Wednesday Jul 24, 2024

Mengamati burung di Candi Prambanan dan Desa Ketingan

22 April 2011

Saya menoleh dengan spontan ke arah kicauan burung yang baru saja lewat di atas kepala, mengurungkan niat untuk mengambil gambar peninggalan sejarah di hadapan saya.

Itu gelatik jawa apa bukan sih?? Tanya saya dalam hati.

Saat itu saya sedang berada di Candi Prambanan bersama keluarga. Sejak awal meninggalkan loket, kami sudah disambut oleh matahari yang bersinar sangat galak. Sambil sibuk dengan payung yang diberikan sepupu ibu, sibuk memegang kamera dan dengan terpaksa mengabaikan mengambil gambar kupu-kupu yang sedang terbang rendah, saya menyempatkan diri celingukan sejak kami memasuki area candi. Mencari-cari dan berharap bertemu burung gelatik jawa meski tak tahu wujudnya seperti apa.

Memasuki area Candi

Candi Prambanan, yang masuk di dua wilayah yaitu Kabupaten Sleman, DIY dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, didirikan pada masa kerajaan Mataram abad ke 9 M dan saat ini merupakan bangunan Hindu terbesar di Indonesia. Candi Prambanan pertama kali ditemukan oleh orang Belanda bernama C.A. Lons pada tahun 1733. Namun karena berbagai hal, penelitian lebih lanjut mengenai candi tersebut baru dilakukan pada tahun 1805-1807.

Selain menjadi tempat wisata, Kompleks Candi Prambanan juga bisa menjadi salah satu titik untuk melakukan kegiatan pengamatan burung (birdwatching). Salah satu burung yang bisa dijumpai di tempat itu adalah gelatik jawa (Padda oryzivora).

Candi Prambanan, Hari Bumi, 22 April 2011

“Tapi yang mana burung gelatik jawanya?” tanya saya lagi sambil menaiki tangga.

Candi Prambanan memiliki tiga candi utama yang menjulang tinggi setinggi 47 m, yaitu Candi Brahma, Wisnu, dan Siwa yang semuanya menghadap ke timur.

Usai menaiki tangga berbatu, kami berbelok ke kanan, seringkali berjongkok memperhatikan relief-relief candi sambil berlindung sedikit dari silaunya cahaya matahari. Ternyata benar kata teman saya dulu; jika berkunjung ke candi, lebih enak jika cuaca mendung atau gerimis daripada saat cuaca terik. Dan saya mengakuinya, teringat hujan deras ketika bus kami sampai di halaman parkir Candi Borobudur pada saat study tour SMA 7 tahun yang lalu, dan candi pun dipenuhi dengan payung warna-warni yang disewa semua anak-anak SMA.

Kami terus mengelilingi candi dengan botol air yang isinya semakin menipis karena 1 botol diminum oleh 3 orang yang dehidrasi seolah berada di gurun pasir. Relief-relief yang terdapat di Candi Prambanan dikatakan sangat unik dan artistik. Setiap bingkai pahatannya memiliki cerita. Salah satunya yaitu adanya lambang pohon kalpataru yang hingga kini sering dijadikan lambang lingkungan hidup. Pahatan ini menimbulkan anggapan pada beberapa ahli bahwa pada masa tersebut kearifan lokal mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup sudah kuat tertanam. Relief lain yang terdapat pada deretan bingkai di candi Prambanan yaitu berbagai gambar hewan. Salah satunya yaitu relief burung yang ternyata adalah burung kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea). Hal yang unik adalah karena burung tersebut sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing yang terletak di tengah Laut Jawa dan bukannya di daerah Prambanan.

Relief candi
DSC_1539

Sampai selesai mengeksplorasi semua area candi dan sampai cuaca yang sangat panas dan terik tiba-tiba berubah menjadi gelap dan mendung, saya (sepertinya) hanya melihat burung gereja (Passer montanus). Seluruh keluarga pun memutuskan kembali ke mobil. Sampai waktu akan pulang saya belum juga bertemu dengan gelatik jawa.

Kami pun menuruni undakan berbatu, melangkah meninggalkan candi. Ketika melewati area rumput yang dipenuhi bongkahan-bongkahan batu candi yang tersususun tak rapi, saya berhenti sejenak. Area candi itu masih berantakan karena gempa Mei tahun 2006 lalu. Candi Prambanan memang masih mengalami beberapa kali perbaikan.

Sambil mengambil gambar, mata saya tiba-tiba tertumbuk pada seekor burung yang sedang melompat di atas rerumputan. Secara perlahan, dalam jarak aman, saya mengendap-ngendap mengambil gambar si burung, sambil terus mendekat. Mumu (nama kamera) yang tidak memakai lensa makro atau tambahan alat lain secara otomatis membuat saya harus mendekat jika ingin mengambil foto burung, di mana 90 %nya gagal alias sang burung keburu kabur mendengar saya grasak-grusuk mendekatinya.

Saya mengambil gambar si burung sambil terus mendekat, sampai ia akhirnya terbang karena melihat saya. Ah sudahlah, foto ini juga lumayan. Saya mengamati hasil foto dengan memperbesar gambarnya, lalu mengerutkan kening sambil bertanya dalam hati; paruh pink?

Ternyata ini Gelatik Jawa lho 🙂
Kompleks Candi Prambanan

Sama seperti panas terik yang berubah secara drastis ke mendung, gerimis yang sempat turun pun berganti dengan matahari yang bersinar terik kembali. Meskipun cuaca kembali cerah, kami tetap memutuskan untuk pulang, melanjutkan perjalanan ke Klaten, tempat ayah mertua kakak saya.

Dua lokasi yang menjadi incaran untuk pengamatan burung di Jogja adalah Candi Prambanan dan Desa Ketingan. Namun begitu sampai di rumah sang kakak ipar, saya menyadari bahwa ada bonus untuk saya di hari bumi itu. Rumah, yang saat itu hanya ditempati besan orangtua saya, menghadap ke hamparan sawah, di mana kurang lebih 4 meter di depan sana, sekitar 10-15 burung Kuntul Besar terbang dan mendarat hilir mudik di tengah sawah.

Putih di antara hijau.

DSC_1587

Alat apa yang biasanya muncul dalam situasi ini? Ya! Sama seperti waktu di Lembah Harau. Saya melirik sepeda milik ayah mertua kakak saya itu. Lalu memberanikan diri meminta izin untuk memakainya barang beberapa meter.

Saya menoleh pada Puput, sahabat saya yang ikut dalam trip keluarga ini, dan sepupu-sepupu yang sedang tepar (kelelahan karena cuaca panas tadi sepertinya), menjawab pertanyaan salah satu dari mereka; mau apa saya dengan sepeda itu. “Putar-putar.” Jawab saya.

Saya pun mulai mengayuh ke luar pagar, berbelok ke kiri. Beberapa orang memperhatikan. Jangan ge-er! Mereka memperhatikan karena cara naik sepeda saya yang aneh! Kakinya gak nyampe!

Sampai di pertigaan saya berbelok ke kanan, tak melihat ada 5-7 Kuntul Besar yang berada di sawah tak jauh dari saya. Begitu sepeda yang saya kayuh melewati belokan, mereka langsung tancap gas melarikan diri alias terbaaang! Sontak, saya berhenti (dengan kaki yang turun sambil jinjit-jinjit), lalu meneruskan mengayuh kembali, menelusuri jalan kecil di antara sawah yang sisi-sisinya marak ditumbuhi belukar.

Sebenarnya ingin terus mengayuh sampai ujung jalan, namun saya memutar arah, kembali ke rumah. Beberapa Kuntul kembali mendarat namun dengan jarak yang cukup jauh dari jalan.

Ah, sayang. Kami hanya beberapa jam di sini. Ingin rasanya saya lari-larian di sawah (tanpa lagu india tentunya).

23 April 2011, Senja di Ketingan

Hari berikutnya kami memutuskan pergi ke Parangtritis lebih dulu baru ke Ketingan. Ketingan adalah sebuah desa yang terletak di di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Ia disebut sebagai desa wisata pengamatan burung karena jumlah burung Kuntul dan Blekok yang berada di sana banyak sekali, kabarnya mencapai ribuan. Benarkah?

Waktu pengamatan terbaik adalah pagi hari pukul setengah enam ketika mereka akan berangkat mencari makan dan sore hari pukul lima. Saya memilih waktu sore hari karena tak yakin bisa sampai di Ketingan sepagi itu.

Ternyata lokasinya tak terlalu jauh dari Jogja, hanya 10 km. Dan saat itu kami tempuh sekitar 45 menit. Ditambah jalan raya yang tak macet membuat saya berulang kali merasa ini adalah tempat yang paling menyenangkan.

Kami berbelok di perempatan jalan menuju desa, saya membuka kaca jendela mobil untuk mengambil gambar di gapura dan tidak menaikannya lagi. Hening. Deru kendaraan bermotor semakin menghilang. Semakin masuk ke desa suara jangkrik dan koakan burung semakin terdengar.

Mobil melaju pelan, melewati jalan kecil yang diapit rumah. Satu sampai dua ekor Kuntul Kerbau sesekali melintas di atapnya. Sampai di pertigaan, sejenak kami bingung akan berbelok ke mana, sampai akhirnya memutuskan berbelok ke kiri, lalu menghadapi jalan yang semakin lama semakin sempit. Buntu. Tertutup semak belukar. Saya turun untuk bertanya pada beberapa orang dan seorang bapak menyarankan untuk berbalik arah, kami seharusnya berbelok ke kanan tadi.

Mobil lalu menuju jalan kecil yang ditujukan. Menurut info, titik pengamatan ada di seluruh desa ini, namun menurut bapak yang saya tanya tadi titik terbaik adalah tempat di dekat sawah yang ada pohon-pohon bambu. Kami pun berhenti di satu titik seperti yang disarankan. Mobil berhenti di tepi jalan kecil di mana sebelah kiri adalah pematang sawah dan sebelah kanan jalan adalah beberapa rumah yang letaknya berjauhan dan pohon-pohon-pohon bambu berderet rimbun di belakangnya.

Benar saja. Di setiap pohon bambu itu sekitar 15 burung (beberapa di antaranya adalah Kuntul Kerbau, dan satu lagi saya tak tahu jenisnya), sedang bertengger dan berbunyi nyaring. Saat itu pukul setengah lima, jika waktu pulang adalah pukul lima seperti yang diinfokan, maka yang sekarang sedang bertengger itu mungkin adalah burung kuntul yang masih muda.

Bertengger

Sambil menunggu pukul lima, saya dan Puput berjalan hilir mudik di sawah yang beberapa sisinya ternyata ditanami pohon cabai. Sementara ibu dan ayah saya sedang asyik mengobrol dengan seorang bapak tua, yang baru pulang mencari rumput untuk sapinya, mengenai keberadaan burung di desa itu. Binokuler justru dipegang oleh ibu saya.

Terbang bebas

Ketika sesekali menoleh ke langit, saya mendapati sekelompok burung dari kejauhan yang terbang menuju arah kami. Satu kelompok terdiri dari 3-4 ekor. Yang menarik adalah semakin sore, jumlah dalam satu kelompok semakin bertambah. Terlihat dari jauh mereka beriringan, namun ketika mendekat mereka berpencar dan masing-masing menuju pohon bambu yang berbeda-beda.

Ramai-ramai

Ketika tepat pukul lima, dalam satu kelompok semakin banyak jumlahnya. Saya yang pada waktu pengamatan raptor di Puncak berharap melihat hal serupa seperti ini (namun tak tercapai), akhirnya saat itu bersorak-sorai ketika melihat titik-titik dengan jumlah cukup banyak di langit yang kelabu itu. Semakin mereka mendekat, saya semakin bersorak-sorai. Kagum pada navigasi, cara terbang dan cara mendarat mereka.

Pulang ke sarang

Suara burung semakin membahana di senja hari itu. Setiap saya akan memutuskan untuk naik ke mobil, tiba-tiba ada kelompok burung lagi yang datang dengan jumlah yang lebih banyak.

Pulang ke sarang (1)
Pulang ke sarang (2)

Pukul setengah enam, saya merasa sudah cukup sorak-sorainya, eh maksudnya sudah cukup pengamatannya, maka kami meninggalkan Ketingan yang semakin riuh dengan anak burung dan induknya yang baru pulang ke sarang.

Wangi rumput sesudah hujan kecil tadi, meskipun bercampur dengan bau kotoran burung namun membuat saya enggan menaikkan kaca mobil sampai kami benar-benar melewati gapura dan meninggalkan Ketingan.

Desa wisata pengamatan burung

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top