lomba dilaksanakan pada hari Jumat 28 Oktober hingga Sabtu 29 Oktober 2022. Saya berangkat dari Jakarta menuju Yogyakarta pada hari Rabu menggunakan kereta dari Stasiun Pasar Senen. Sengaja saya memberikan jeda hari karena keperluan lain dan juga untuk menyimpan energi untuk sesi lomba yang pastinya akan banyak berjalan di dalam jalur di desa.

Sepanjang perjalanan menggunakan kereta, saya menatap keluar jendela yang berhiaskan langit biru cerah dan juga pemandangan hamparan sawah dan ladang. Ini adalah perjalanan sendiri jarak jauh pertama kalinya bagi saya. Rasa senang dan nervous bercampur aduk. Terutama ketika mengingat hampir saja saya membatalkan keinginan untuk mengikuti acara ini karena minder dengan lensa kamera yang rusak namun beberapa kawan meyakinkan saya untuk tetap mengikuti lomba demi silaturahim dan have fun saja. Makasi banyak lho buat Bhisma, Panji, dan Ratih yang dorong-dorong buat ikutan hehe.

Selama di Kota Yogya nantinya saya akan menginap di rumah Bude. Di hari Jumat barulah berangkat bersama-sama peserta lain menuju Desa Jatimulyo dari area Godean dengan mobil yang disediakan oleh panitia acara.

Hari Jumat yang dinantikan akhirnya tiba. Dari rumah di Palagan saya naik ojek online menuju titik pertemuan di Godean. Sampai di sana sudah ada Bilal dan Bhisma yang juga berasal dari Jakarta, sisanya saya baru bertemu di lokasi tersebut. Kami pun bersama-sama menaiki mobil elf menuju Desa Jatimulyo. Setelah meluncur meninggalkan kota Yogyakarta, semakin menuju Kabupaten Kulonprogo semakin lama jalur yang kami lalui pun berubah menjadi berkelok-kelok dan cukup curam saat jalan menurun untuk dilalui, setidaknya bagi saya.

Memotret burung dalam jarak dekat

Setelah satu jam perjalanan, kami pun akhirnya tiba di basecamp yang biasa digunakan oleh para pengamat burung di wilayah tersebut. Akhirnya saya ketemu juga sama Panji dan Mas Imam yang terakhir ketemu tuh kayaknya tahun 2015 di PPBI Bandung.

Sambil berbincang-bincang tentang perjalanan dan kondisi burung-burung yang ada di desa, beberapa peserta yang datang pun langsung mulai mengeluarkan persenjataan kamera mulai dari kamera prosumer hingga lensa tele super besar, dan cukup duduk saja sambil menanti tepat di deretan beberapa pohon.

Saya pun takjub karena teringat dengan ucapan kawan yang memang benar adanya bahwa cukup kita duduk saja di tempat tersebut, beberapa jenis burung akan datang dan mencari makan di pepohonan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari kita.

Burung menarik yang bisa diamati adalah pijantung gunung (Arachnothera affinis) yang berwarna merah merona, serupa seperti warna bunga tempat ia menghisap nektar. Selain itu masih ada burung cinenen pisang, kancilan bakau, caladi tilik. Juga terdapat burung kehicap ranting, pelatuk besi, elang, dan masih banyak lagi yang bisa kita temui. Oh iya, juga burung sulingan yang menjadi primadona hingga merk kopi yang dihasilkan di tempat tersebut diberi nama “Kopi Sulingan.”

Setelah menyantap makan siang bersama-sama, kami lantas berjalan kaki melewati rumah warga menuju spot lain tempat kami bisa menunggu burung berjenis kingfisher. Di spot tersebut sudah disediakan bird hide alias tempat bagi para pengamat burung untuk bersembunyi dan mengamati burung dari jarak sangat dekat sehingga bisa sekaligus mengabadikannya dengan sangat baik.

Saya hampir tidak bernafas saat melangkah memasuki birdhide dan melihat raja udang punggung merah, burung yang saya idam-idamkan, melalui celah lubang jaring dalam jarak yang sangat dekat.

Bermalam di homestay

Mendung sempat turun sore itu namun kemudian kembali berganti menjadi panas. Menjelang sore para peserta berpindah tempat menuju Watu Blencong untuk acara pembukaan. Awalnya saya sempat mengira ini adalah acara komunitas biasa. Namun ternyata acaranya cukup besar hingga terdapat juga acara sambutan dari Dinas Pariwisata Kulon Progo dan pejabat setempat. Juga disambut Tari Angguk oleh anak-anak remaja.

Di malam hari seluruh peserta dibagi berkelompok dan menuju homestay masing-masing. Sebagai desa wisata, penduduk Desa Jatimulyo juga menjadikan rumah-rumah mereka menjadi homestay bagi para tamu yang menginap. Saya dan kawan satu kelompok pun menempati rumah milik Ibu Ruwet. Rumah tersebut memiliki beberapa kamar dan ternyata teman sekamar saya tidak hadir sehingga saya pun menempati kamar sendirian.

Suhu udara di luar rumah pada malam hari rupanya sangat dingin. Turun menjadi 21 derajat menurut yang tertera di ponsel dan cukup membuat saya yang tidak tahan dingin dan terbiasa dengan panasnya Jakarta menjadi sangat menggigil. Syukurlah saat sudah membersihkan diri setelah seharian berkegiatan dan masuk ke dalam kamar, ruangan kamar sangat hangat dan bahkan tersedia selimut yang bersih untuk saya.

Malam itu saya tidur dengan sangat pulas sekali dan tidak khawatir menggigil kedinginan. Alhamdulillah bisa menyimpan energi dengan baik untuk esok hari.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

2 thoughts on “Menyambangi Desa Ramah Burung: Desa Jatimulyo, Kulon Progo, Jawa Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top