Thursday Jul 25, 2024

#36-41 Mengamati burung endemik di Tahura Raden Soerjo bersama Birdpacker

Sabtu, 21 Oktober 2017, Kota Batu

Jalan berkelok di depan kami rasanya menjadi sangat tidak biasa terutama untuk saya yang lagi-lagi kali itu bepergian bersama Aba dan A, anak kami yang berusia 2 tahun 10 bulan. Saat itu kami dalam perjalanan menuju kawasan pelestarian alam yang masuk dalam kawasan gunung Arjuna-Lalijiwo, yaitu Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo di Kota Batu, Jawa Timur. Saya dan keluarga bersama kawan-kawan dari Birdpacker akan melakukan pengamatan burung (birdwatching) di kawasan hutan yang merupakan perbatasan Kota Batu dan Mojokerto itu. Dalam perjalanan ini kawan-kawan Birdpacker yang ikut serta adalah Mas Swiss, Mbak Ismi, dua anak mereka yaitu Lala dan Sani, Mas Kukuh, Mas Afwan, dan Mas Abid.

Saya melirik A yang duduk dekat jendela mobil. Berharap ia tidak mual atau mabuk darat. A sedang sibuk memandangi lereng perbukitan di sisi kanan kami yang ditumbuhi dengan sawi, selada, dan sayur-sayuran lain. Seperti biasa ia mengajukan berbagai pertanyaan mulai dari A hingga Z. Ia berceloteh riang sambil sesekali menempelkan wajahnya hingga mepet ke kaca. Sejauh ini, A baik-baik saja menempuh jalur berkelok. Syukurlah.

Jendela bagian depan mobil yang dibiarkan terbuka sejak awal perjalanan membuat udara sejuk masuk dan menyapa kami. Aroma tanah lembab dari perbukitan ikut singgah dan meresap ke dalam hidung. Langit biru dengan awan putih bersih menjulang tinggi di atas puncak gunung Arjuna. Kekhawatiran bahwa akhir-akhir ini sering hujan di kaki gunung rupanya bisa sedikit terusir dari masing-masing pikiran kami. Setidaknya kami tinggal berdoa saja bahwa kegiatan selanjutnya juga akan ditemani dengan cuaca yang cerah dan mendukung. Semakin mobil melaju dan dekat dengan lokasi tujuan, jalan raya pun tak lagi berliku dan sisi kiri juga kanan kami berganti dipadati pepohonan tinggi-tinggi.

Lalu tibalah kami di Cangar, sebuah kawasan wisata pemandian air panas yang termasuk dalam area Tahura Raden Soerjo. Tahura Raden Soerjo merupakan salah satu kawasan konservasi di provinsi Jawa Timur yang penting karena merupakan kawasan yang didapati jenis burung terancam punah dan burung dengan sebaran terbatas (Rombang dan Rudyanto, 1999).

Di Cangar ini pula, beberapa bulan lalu Birdpacker membuat projek penjagaan sarang burung. Karena meski statusnya adalah Taman Hutan Raya yang dilindungi, namun ternyata masih ada saja pengunjung yang mengambil sarang burung di kawasan tersebut sehingga tentunya mengancam kelestarian burung yang ada. Data mengenai keanekaragaman burung yang ada di sini sesungguhnya juga masih sedikit sekali, Mas Swiss dan Mas Imam pernah mengulasnya di sini dan di sini.

Kami pun akhirnya sampai di pos pintu masuk. Rombongan turun dan mampir ke toilet dulu. Saya pikir saat itu kami akan merasakan dinginnya air khas pegunungan yang membuat saya bergidik. Saya lupa bahwa saat itu kami berada di kawasan pemandian air panas sehingga tentulah airnya panas! A menjerit ketika kakinya terkena air yang lebih dari hangat itu.

Kami lalu kembali ke mobil dan menurunkan berbagai peralatan untuk pengamatan burung, yaitu kamera, binokuler, dan tripod. A mengalungkan binokuler yang dipinjamkan dan berjalan dengan mantap memasuki kawasan Cangar.

And I’m telling my self for a welcoming home.. because I heard about this place since eight years ago. And now I’m here… after so many years.. Alhamdulillah…

Dan berturut-turut kebaikan menyertai perjalanan kami. Baru saja melangkah melewati aliran kali kecil sementara Mas Afwan dan Mas Kukuh sedang menjelaskan bahwa biasanya di area tersebut sering dijumpai burung raja udang kecil juga cekakak jawa, tidak berapa lama terlihatlah seekor cekakak jawa sedang bertengger tak jauh dari posisi kami berdiri.

Burung ini (juga jenis raja udang lainnya) masuk dalam daftar burung yang dilindungi menurut PP No. 7 tahun 1999. Paruhnya terlihat lebih besar dari tubuhnya. Ia termasuk dalam famili Alcedinidae, makanannya adalah ikan kecil sehingga ia sering terlihat di sekitaran aliran sungai yang bersih. Karena menyukai air bersih maka burung ini menjadi indikator pencemaran sungai. Burung ini juga termasuk dalam daftar burung yang saya incar sejak lama.

A dan Aba sempat tidak melihat dan hendak berjalan ke pohon. Mas Afwan langsung memberi kode untuk menghentikan gerakan mereka dan akhirnya mereka pun mundur perlahan. Saya tak mau membayangkan jika A dengan sengaja sorak sorai di bawah pohon seperti yang dulu ia lakukan pada saya di Monas saat sedang mencari burung betet.

Makasi ya, Nak. Lagi-lagi kamu memberi Ama kesempatan untuk belajar.

Cukup lama si burung bertengger untuk kemudian terbang. Kami pun berjalan lagi. Tidak lama terlihatlah seekor burung jingjing batu alias Black-winged Flycatchershrike. Dada dan perutnya berwarna putih, kepalanya hitam. Kepalanya itu menengok-nengok ke sana ke mari. Jingjing batu hidup di dataran rendah dan perbukitan (kutilang.or.id).

Jalan berapa langkah lagi kami bertemu dengan cucak kutilang yang sedang memakan serangga dan juga srigunting kelabu.

Kami berjalan di jalur setapak yang agak menanjak. Setiap kami berhenti untuk mengamati burung, A juga berhenti dan asyik bermain mobil-mobilan miliknya di jalan setapak. Lala dan Sani pun berjalan dengan riang dan menikmati perjalanan mereka ini. Sesekali mereka bergantian mengintip burung lewat lensa kamera milik sang ayah. Tak berapa lama muncul insiden A yang terjatuh saat berlari.

Kami pun berjalan menanjak hingga gua jepang. Kami menunggu beberapa saat di dekat gua namun tak ada burung yang terlihat. Hingga akhirnya kami berbalik arah dan duduk-duduk saja di dekat sebuah pos sambil memakan jagung rebus yang dibawa Mbak Ismi, terlihatlah elang yang sedang soaring. Sesudahnya saya hanya bisa menjepret kupu-kupu.

Setelah itu, akhirnya kami putuskan rehat di dekat sungai kecil. Anak-anak dan ibunya bermain air sementara para bapak ngopi-ngopi di tepiannya. Sayang sekali tidak nampak raja udang meninting di area tersebut.

Sesudah ngobrol-ngobrol, main air, ngopi-ngopi, ngeteh, dan makan pisang goreng, kami beranjak menuju spot satu lagi, yaitu Watu Ondo. Selain itu masih ada satu tempat lagi sebelum mencapai Watu Ondo, yaitu di area jembatan. Di situ sebenarnya kita bisa memerhatikan elang jawa.

Ketika mobil kami melewati deretan sepeda motor yang parkir di tepi jembatan, saya ngeri memandangi sisi jurang di bawah. Spot yang dimaksud dengan jembatan rupanya adalah jembatan besar dengan jurang di bawahnya. Area di sekeliling jembatan merupakan area tebing dan lereng hijau yang dimanfaatkan para anak muda untuk sekedar selfie dan kumpul-kumpul.

Saya salah tangkap rupanya. Saya pikir berupa jembatan kecil nan aduhai. Syukurlah spot itu memang hanya kami lewati saja, tak memungkinkan untuk didatangi kami yang kondisinya membawa tiga orang anak kecil.

Kami pun tiba di tempat wisata air terjun Watu Ondo. Namun kami hanya sampai di parkirannya saja dan tidak menuju air terjun. Di parkiran ini kami menjumpai sikatan ninon alias Indigo flycatcher. Warna birunya yang mencolok menguntungkan saya. Sehingga untuk kali ini saya tak perlu bertanya “Mana? Mana?” Sambil celingukan ke pohon. Saya sampai khawatir kawan-kawan Birdpacker bisa desperate karena pertanyaan berulang dari saya itu.

Burung sikatan ninon ini merupakan burung endemik Jawa alias hanya ditemukan di pulau ini. Ia bisa dijumpai di area perbukitan dan pegunungan, yang unik adalah sarangnya berbentuk kantung dari lumut tidak jauh dari permukaan tanah (kutilang.or.id).

Pada bulan migrasi ini, akhirnya kami juga bisa menjumpai salah satu burung migran yaitu Sikep Madu Asia alias Crested Honey Buzzard yang sedang soaring. Kami menanti saja di area tersebut sementara A mulai iseng menggoyang-goyangkan tripod kamera setiap saya hendak menjepret.

Beberapa menit berlalu ternyata di sisi lebih ke dalam muncul burung endemik yaitu takur tohtor dan walik kepala ungu pada pohon Ficus sp.

Meski bagian kepala walik tersebut kontras dengan warna daun namun rupanya saya cukup kesulitan menemukan burung tersebut di pohon karena posisinya yang cukup ngumpet. Ketika sudah muncul di frame, kamera bergoyang dan burung pun hilang lagi. Syukurlah burung tersebut sedang menyantap makan siang sehingga cukup lama bisa kami amati.

Walik kepala ungu merupakan burung endemik Sumatera-Jawa-Bali. Ukurannya cukup besar yaitu 29 cm. Ia hidup pada ketinggian 1400-2200 m (kutilang.or.id).

Sementara takur tohtor (endemik Jawa-Bali) ini beberapa kali hinggap di pohon berdua maupun bertiga. Namun warnanya lebih saru lagi dengan dedaunan dan gerakan berpindahnya cukup cepat. Saya pun terbagi konsentrasi antara mau jepret takur tohtor atau walik kepala ungu. Pada akhirnya takur tohtor masih sempat kejepret beberapa kali.

Setelah walik berpindah tempat dan tak terlihat, kami akhirnya menyudahi pengamatan hari itu. Mobil pun melaju meninggalkan watu ondo, cangar, gunung arjuna, dan semua keramahan yang ada. Kami berhenti di sebuah masjid untuk shalat terlebih dulu. Kemudian kembali berhenti di sebuah warung bakso untuk makan siang.

Saya tak bisa mengungkapkan rasa syukur atas hari itu. Bahwa keinginan terpendam untuk mengunjungi Cangar sejak 8 tahun lalu dibayar dengan kebaikan demi kebaikan yang kami dapat sekaligus dalam satu hari: kawan-kawan birdpacker, burung-burung yang ditemui, cuaca, dan langit yang mendukung.

Terima kasih. Suatu hari aku akan balik lagi. Insyaa Allah. Aamiin.

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top