Mengunjungi Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan Pulau Onrust (tahun 2009)
(Ditulis bulan Juli 2010)
Jakarta, 19 Juli 2009
Saya melangkah dengan mantab, menginjakkan kaki di atas jembatan panggung. Kembali menyusuri rindangnya mangrove di tempat ini sangatlah menyenangkan buat saya. Beberapa bulan lamanya tak datang ke tempat singgah para burung ini ternyata menimbulkan efek kangen. Enam bulan terpaku di depan monitor mengerjakan skripsi dan menghibur diri dengan hanya melakukan pengamatan burung (birdwatching) di belakang rumah ternyata tak cukup.
Meski hutan mangrove ini sewaktu-waktu dipenuhi dengan semerbak “wangi” khas sampah sungai, namun pada saat-saat tertentu saya juga bisa merasakan udara sejuk yang dihasilkan dari pohon-pohon mangrove yang ada di sini. (makanya menghirup nafas dalam-dalamnya jangan deket-deket sungai ya).
Seperti pagi itu ketika malam hari sebelumnya turun hujan, udara sangatlah sejuk ketika saya datang ke kawasan mangrove yang berstatus Suaka Margasatwa ini. Ditambah kicauan burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) seperti yang biasa juga muncul di belakang rumahku, serta bunyi ruwak-ruwaknya Kareo Padi (Amaurornis phoenicurus), membuat saya rasanya mau memecahkan celengan untuk membeli binokuler agar bisa melihatnya dengan jelas. Berada di sini terasa tak seperti berada di Jakarta yang terjebak oleh polusi knalpot kendaraan bermotor dan dikepung hutan beton. Selain karena skripsi yang sudah selesai dan dinyatakan LULUS, hati pun tambah girang manakala mendapat hadiah berupa perjalanan ke Pulau Rambut hari itu!
Oalaaah…! Baru saja semalam menginjakkan kaki di Jakarta dari Surabaya, setelah sebelumnya berada di Tulung Agung untuk menjenguk saudara yang sedang sakit, sekarang diberikan kesempatan untuk menjejakkan kaki di Pulau Rambut. Senang sekali rasanya!!
Dua orang nahkoda kapal yang sehari-hari adalah nelayan memberi tahu bahwa kapal yang kami sewa sudah siap untuk berangkat. Total penumpang adalah 16 orang yang merupakan suatu komunitas ditambah satu keluarga (terdiri dari ayah, ibu, dan ketiga anaknya yang duduk di TK dan kelas 1 SD).
Semua menaiki kapal dengan membaca doa terlebih dulu dan memasang wajah gembira!! Wajah sangat sumringah itu bisa ditemukan pada sekitar 4 orang anak usia TK dan SD yang ikut dalam rombongan kami dan [tentu saja] juga pada wajah saya.
Jika tak ingat sedang menyusuri kali angke yang penuh sampah itu, rasanya saya ingin berdiri di buritan kapal, memasang senyum paling anggun, merentangkan tangan sambil menaburkan potongan-potongan kecil buah pidada merah (Sonneratia caseolaris) ke sungai, dan melambaikan tangan pada monyet-monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang melompat di pohon-pohon nipah di tepian. Namun niat itu saya urungkan, khawatir ada monyet ekor panjang yang tersinggung karena merasa pidada merah buah kesukaannya direbut oleh saya.
Baca juga tentang Mangrove Angke
Semua penumpang wajib mengenakan life-jacket atau baju pelampung selama perjalanan mengarungi lautan dan hanya boleh dilepaskan setelah menginjak daratan. Cuaca pagi itu cukup cerah. Namun aroma sampah yang sampai ke hidung kami membuat kami terkadang harus menutup hidung dan menahan nafas.
Selama sekitar 30 menit menyusuri sungai, menanti pertemuan antara sungai dan laut, kami disuguhi dengan hitamnya kali Angke dan sampah-sampah yang bertebaran di sana-sini. Di sisi kiri kami terlihat beberapa burung Kuntul besar (Egretta alba) yang sedang hinggap di atas pohon. Tak jauh dari situ adalah Cangak Abu (Ardea cinerea) yang sedang mencari makan.
Menjelang pertemuan dengan laut, perahu kami melewati sebuah tumpukan sampah, yang biasa disebut dengan Pulau Sampah, oleh teman-teman. Begitu banyak dan luar biasa padatnya sampah itu sehingga ia mampet, mengumpul seolah menjadi daratan, dan luar biasa banyak dan padatnya sampah itu sampai-sampai kita bisa berdiri di atas pulau sampah tersebut tanpa terjatuh ke air.
Mau tak mau hal-hal tersebut membuat kami berpikir ulang dan mempertimbangkan lagi untuk menggunakan barang-barang yang sulit hancur yang tergolong sebagai sampah utama dan paling banyak di muara 13 sungai ini.
Perahu pun sekarang meluncur dengan semakin mulus menuju laut. Sang ayah mulai merasakan esensi mabok laut sementara ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu tertawa-tawa sambil memandang ke sana ke mari menikmati perjalanannya naik perahu. Di bagian belakang terlihat Mbak Ghali dan anaknya, Aca, yang sedang ngobrol serius sambil membahas kamera miliknya. Saya yang memilih duduk di bagian paling depan duduk santai dan mencoba berpikir burung macam apa saja yang nanti akan kutemui. Mas Ichay membuka berbagai macam kotak makanan berisi tahu isi, lontong, pisang goreng, serta botol-botol jus buah yang langsung diserbu oleh peserta lain.
Semakin lama semakin menjauhi teluk Jakarta maka semakin jernih air laut itu. Kami berjumpa dengan nelayan yang sedang memancing pada bagan-bagan di tengah laut.
Di bagan-bagan lain tonggak-tonggaknya dipenuhi dengan kawanan burung air yang kurasa mungkin Pecuk Padi Hitam (Phalacrocorax sulcirostris). Meski sebenarnya saya tak yakin apakah namanya benar. Maklum lah, masih amatiran menggunakan binokuler, serta memegang kamera saku yang hanya bisa zoom beberapa kali membuat saya mau tak mau hanya mengandalkan mata telanjang untuk mengidentifikasi burung-burung tersebut. Itupun masih keliru dan belum bisa membedakan antara burung satu dan lainnya.
Namun esensi dari perjalanan ini sesungguhnya dimulai ketika seekor Pecuk Ular Asia (Anhinga melanogaster), kali ini saya yakin namanya benar karena itu adalah burung favorit saya, terbang rendah lalu menukik tajam ke arah permukaan laut. Dan secepat kilat terbang lagi.
Ahooiii! Rupanya ia melakukan gerakan menyambar ikan!!
Selama ini gerakan itu hanya bisa kulihat di televisi. Yaitu di film-film dokumenter tentang kehidupan hewan-hewan yang biasa ditonton ayahku. Tapi kali ini saya melihat sendiri sebuah kegiatan kecil dalam satu rantai makanan tepat di depan mata!
Belum lagi saya mengatupkan mulut karena takjub, teman yang lain sudah berseru lagi. “Pecuk di sebelah kanan tuh!”. Dan kali ini burung dengan jenis yang sama itu pun menukik untuk menyambar ikan lagi.
“Wow..” saya takjub dan melongo. Ternyata begini ya proses sebuah ekosistem itu. Pantas saja para ahli lingkungan sering kelimpungan manakala ada salah satu pendukung ekosistem yang terancam punah. Satu hilang, semua bisa berantakan.
“Itu Pulau Kelor.” Mbak Putri, menjelaskan sebuah pulau yang terlihat di sisi kanan kami. Kecil sekali karena keseluruhan pulaunya terlihat jelas. Terlihat dari jauh hanya ada pasir, sebuah benteng kecil, dan beberapa pohon besar yang daunnya jarang. Sudah itu saja. Tidak ada apa-apa lagi.
Perahu terus melaju dan akhirnya mengarah pada salah satu pulau.
“Kita ke pulau Onrust dulu.” Tanpa diminta salah satu nahkoda kapal menjelaskan ketika kapal mulai merapat.
Onrust yang dalam bahasa Inggris dari kata “Un-rest” dahulu merupakan salah satu pulau yang menjadi salah satu bagian penting dari kehidupan pada masa itu.
Rupanya lokasi pulau ini sepertinya dinilai cukup strategis. Pada masa penjajahan Belanda dulu, pulau ini dijadikan tempat untuk membangun dermaga dan galangan kapal untuk memperbaiki kapal-kapal milik VOC. Keadaannya mungkin sangat sibuk sehingga dikatakan “tidak istirahat” (unrest). Pada tahun 1911 pulau ini diperuntukkan menjadi karantina haji. Barak-barak karantina haji pun dibangun.
Peristiwa sejarah ini bisa kita lihat dari tulisan yang ada di batu besar di Pulau Onrust yang di bawahnya bertuliskan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta.
Di salah satu rumah yang berdebu yang dahulu katanya milik seorang dokter diletakkan berbagai macam peninggalan Belanda. Kita bisa masuk ke dalamnya dan melihat barang-barang peninggalan seperti bahan-bahan bangunan yang pernah digunakan pada zaman dulu, pecahan-pecahan mangkuk, dan maket bangunan yang pernah ada di pulau ini.
Ketika berkeliling pulau, kita juga bisa menjumpai makam-makam Belanda, dan sisa-sisa barak-barak ketika karantina haji. Pada umumnya tembok-tembok bangunan lama tersebut sudah runtuh dan hanya bersisa beberapa sentimeter saja dari permukaan tanah.
Setelah sekitar satu jam berkeliling di Pulau Onrust, kami pun menuju Pulau Untung Jawa untuk makan siang. Pulau Untung Jawa sepertinya menjadi favorit liburan masyarakat ketika itu, karena ramai sekali! Setelah kenyang, barulah kami menuju tujuan utama kami yaitu Pulau Rambut, yang terletak tak jauh dari Pulau Untung Jawa, yang merupakan pulau tak berpenghuni.
Status Pulau Rambut dinaikkan menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1999. Pulau ini seolah seperti surga bagi para burung. Kabarnya ada lebih dari 10.000 burung yang hidup dan berkembang biak di sini.
Setelah mengisi-ulang botol dengan air minum, kami mulai masuk lebih dalam ke pulau. (Mungkin) untuk memudahkan peneliti atau mungkin turis lokal macam kami, di pulau ini sudah dibuat semacam jalan setapak untuk masuk ke areal hutan.
Meski tentu saja terkadang ada pohon besar yang melintang di tengah jalan, namun jalan setapak ini cukup memudahkan agar kami bisa tahu ke arah mana kami harus melangkah. Selain itu juga terdapat papan petunjuk arah menuju menara ataukah menuju tempat di mana terdapat ular cincin mas.
Kami pun berbelok ke kanan menuju menara. Di tanah yang kami lalui seringkali tergeletak beberapa pecahan-pecahan kulit telur burung yang sudah menetas. Dan binokuler pun sudah tak menjadi rebutan karena kami hanya tinggal mendongakkan kepala ke pepohonan-pepohonan yang berada di atas kami untuk melihat burung-burung yang sedang bertelur di sarangnya.
Dan seruan girang sama sekali tak disarankan di sini karena hanya akan membuat mereka terbang. (Deeuh norak banget yah saya.. maklum deh, jarang keluar masuk hutan -_-)
Jika kita memperhatikan beberapa pohon dengan seksama, akan terlihat guratan-guratan yang dihasilkan dari cengkraman biawak ketika ia naik ke atas pohon. Namun sayang, saya hanya menemukan jejaknya itu.
Kami pun kembali menyusuri jalan setapak dan sampai di depan menara setinggi kira-kira 15 meter. Satu demi satu kami menaiki tangga menuju puncak menara. Semakin ke atas angin terasa makin kencang bertiup. Dan begitu kami tiba di atas menara, hempasan angin terasa sangat kuat, sampai membuat saya merasa harus berpegangan erat pada pagar pembatas supaya tidak terbang terbawa angin.
Saya melebarkan pandangan 360 derajat. Dari atas menara ini seluruh pulau rambut bisa terlihat. Dan saat itu ada burung Kuntul dalam jumlah cukup banyak yang terlihat sedang bertengger di atas pohon (sayang tak semua tertangkap kamera).
Dari sinilah baru benar-benar terasa bahwa Pulau Rambut memang pantas disebut sebagai surga kerajaan burung.
Binokuler kembali menjadi rebutan. Dan salah satu dari kami pun sibuk memasang monokuler yang hanya satu-satunya. Kuntul, Pecuk Ular, Cangak Abu, serta puluhan kalong yang sedang tidur di salah satu pohon menjadi target intipan binokuler dan monokuler kami.
Tak lama kemudian tiba-tiba semua burung yang sedang bertengger di salah satu pohon terbang secara serempak. Pontang-panting seolah menyelamatkan diri. Langit biru dengan latar belakang laut biru pun dihiasi dengan sekawanan burung yang terbang kocar-kacir secara bersamaan. Menurut Mbak Putri peristiwa itu terjadi karena biawak yang naik ke atas pohon untuk berburu makanan, mengincar burung yang lengah.
Lelah dan bosan karena tak kebagian alat bantu melihat jarak jauh, beberapa dari kami pun mendudukkan diri. Menikmati sebuah ekosistem yang terhampar dengan luasnya di depan mata. Angin yang bertiup semakin membuat mengantuk.
Tiba-tiba salah satu dari kami bergegas berdiri dan berseru girang: “Elang perut putih!!” sambil menunjuk sesuatu yang baru saja lewat dekat sekali dengannya! Terbang melintas dekat sekali dengan menara kami.
“Mana…mana??” (lagi-lagi binokuler dan monokuler jadi rebutan).
“Eh..! dia balik lagi…!!!!” teman kami pun menunjuk ke arah kanan. Kami menoleh dan mendapati seekor elang perut putih sedang terbang menuju kami sambil membawa sesuatu di paruhnya. Ketika ia melintas dekat sekali dengan kami yang heboh akan keberadaanya, kami baru tahu bahwa benda yang dibawanya adalah sebuah ranting!
Pastinya ia sedang membangun sarang!
Arah monokuler pun diputar, berubah-ubah mencoba mencari ke mana arah terbangnya tadi. Dan kami pun kagum ketika ia dengan anggunnya sedang hinggap di puncak sebuah pohon tinggi dengan sarang yang baru saja selesai ia bangun. Rupanya tadi adalah ranting terakhir yang ia kumpulkan. Ah.. kecewa saya, mengira mungkin ia akan kembali melintas di depan menara selama beberapa kali karena mengumpulkan ranting, namun ternyata ranting yang dibawanya tadi adalah ranting terakhirnya.
Kami menanti apakah ia akan terbang lagi ke arah kami. Namun berulang kali kami mengintipnya, ternyata ia tetap berada di sarangnya dengan pose yang sangat manis. Tak ada tanda-tanda akan terbang kembali. Hati tambah kecewa manakala berulang kali saya mencoba mengambil fotonya dengan kamera (sebisa mungkin jarak jauhnya diperkecil) yang ditumpuk dengan monokuler, namun tak berhasil.
Hari mulai beranjak dari siang menuju sore. Kami harus bergegas kembali ke kapal. Peralatan pun dibereskan dan kami turun dari menara menuju titik depan pulau, meninggalkan Pulau Rambut, surga bagi para burung yang keberadaannya terancam karena banyaknya sampah-sampah di Teluk Jakarta.
Semakin menjauhi pulau, ombak semakin lama semakin besar. Membuat perahu oleng ke kanan dan ke kiri. Cipratan air laut membasahi hampir semua penumpang. Saya berpegangan erat pada bangku kapal. Tapi mau tak mau lama-lama melepaskan cengkraman untuk mengeluarkan kamera dari tas, berusaha mengabadikan sunset di depan mata. Matahari mulai siap-siap mengakhiri tugasnya.
Ini masih di seputaran wilayah Jakarta yang katanya penuh dengan polusi dan dikepung hutan beton. Namun di pesisirnya masih ada hutan mangrove tempat para burung air bertengger, dan jika berlayar lebih ke tengah lagi maka dalam perjalanan pulang siluet sunsetnya bisa terlihat lebih indah. Bahkan tergolong mengagumkan ketika ia terlihat menyembul di antara hutan mangrove.
Pulau Onrust yang tak berpenghuni namun menyimpan banyak sejarah, serta pulau rambut sebagai surga kerajaan burung beranak-pinak hari itu memberi banyak pelajaran untuk saya.
Perjalanan mengenal ekosistem ciptaanNya melalui dua pulau dengan bertolak dari hutan mangrove Jakarta hari itu selesai saya arungi. Beban skripsi dan sidang pun terlepas semuanya.
Catatan:
Suaka Margasatwa Muara Angke dan Suaka Margasatwa Pulau rambut termasuk ke dalam daerah konservasi. Sehingga untuk masuk (terutama ke Pulau Rambut) kita harus membuat surat izin dulu di BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) DKI Jakarta. (Daripada sudah jauh-jauh, mabuk laut pula, lalu disuruh pulang karena tak bawa surat!)
Pulau rambut terletak di sebelah Pulau Untung Jawa yang berpenghuni, jika ingin makan siang ada warung-warung makanan di Pulau ini yang bisa anda kunjungi.
Berhubung pada waktu itu sebagai hadiah lulus saya diajak secara gratis, maka biaya sewa perahu saya tidak tahu secara pasti hehe. Kalau nggak salah sih satu juta rupiah. Tapi kalo nggak salah yah.
Perjalanan Muara Angke sampai Pulau rambut sekitar 1 jam. Namun ombak besar ketika sore hari dalam perjalanan pulang membuat perahu melaju selama hampir 2 jam untuk sampai kembali ke Suaka Margasatwa Muara Angke.
Semua foto diambil oleh saya, kecuali foto terakhir diambil oleh Mbak Febri.
Terima kasih kepada kawan-kawan relawan sudah mengajak saya dan juga sebagai kawan seperjalanan 🙂