Wednesday Jul 24, 2024

Seumpama negeri di atas awan (catatan perjalanan tahun 2008)

*Ditulis pertama kali tahun 2011

Agak sulit menuliskan perjalanan ini, selain karena sudah tiga tahun berlalu, juga karena sejuta perasaan yang tumpah ruah baik sebelum dan terutama selama perjalanan berlangsung. Saya bahkan tak ingat bagaimana kondisi jalan menuju air terjun Coban Rondo. Hehe.

28 November 2008

Baru saja dua hari yang lalu saya melalui hari seminar pra skripsi dengan segala carut marutnya. Ah, kenapa ya susah sekali untuk berbicara di depan orang banyak. Presentasi itu rasanya sama berantakannya dengan barang-barang yang dimasukan ke dalam backpack dengan tak menentu. Begitu tersadar dari lamunan, saya menatap si biru yang menjendul di sana sini, kemudian berseru: “Packing macam apa ini??!!”

si-biru

Malang adalah tujuan saya dan ibu. Ini sesungguhnya adalah perjalanan ibu dan rombongan ibu-ibu sekitar rumah, namun diperbolehkan mengajak anggota keluarga selama kapasitas masih memadai. Kecuali ketika mudik, jarang-jarang saya bisa wisata bareng ibu sejauh ini, maka tentu saja saya menyanggupi, toh seminar pra skripsi sudah lewat dan biayanya ditanggung bapak hehe. Setelah packing ulang dan memastikan barang yang diperlukan selama perjalanan sudah masuk ke dalam tas, kami berangkat menuju Stasiun Gambir. Setidaknya ada sekitar 20 orang ibu dalam rombongan ini, di mana 80%nya membawa koper besar-besar.

Saat itu sepertinya adalah saat peak-season, terlihat dari stasiun Gambir yang cukup ramai dipadati calon penumpang. Saya meletakkan si-biru di bawah, mengistirahatkan tulang punggung yang mulai nyeri, sambil celingukan sana-sini. Anggota rombongan pun masih belum sepenuhnya berkumpul di peron. Kereta tujuan Malang kami akan datang sekitar pukul 17.30.

Saya bolak-balik melirik hp dengan suasana hati tak karuan. Inikah yang dirasakannya setiap akan meninggalkan Jakarta? Kagum dengan perjalanan yang akan ditempuh, deg-degan menanti apa saja yang akan ditemui, riang karena akan memulai satu langkah untuk menjelajah, namun gamang meninggalkan kota di mana satu sosok berada di sana.

“Hayuk, siap-siap de!” Bu Ida, yang tinggal di ujung perumahan, menyenggol saya. Saya menoleh dan mendapati anggota rombongan sudah komplit seluruhnya. Beberapa detik kemudian terdengar pengumuman bahwa kereta kami akan datang dalam waktu beberapa menit lagi.

“Jangan berebutan naiknya.” Bisik ibu, mengingatkan saya untuk tidak bersikap layaknya penumpang yang sangat tak sabar mudik karena terbayang sapinya di kampung yang belum diberi makan 5 bulan.

Kereta datang, berjalan perlahan di depan kami namun belum berhenti sepenuhnya. Beberapa menit kemudian petugas kereta mempersilahkan penumpang untuk masuk sambil menginformasikan nomor gerbong kereta tempatnya berada. Beberapa penumpang berebut ingin naik lebih dulu, yang kemudian mendapat omelan dari penumpang lain karena menginjak kaki mereka.

Sabar adalah kunci dari segala antrian.

Kami masuk ke gerbong kira-kira 15 menit kemudian. Saya melewati kursi-kursi kereta yang bersih dan terawat, sambil mencari tempat duduk kami. Para penumpang yang lewat berpapasan membuat kami memiringkan badan agar tak tersenggol koper besarnya. Ketika sampai pada tempat duduk kami, saya melirik pada stop kontak yang terpasang di sisi dindingnya. Berpikir untuk tak perlu repot seperti waktu kami mudik dengan mobil jika hape atau kamera lowbat. Jika tak pergi bersama rombongan ibu, rasanya tak mungkin saya naik kereta ini.

29 November 2008 04.30

Bukan alunan kereta yang bergoyang-goyang yang membuat tidur saya tak nyenyak, namun AC yang luar biasa dingin lah yang membangunkan saya nyaris setiap dua jam. Selimut yang menjadi bagian dari layanan kereta cukup untuk menghalangi saya dari terjangan AC namun sama sekali tak cukup untuk menghangatkan. Saya terbangun kembali dan meremas hidung yang mulai berair karena kedinginan, lalu bersin. Di luar jendela seluruhnya gelap, tak terlihat apa-apa.

Jepreet!!

Tiba-tiba lampu dalam kereta mati. Saya meyakinkan diri bahwa tadi kami sudah beli tiket, sehingga tak ada pemadaman lampu dengan alasan kereta ditumpangi penumpang-gelap. Beberapa menit berlalu, tetap tak ada penerangan apa-apa dalam gerbong. Saya mengangkat bahu lalu menoleh ke luar jendela.

Oh my…

Meski gelap, namun sekarang bisa terlihat jelas siluet sebuah lekukan, jauh di luar sana. Lekukan sebuah gunung yang berdiri tegak di tengah keheningan subuh, bercengkrama dengan semilir angin di luar kereta. Seiring kereta yang berjalan, lekukan itu seolah tak menjauh. Berjalan beriringan dengan laju kereta. Dan di atasnya, magnet sesungguhnya itu ada di atasnya, taburan puluhan bintang menarik saya. Berserakan memilih tempat terbaik untuk membentuk sebuah gugusan yang berkilauan. Menganggukkan diri pada saya yang saat itu berpikir tentang sebuah perahu di tengah laut yang terombang-ambing di antara ombak, nahkodanya mengatur kemudi, ia tak berseragam gagah, hanya celana pendek dan baju lusuh, rambutnya tersapu angin, wajahnya basah terkena cipratan air laut, raut mukanya lelah sehabis menerjang badai beberapa waktu lalu, namun di sana, di wajah itu tersirat sebuah nada optimis, sambil sesekali ia menatap langit untuk terus mempelajari navigasi dari rasi bintang.

Jepreet!!

Lampu dalam gerbong menyala kembali. Detik itu juga bintang-bintang dan siluet di luar menghilang. Bisakah lampunya dimatikan lagi? Pinta saya dalam hati.

Seringkali gemerlap cahaya di sekitar, membuat kita tak bisa melihat lebih jauh cahaya lain dari sisi kehidupan nun jauh di sana.

Saya melirik jam di ponsel. Sebentar lagi adzan subuh. Sudah hampir 10 jam kami menempuh perjalanan darat. Perkiraan kami akan tiba di Malang pukul 10 pagi nanti. Saya kembali melirik hp. Mengetik pesan pendek namun kemudian berhenti. Sedetik kemudian menghapus kembali semua kata-kata yang sudah diketik di antara goyangan kereta, menarik selimut, dan tidur kembali.

10.30

Udara yang berbeda, suasana yang berbeda. Saya menghela nafas lega begitu kami menginjakkan kaki di stasiun Malang. Menegakkan tulang punggung yang menjerit karena terlalu lama duduk. Dari sini kami akan menuju Coban Rondo terlebih dulu dengan bus yang sudah dipesan selama kami di Malang. Dalam situasi tak mandi seperti ini, anggota rombongan yang membawa koper besar menyesali barang bawaannya yang berlebihan.

Coban Rondo merupakan sebuah air terjun yang terletak di Desa Pandansari, Kecamatan Pujon. Jalan masuk menuju kawasan ini tak sulit. Menyusuri jalan setapak menuju air terjun yang tak terlalu jauh dari tempat parkir, kami seringkali menjumpai monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang terbagi menjadi berbagai kelompok.

Menurut cerita, air terjun terindah di daerah Jawa Timur adalah Madakaripura, namun Coban Rondo tetap layak untuk dikunjungi.

Puas bermain air, kami menuju daerah wisata agro petik apel di Kota Batu. Kota yang luar biasa sejuk dengan langitnya yang bersih ini memang banyak menawarkan wisata agro memetik apel langsung dari pohon.

Tarifnya berkisar mulai dari Rp 20.000,00. Tergantung dari fasilitas yang ingin didapatkan. Menunduk-nunduk di antara pepohonan apel yang berderet rapi, para ibu mempraktekkan cara memetik apel seperti yang sudah dijelaskan oleh pemandu; memelintir apel ke satu sisi sampai putus dari tangkainya. Beberapa ibu menyempatkan diri untuk memanjat pohon apel dan berusaha menjangkau buah yang cukup tinggi dari tanah.

Wisata agro petik apel

Pulang dengan buah apel di tangan, kami bergegas menuju penginapan yang masih berada di Kota Malang. Mengistirahatkan diri sejenak (dan tentu saja mandi) agar malam nanti bisa bersiap untuk tujuan utama kami yaitu melihat matahari terbit. Jadwal berkata kami akan berangkat dari tempat penginapan pukul 12.00 tengah malam seperti Cinderella yang harus cepat pulang dari pesta.

23.00

Rasanya saya baru sebentar memejamkan mata, tiba-tiba ibu sudah membangunkan saya. Dengan riuhnya menyuruh saya berganti pakaian, mewanti-wanti jangan sampai jadi orang yang paling telat sampai membuat semua anggota rombongan menunggu. Mengingat kami akan berada di tengah kepungan bukit dan gunung pada dini hari nanti, saya mempersiapkan semua pakaian yang bisa menghangatkan dengan sebaik-baiknya. Dua jaket, satu kaus kaki tebal, syal, dan tentu saja sarung tangan yang baru kami beli beberapa hari sebelumnya.

Satu jam kemudian kami sudah siap, saya menyeret tas ke pintu, sementara ibu membukanya. Bersiap berangkat.

Lalu hening. Lorong penginapan kami kosong. Tak ada kegiatan ibu-ibu mondar-mandir di sana, tak ada yang sedang menyeret koper, tak ada yang asik merumpi.

“Kok sepi?” tanya ibu heran sambil menatap saya. Alisnya bertaut, wajahnya menunjukkan raut wajah yang seolah berkata; kenapa semua orang tak sesuai jadwal? Saya mengangkat bahu. “Kita tunggu lima belas menit lagi deh.” Ajaknya, menggeret koper kembali ke dalam kamar sambil menggumamkan sesuatu tentang kebiasaan orang-orang negeri ini. Saya garuk-garuk kepala, namun diam saja. Menyahutinya akan berakibat menambah rentetan kalimat dari mulutnya.

Lima belas menit berlalu, ibu bolak-balik membuka pintu tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di lorong. Semuanya senyap. Jaket yang sudah kami kenakan dilepas satu persatu, begitu juga dengan syal. Lama-lama jadi panas.

Ibu bergegas ke kamar di depan kami, mengetuknya cukup lama. Pintu terbuka dan seorang ibu dengan mata yang masih setengah terpejam, rambut awut-awutan, dan mulut yang menguap, hadir di depan beliau. Setelah berbicara selama beberapa menit, ibu balik ke kamar kami, gusar akan sikap yang lain, lalu mengajak saya ke lobi. Ternyata di lobi sudah ada salah satu bapak tetangga kami yang juga gelisah dengan hampir semua anggota yang belum bangun.

Dua puluh menit kemudian, lorong penginapan baru hiruk pikuk dengan ibu-ibu yang menyeret tas koper. Semua tas kemudian dimasukkan ke dalam bis, absen dimulai, dan ternyata masih ada satu orang lagi yang belum hadir. Rupanya remaja ini, Agi, semalam habis menonton bola, handphonenya tak kunjung diangkat, dan kamarnya pun diketuk tak kunjung dibuka. Lama sudah kami menunggu.

“Ingat kan? Jangan pernah jadi orang yang paling telat sampai harus ditunggu satu rombongan.” Pesan ibu berulang-ulang pada saya lagi. Saya hanya mengangguk-angguk.

Pukul satu lewat 10 menit, Agi baru bangun. Ia mengucap maaf berkali-kali pada semuanya. Bus pun mulai melaju menuju Kecamatan Ngadisari, Probolinggo. Selama di perjalanan saya merasa bus melaju cukup kencang, entah karena sang sopir terbiasa membawa bus dengan kecepatan seperti itu atau ia juga berpikir takut ketinggalan matahari terbit? Apa jadinya bila kami tak keburu melihat sunrise? Konyol sekali jika tujuan utama kami tak tercapai hanya karena alasan; “tak bisa melihatnya karena salah satu dari kami kesiangan.”

Saya menguap dan, dengan mata yang lelah, baru tersadar bahwa seharian ini baru tidur dua jam. Kaca jendela yang sedikit basah menarik saya untuk menyentuhnya. Rupanya tetesan dari AC yang sedikit bocor. Usai mengusapnya, saya menyandarkan kepala di sana, namun langsung menariknya kembali karena terantuk-antuk kaca akibat laju bus yang cepat. Pasrah saja lah. Jika ditakdirkan bertemu dengan matahari terbit di Bromo maka kami akan melihatnya. Jika tidak, mungkin memang belum waktunya.

Setelah sekitar setengah jam tertidur, pemandangan di luar masih berupa rumah-rumah penduduk dan belum ada tanda-tanda menanjaki bukit ataupun pegunungan. Kembali kecewa karena tak ada sama sekali bintang yang terlihat, saya berniat tidur lagi, dan baru terbangun sekitar satu jam kemudian ketika bus mencoba berhenti mendadak. Saya mengarahkan pandangan keluar. Gelap dan tertutup banyak kabut, namun masih bisa terlihat sedikit bahwa kami sedang menanjak berkelok-kelok melewati jurang menuju dataran tinggi –yang kuduga pastilah menuju Bromo.

Kantuk pun hilang seketika. Kabut berkeliaran menghantui kami di luar sana, dan semakin menanjak udara semakin dingin. Saya merogoh sarung tangan yang disimpan dalam saku, bergegas memakainya. Perang melawan dingin dimulai.

Sekarang semua penghuni bus terjaga, selain karena menyadari bahwa tujuan semakin dekat, sepertinya mereka juga sadar bahwa perjalanan menanjak ini cukup berbahaya mengingat kelok-kelok jalan yang sempit sekali dibandingkan ukuran bus yang cukup besar dengan jurang di sisi kanan dan kiri jalan.

Saya bisa menyadari bahwa setiap bus ini mencoba berbelok dan menanjak, semua orang menahan nafas dan ketika bus berhasil melewatinya, semua langsung menghela nafas lega. Begitu seterusnya.

Mencoba tak berpikir seberapa dalam jurang di sisi-sisi kami, saya pun memandang ke bukit di atas sana, menyadari bahwa inilah untuk pertama kalinya saya akan melihat sunrise, menyadari bahwa saat inilah jarak tempuh terjauh saya.

Saya memandang bukit-bukit di depan sana dengan gugup dan tangan berkeringat. Mencoba berpikir apakah dia atau teman-teman pecinta alamnya yang lain juga gugup setiap kali hendak mendaki gunung? Terutama ketika waktu mereka mendaki untuk pertama kalinya?

Perjalanan kami berbeda. Saya tak menerabas hutan seperti mereka, tak memegang kayu atau juga walking pole ketika mendaki. Saya tak seperti dia dan teman-temannya yang benar-benar berjalan kaki mulai dari kaki gunung sampai atas puncak. Tapi toh tetap saja, saya merasakan sensasi aneh dalam perut ini. Rasanya seperti waktu akan pergi bersamanya untuk pertama kalinya.

Saya mendongak ke langit… Sedetik kemudian mata ini seolah akan meloncat keluar dari orbitnya melihat apa yang ada di atas sana! Mulut saya menganga, udara yang semakin dingin membuat saya harus bisa mengatur nafas dengan baik agar tak sesak nafas, tapi apa yang sedang saya lihat benar-benar membuat terpana sampai lupa mengatur nafas dengan baik!

Saya memejamkan mata dan membuka lagi, tapi apa yang ada di langit tak berubah! Saya menutup mata dengan tangan yang terbungkus sarung tangan abu-abu, merasakan lembutnya sarung tangan itu, ketika membuka mata kembali, langit di atas sana juga tetap tak berubah. Saya menoleh dan menatap ibu yang masih tertidur, lalu kembali menatap langit, mulut ini masih ternganga saking tak percayanya.

Ribuan bintang terbentang di langit di atas sana, bercengkerama dengan Sang Pencipta. Saya menduga mereka tersebar dari segala penjuru mata angin saking banyaknya. Mulai dari barat, utara, timur, dan selatan. Tak ada langit yang tak tertutup bintang! Dan saya meralat ucapan saya barusan, mungkin bukan ribuan bintang tetapi jutaan!

Saya menempelkan kepala pada kaca jendela, mencubit lengan, dan yakin ini bukan mimpi. Tenggorokan ini tercekat saking harunya. Belum pernah saya melihat bintang sebanyak ini. Pantas saja dia pun berkata seperti tersihir waktu berada di puncak Pangrango dan menatap langit. Ia yang tak sebegitu sukanya pada bintang saja sampai terpana.

Terakhir saya melihat bintang yang jumlahnya banyak sekali adalah ketika Idul Fitri 9 tahun yang lalu di kampung nenek. Rindu sekali rasanya. Dan waktu itu pun tak sebanyak ini. Bertahun-tahun lamanya, di halaman belakang rumah, sambil menatap langit, saya terus menanti kemunculannya, tapi tak pernah ada. Terlalu banyak lampu memenuhi Jakarta, ditambah lagi dengan polusi. Paling banyak hanya sekitar tiga puluh-an.

Ada kebahagiaan tersendiri ketika menatap mereka. Muncul kembali bayangan sebuah perahu di tengah laut yang terombang-ambing, sementara nahkodanya mengatur kemudi sambil berpegangan pada navigasi rasi bintang. Bayangan dalam benak pun berganti dengan satu sosok. Berkulit hitam, menaiki sepeda tanpa memakai alas kaki, menyelipkan satu buku dan satu pensil di saku celananya, bersiap mengayuh jarak sejauh delapan puluh kilometer untuk pergi ke sekolah.

Satu sosok yang menghimpit saya ke sudut ruangan. Satu sosok bernama Lintang.

Udara semakin lama semakin dingin, saya tak tahu berapa lama lagi kami sampai Ngadisari untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan mobil four wheel drive. Saya tak tahu, yang saya tahu adalah saya terus tersihir menatap jutaan bintang itu selagi kami melaju.

Bus berhenti, pintu dibuka dan udara yang sangat dingin berebutan menyerbu masuk, memenuhi setiap celah dalam bus. Kami telah sampai. Setelah turun dari bus satu per satu, beberapa ibu menyerbu toilet yang terletak tak jauh dari lokasi parkir.

Udara dingin yang belum pernah dirasakan selama ini mengelilingi saya. Saya merapatkan jaket dua lapis, merapatkan sarung tangan dan kaos kaki. Sayangnya rasa dingin ini tak mau berkompromi dengan semua alat penghangat itu. Saya mulai melompat-lompat untuk menghasilkan panas dalam tubuh, setelah beberapa kali kemudian berhenti karena itu konyol sekali, sama sekali tidak berpengaruh, lutut ini malah ikut gemetar saking dinginnya. Saat itu rasanya mau berteriak; “ACCIO SELIMUT!”, meneriakkan Mantra-Panggil pada selimut tebal di rumah.

Setelah selesai urusan sewa menyewa jeep, setengah jam kemudian kami naik. Satu jeep untuk tujuh penumpang (delapan plus supir). Satu duduk di depan dan enam duduk di belakang berhadap-hadapan. Duduk berhimpitan dengan ibu-ibu yang tubuhnya padat berisi membuat saya lumayan merasa hangat. Namun mereka justru kasihan pada saya yang terdesak ke kaca belakang.

Jeep menderu dengan gagahnya. Beberapa kilometer dilalui kami masih melewati perumahan dan penginapan. Mereka yang masih terjaga sibuk beraktivitas di luar penginapan. Ada satu rombongan dengan jenis motor yang serupa, ada juga yang sedang berbincang sambil minum teh dan kopi di warung-warung milik penduduk. Beberapa meter kemudian keadaan di luar sunyi dan gelap sekali sehingga saya nyaris tak bisa melihat apa-apa, hanya siluet bukit dan pegunungan, lalu siluet seseorang yang memikul sesuatu (seperti penjual bakso pikulan dan semacamnya), sesekali sosok yang berjalan, dan juga seseorang yang menaiki kuda sambil membawa senter.

Jeep melewati jalan berpasir. Membuat jejak-jejak roda di sana. Di dekat kami ada sebuah lekukan gunung. Saya mencoba menebak siluet yang berbentuk jelas sekali di hadapan saya itu. Tak mungkin Mahameru kan?

Mobil besar ini melaju menanjak, menyudahi jalur pasir dan mengawali jalan beraspal kembali, udara kembali membuat kulit terasa beku. Harum kabut bisa tercium dari sini. Sambil menutup mata, mencoba menebak apa saja yang akan terlihat nanti, namun kemudian saya menyerah, tak bisa menebak apa-apa kecuali bahwa kami akan melihat matahari terbit. Nusantara ini terlalu misteri untuk ditebak. Setiap sudutnya menyimpan keelokan yang berbeda.

Langit semakin terang. Tersisa sedikit bintang. Mungkin sekitar pukul 04.20 dini hari saat ini. Jeep terus menderu melewati bukit naik-turun dan berkelok. Di sisi-sisi kami pohon pinus berderet-deret laksana barisan serdadu yang menjaga istana. Pada sisi bukit yang lain marak ditumbuhi tanaman ladang seperti kubis dan kol. Kemiringan bukit itu mungkin sampai 80 derajat, sehingga petani ladang yang menyirami atau menyemai benih di atas tanahnya mungkin harus mengikatkan tubuh mereka pada seuntai tali yang terhubung pada pohon di atas bukit agar mereka tidak jatuh menggelinding. Desau angin, yang masuk dari kaca jendela di samping supir, membisikkan untaian kalimat tentang sebuah persahabatannya dengan penghuni semesta yang berlangsung terus, setiap hari, berulang-ulang, sampai detik ini. Samar-samar terdengar suara cuit-cuit burung di antara keheningan subuh itu.

Rasanya seperti tak berkedip selama sekitar satu jam. Terpana pada setiap langkah yang ditempuh, tersipu pada sebuah rindu, risau akan kebekuan yang melanda, dan tak sabar melepas ujung tombak kerinduan ini pada langit yang akan mengiringnya menuju sebuah kota berkilo-kilo meter jauhnya. Saya melemparkan pandangan jauh ke atas bukit, dilanda keheningan karena belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Belum pernah sejauh ini berkelana.

Jeep berhenti. Sang supir memarkirnya di sisi kanan jalan, berbaris dengan mobil four wheel drive lain yang tiba lebih dulu. Begitu turun dan dikepung kembali dengan rendahnya suhu, bibir saya bergetar. Namun terus melangkah maju, meski hampir tak mampu menopang tubuh sendiri pada awalnya.

Kami berjalan menuju tepi tebing yang dibatasi palang. Belum terlihat matahari. Baru ada semburat warna merah dan oranye. Ketika menaiki undakan-undakan tangga baru disadari bahwa nafas saya memburu dengan sangat cepat karena jalanan yang menanjak dan udara yang sangat dingin. Tangga semakin menanjak dan semakin dingin saja ketika kami melewati tulisan berbunyi “Penanjakan”.

Ketika sampai di atas, ratusan orang –mungkin lebih- berseliweran di hadapan kami. Pada umumnya wisatawan asing. Tempat ini memang sudah lama menarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung. Hebat sekali daya tarik negeri ini. Turis berwajah Asia, berwajah Eropa, dan belahan bumi lain. Ada dua orang di antara sekian banyak turis asing tersebut, yang berdiri tak jauh, terkikik sambil menatap saya yang kedinginan, tertawa sambil berbicara dengan bahasa asing yang sama sekali tak familiar di telinga.

Saya mengabaikan mereka, dan seperti yang lain, mengambil posisi terbaik, menyelinap di antara turis bertubuh tinggi-tinggi untuk menuju barisan paling depan. Garis lurus cakrawala mulai bersinar nun jauh di sana. Semua wisatawan seperti tak berkedip menatap gumpalan awan yang menggumpal di hadapan kami. Penanjakan ini seolah serupa dengan negeri di atas awan.

Perlahan, sang raja cahaya keluar dari peraduannya, muncul dengan lambat seolah mengintip untuk melihat apakah sudah aman jika keluar sekarang. Cahaya bumi ini berada lurus tepat di hadapan. Merah, kuning, dan oranye bercampur menjadi satu. Di sekelilingnya semburat warna-warna lain mengiringi kemunculannya, bersatu dengan langit. Di bawahnya, bergumpal-gumpal awan, tebal laksana kapas raksasa, terus menggoda matahari untuk keluar.

Entah sudah berapa kali saya membidikkan kamera, dengan jari yang awalnya terasa kebas untuk menekan tombol bidiknya karena suhu udara yang rendah. Beberapa menit kemudian seolah lupa dengan dinginnya pagi, saya melepas sarung tangan dan yakin bisa melewati kebekuan ini dengan baik.

Matahari semakin menggelora untuk keluar, kali ini sudah tak malu-malu lagi pada ratusan orang yang menantinya. Mengawali hari dan mengucapkan salam pada bumi. Menyapa lembut pada setiap penghuninya yang menebarkan kebaikan kepada yang lain dan menyelaraskan diri dengan lingkungan. Terus melaksanakan tugasnya menyinari bumi sampai Sang Pencipta memerintahkannya untuk berhenti.

Saya memandang berkeliling, mendapati tempat ini sepertinya semakin penuh, kemudian berpaling dari matahari ke arah kanan. Lalu, untuk kesekian kalinya, saya terpaku, tak menurunkan kamera dari tangan, namun berhenti bergerak untuk sesaat. Bunyi klik-klik kamera masih bersahut-sahutan dari sekeliling. Tapi saya tak bergeming.

Di sebelah sana Gunung Bromo, Batok, dan Mahameru berdiri dengan kokohnya. Mahameru yang terus mengeluarkan gumpalan asap dari atas kawahnya terlihat sangat jauh tapi mengagumkan. Dan Bromo, kepulan belerang yang keluar dari kawahnya menghiasi deretan perbukitan. Lajunya seiring dengan gumpalan yang dikeluarkan dari atap tertinggi pulau Jawa.

Saya kembali menatap matahari terbit, lalu deretan Bromo, Batok, kemudian Mahameru, lalu menatap matahari lagi, lalu ke langit, lalu ke bawah sana ke perkotaan Malang, melewati jalan-jalannya, terus menembus rel kereta api meliuk-liuk menerabas semak, menuju Jakarta.

Kau benar, keindahan itu tak selalu terletak pada puncak. Kekuatan itu tak diukur dari berhasil atau tidaknya seseorang menggapai sesuatu yang sulit. Tapi proses. Proses untuk mencapainya lah yang lebih penting, muara dari keindahan itu. Siapa yang perduli dengan carut-marut seminar pra skripsi yang sudah lalu? Proses mencapainya, dan yang terpenting adalah tahap sesungguhnya setelah ini; memulai skripsi. Rasa pesimis itu memang membayangi setiap saat, tapi daripada terus berfokus pada sebuah kegagalan, bukankah lebih penting untuk melangkah lagi? Berbuat lebih baik lagi? Dan melangkah maju.

Satu sosok melintas di benak. Inilah yang dimaksud oleh dirinya, kata-kata yang dilontarkannya beberapa hari sebelum saya berangkat; sebuah keyakinan untuk mempercayai kemampuan diri sendiri. Keyakinan untuk selalu optimis laksana nakhoda kapal di tengah lautan.

Kepulan belerang yang keluar dari kawah Bromo menembus langit, membisikkan satu kerinduan yang diperolehnya dari arakan awan yang datang dari sebuah kota padat polusi. Satu kerinduan yang menghimpit.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Selepas mengkerut dari suhu rendah di Penanjakan, hangatnya cahaya matahari mengiringi langkah menapaki lembutnya pasir menuju Kawah Bromo.

Jika tak ada kawah dengan undakan tangganya, dengan hamparan pasir yang terbentang rasanya saya akan merasa seolah berada di pesisir.

Perlahan menapaki satu demi satu anak tangga. Derajat kemiringannya lumayan membuat kepayahan, mengingat jarangnya melakukan tanjakan seperti ini, dan kebekuan yang mengukung di Penanjakan tadi.

Pada anak tangga terakhir, gemetar dari kepala sampai kaki.

Gemetar karena ketika menapaki tangga rasanya semua organ tubuh terpaku pada detak jantung ini.

Hati yang sudah luluh sejak melihat fenomena di Penanjakan, ditambah detak yang luar biasa cepat, semakin membuat diri ini hampir tak mampu berdiri tegak. 

Sore harinya ketika kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Malang, sepertinya ada yang aneh, rasanya ada sesuatu yang tertinggal. Hal yang sama terjadi sebelumnya ketika kami baru melaju meninggalkan Lautan Pasir.

Memeriksa semua barang bawaan. Handphone, kamera digital, charger, jaket, sarung tangan. Nyatanya tak ada satu pun barang yang tertinggal.

Tapi kenapa seperti ada yang mengganjal. Seperti ada yang tertinggal.

Sedetik kemudian saya baru menyadari, sekeping hati yang tertinggal di Bromo.

Seolah ingin balik lagi, menatap jutaan bintang yang tak bisa dilihat dari Jakarta, menatap matahari terbit dengan hawa yang menusuk tulang tapi menarik untuk dirindukan.

Rasanya ingin balik lagi, menatap langit biru itu. Sambil membayangkan hati ini yang rindu padanya.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top