Thursday Nov 07, 2024

Catatan perjalanan Lombok 2012: Gili Trawangan dan minyak tumpah

Selama hampir dua tahun, brace selalu bersama setiap saya menempuh jarak baik saat berada di dalam kota maupun saat ke luar kota. Waktu di mana brace tidak saya gunakan yaitu hanya saat mandi, berenang, dan saat pemanasan jalan pagi.

Sehingga ketika harus bepergian ke sebuah tempat dengan jarak cukup jauh, seharian, tanpa mengenakan brace, rasanya janggal. Ini terjadi saat menuju Gili Trawangan sebagai agenda pertama perjalanan kami di Lombok, pada hari Sabtu tanggal 29 Desember 2012.

Meski sudah lama mendengar mengenai pulau ini, kesempatan untuk bisa datang ke Gili Trawangan ini adalah pertama kalinya buat saya. Benarkah indah dan mengagumkan?

Gili Trawangan merupakan sebuah pulau kecil yang sudah terkenal di kalangan para turis. Dulu sepengetahuan saya, pulau ini (seperti biasa) lebih banyak dikenal oleh turis mancanegara. Baru sekarang-sekarang ini saat traveling dalam negeri menjadi semacam tren, tempat ini menjadi incaran para turis lokal. Gili Trawangan kabarnya terkenal dengan pantai dan pemandangan bawah lautnya yang indah. Di dekat Gili Trawangan terdapat pula dua pulau lain yaitu Gili Meno dan Gili Air. Kabarnya di Gili Trawangan tidak ada kendaraan bermotor, hanya sepeda dan cidomo (serupa seperti delman) yang diperbolehkan di sana.

Selama ini brace sempat beberapa kali menemani saya selama travelling baik darat, laut, dan juga udara (termasuk saat kemping), tapi di hari pertama perjalanan jauh di Lombok ini saya justru harus meninggalkan brace di penginapan. Ya, ini tentu karena daerah Gili yang identik dengan ciprat-ciprat air laut semacam snorkeling dan juga diving sementara brace (setahu saya) belum pernah ada sejarahnya digunakan saat bermain air (kecuali hanya sekedar main air cuci kaki ya).

Impian untuk menyelam yang jelas-jelas batal untuk seterusnya pun, membuat perhatian saya teralihkan sepenuhnya pada yang lain yaitu snorkeling. Sama saja lah, bisa lihat biota laut juga. Begitu pikir saya, menghibur diri.

Keinginan ini memuncak saat dokter melarang untuk jogging lagi selama proses penggunaan brace. Hanya renang dan jalan kaki yang dibolehkan. Dan selama masa-masa pemulihan ini, supaya merasa lebih baik saya langsung memutuskan untuk menyisihkan uang untuk membeli alat snorkel di area bazar extreeme sport. Jogging tak boleh, snorkeling boleh donk. Namun niat ini rupanya tak langsung terwujud, karena dua tahun setelah pembelian sepaket alat snorkeling itu, saya tak juga pergi snorkeling karena kesempatan yang tak kunjung datang.

Untuk itulah, Gili Trawangan menjadi target besar-besaran untuk melakukan snorkeling, yang sayangnya (dan ironisnya) harus dilalui dengan resiko: meninggalkan brace di penginapan. Karena berpikir mungkin akan sulit mencari tempat untuk menyimpannya saat berganti baju saat snorkeling nanti. Daripada brace saya letakan di pasir lalu ternyata pasirnya bikin gatel-gatel, malah gawat kan hehe.

Maaf ya brace, ditinggal sendirian. Dan saat memanggul tas di pundak, meninggalkan kamar itulah, rasanya aneh. Benar rupanya ucapan Nabila, skolioser yang juga menggunakan brace sehari-harinya. Ia bilang; setelah terbiasa, pergi tanpa brace itu seperti tak membawa badan! Seperti ada yang hilang ketika tas ransel langsung menempel pada punggung saya dan bukannya brace.

Setelah meleset 30 menit dari jadwal, seluruh peserta dan keluarga akhirnya lengkap dan siap berangkat. Total ada empat keluarga yang ikut hari itu. Masing-masing lengkap dengan orangtua dan dua-tiga orang anaknya. Kami menempati tempat duduk masing-masing di minibus sambil menatap peta untuk melihat jalur yang akan kami lalui.

Bus kami pun beranjak dari penginapan, meninggalkan para penjaja oleh-oleh berupa perhiasan dan kaos khas Lombok yang menawarkan barang dagangannya pada wisatawan yang hilir mudik di tepi jalan. Bus melaju membelah Cakra, daerah tempat kami menginap di Lombok Barat, menuju sudut lain di Pulau Lombok ini.

Untuk menuju Gili Trawangan kami akan menyeberang melalui pelabuhan Teluk Kodek. Dan untuk mencapai pelabuhan Teluk Kodek ini, kami melewati jalan berkelok dan berliku di area hutan lindung Pusuk di perbatasan Lombok Barat dan Lombok Utara. Jalan raya yang awalnya cukup ramai dengan kendaraan dan cidomo sejak di Lombok Barat, langsung berubah menjadi sepi saat memasuki hutan lindung Pusuk. Jalur berliku dengan tebingnya yang curam mengingatkan saya pada kelokan di Sumatera Barat sana.

wpid-DSC_1182.JPG

Pepohonan hijau tinggi-tinggi yang teduh menghiasi pemandangan di kiri dan kanan kami. Monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) kadang terlihat duduk-duduk santai di tepi jalan atau berayun di pohon sambil menggendong anaknya. Di sebelah kanan jalan yang penuh kelokan ini terdapat aliran sungai jernih dengan arusnya yang cukup deras.

Pada beberapa titik sungai, terdapat air terjun setinggi sekitar 1-2 meter. Riak-riaknya yang putih bersih dan terkadang berwarna kehijauan akibat pepohonan di sekitarnya menggoda saya. Udara segar melingkupi bukit dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut ini. Pusuk, yang berarti puncak, memang masih tergabung dalam kawasan hutan Rindjani bagian barat. Hmm.. seandainya bisa singgah sebentar.

wpid-DSC_1177.JPG

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam melewati Pusuk, pemandangan yang terlihat dari kejauhan di setiap kelokan berubah menjadi hamparan perairan laut. Dari jauh kapal-kapal nelayan terlihat bersandar di pelabuhan yang mulai ramai ini. Menurut pemandu, awalnya pelabuhan ini bukanlah pelabuhan yang sering digunakan untuk menyeberang ke Gili Trawangan seperti layaknya pelabuhan Lembar yang sudah terkenal. Namun seiring semakin banyak wisatawan yang datang, pelabuhan Teluk Kodek pun mulai digunakan untuk menyeberang ke Gili.

Perahu motor sudah siap menunggu saat kami menjejakkan kaki di pasir. Secara bergantian, rombongan pun naik satu per satu ke kapal. Waktu tempuh untuk menyeberang dari pelabuhan Teluk Kodek menuju Gili Trawangan adalah sekitar 30 menit.

Perahu motor pun menderu, melaju memecah ombak dan gelombang, diiringi dengan angin laut yang bertiup kencang. Sesekali beberapa penumpang berteriak secara refleks dan tertawa saat ombak tampyas ke pakaian dan wajah mereka, meski perahu motor sudah dilapisi dengan tirai plastik transparan untuk menghindari cipratan air.

juru mudi perahu

Setelah mulai beradaptasi dengan goyangan perahu motor, para penumpang mulai rileks dan menikmati perjalanan. Angin bertiup cukup kencang saat itu. Ayah berbincang-bincang dengan rekan seperjalanannya sambil sesekali memandang lautan di sekitar kami.

Di sela kesempatan liburannya ini, ayah meminta diperlihatkan beberapa hasil jepretan kamera saya. Beliau memakai kacamatanya, memandang satu demi satu hasil foto pada panel LCD kamera, lalu komplain saat melihat satu jepretan foto dirinya yang terkena efek angin. Maksudnya jepretan kamera tepat di saat rambut beliau tertiup angin sehingga menimbulkan efek berdiri meliuk yang menurut Ica mirip seperti Upin Ipin. Setelah itu, ayah pun langsung meminjam topi milik saya untuk menutupi rambutnya. Susah deh kalo ayah selalu ingin tampak rapi haha.

wpid-DSC_1202.JPG
wpid-DSC_1203.JPG

Birunya langit dan pantulan air laut menjadi satu dari banyak hal yang saya temui dalam perjalanan ini. Aroma angin laut, yang tak bisa ditemui selama di Jakarta, menyeruak dari segala arah. Sementara gunung Rindjani berdiri dengan kokohnya di belakang saya nun jauh di seberang sana, dihiasi gulungan awan putih bersih di sekitar puncaknya. Gunung yang rute pendakiannya saya tempel sejak beberapa tahun lalu di pintu lemari kamar.

Rindjani behind
With Rindjani behind

Selama 30 menit menyeberang dengan iringan suara perahu motor yang menderu, sebuah pulau yang awalnya hanya kami lihat dari jauh akhirnya berada tepat di hadapan kami. Turis-turis asing laki-laki dengan celana pendek dan turis wanita dengan bikininya semarak berjemur di pantai, sementara turis lain terlihat sedang asik snorkeling beberapa meter dari pantai (dengan bikini juga), dan hanya sedikit dari mereka yang duduk-duduk di tempat teduh seperti gazebo di tepi pantai.

wpid-DSC_1232.JPG

Ombak yang cukup besar saat itu rupanya agak menyulitkan perahu motor yang kami tumpangi untuk bersandar. Cukup lama kami menunggu sampai perahu bisa menepi. Melihat kejernihan airnya, saya rasanya sudah tak sabar untuk cepat-cepat nyebur. Dengan sengaja, saya pun tak lekas menghindari ombak yang berlari menyongsong dan membasahi celana panjang yang saya kenakan saat turun dari perahu.

wpid-DSC_1234.JPG

Di pulau ini kami niatnya akan melakukan snorkling, namun sebelumnya rombongan akan menaiki perahu satu lagi untuk melihat kehidupan bawah laut dengan “Glass bottom boat” terlebih dulu. Sambil menghindari kejaran ombak, kami berpindah ke perahu kaca tersebut. Matahari yang semula mendung saat masih di pulau Lombok, kini bersinar terang benderang.

Perahu kaca pun melaju membawa penumpang ke kejauhan sekian kilometer dari Gili Trawangan. Pantas saja disebut “Glass bottom boat”, karena di bagian bawah perahu ini terdapat kaca yang memungkinkan penumpang untuk melihat terumbu karang dan ikan-ikan laut yang berenang hilir mudik. Kaca ini merupakan kaca dengan perbesaran sekian-kali, sehingga terumbu karang yang jaraknya jauh (misalnya) di kedalaman tiga meter menjadi seolah berada dekat sekali dengan perahu. Selama memandangi bagian bawah lewat kaca, penumpang diminta untuk tetap duduk dan tidak berjongkok di dekat kaca.

Pada titik yang menjadi daya tarik, nahkoda akan memperlambat laju perahu sehingga kami bisa lebih jelas melihat, dan bukannya buih-buih buram saja seperti ketika perahu baru melaju beberapa meter dari pulau. Tak hanya memperlambat, nahkoda pun biasanya juga akan berhenti sejenak supaya wisatawan puas memperhatikan kedalaman laut yang mencapai sekian meter itu.

wpid-DSC_1246.JPG

Daya tarik kehidupan bawah laut di area ini salah satunya adalah blue coral. Kabarnya blue coral (yang tentu saja berwarna biru ini) hanya ada dua di dunia, yaitu di Gili Trawangan ini dan di Kepulauan Karibia. Wuaaah..!

Ikan-ikan berwarna-warni dan dengan berbagai ukuran pun berenang dengan santainya di bawah kami, antara lain ikan kepe-kepe, blue-back yellow fish (tau kan Dori di film Finding Nemo?), Lion fish, dan ikan sotong. Visibilitas di daerah ini sangatlah baik, sehingga kami bisa melihat dengan sangat jelas jernihnya laut di kedalaman sekian meter itu. Sayangnya di beberapa titik terlihat hamparan terumbu karang yang patah-patah dan mati.

Pada satu titik, kami juga bisa menyaksikan pemandangan bawah laut berupa kapal karam yang sudah ditumbuhi berbagai jenis karang. Kapal ini kabarnya berangkat dari Padang Bai, Bali dan tenggelam. (Sekedar info penyelaman yang dilakukan di titik kapal karam biasanya disebut sebagai wreck dive).

Dilihat dari kapal, para biota laut itu memang tampak dekat namun kedalaman mungkin saja mencapai sekitar 10 meter. Beberapa dari rombongan kami tampak ngeri saat memandang ke arah bawah dan memperhatikan laut jernih yang jelas-jelas tidak dangkal itu. Hmm.. seharusnya perahu yang membawa sekitar 12 orang penumpang ini juga dilengkapi dengan pelampung, dan pemandu pun seharusnya mau dan mengingatkan penyedia kapal untuk menyediakan safety tool ini.

Setelah hampir 30 menit melihat kehidupan bawah laut dengan kaca di perahu (tetap ya gak puas kalo nggak nyebur hehe), kami pun kembali menuju Gili Trawangan dan bersiap untuk snorkeling. Namun ada satu hal yang sangat disayangkan saat perahu sudah berada dalam jarak yang sudah cukup dekat dari pulau. Awak perahu yang berada di buritan depan memperingatkan pengemudi perahu di bagian belakang tentang adanya beberapa penyelam yang sedang berada pada kedalaman sekian meter tak jauh dari perahu.

Ombak yang cukup besar ditambah mungkin nakhoda yang kurang awas, sehingga kemudian dari kaca di bawah perahu kami bisa melihat 4-5 orang penyelam tepat di bawah kapal yang kami naiki. Kesemuanya memperhatikan ke arah kami, dan salah satu penyelam yang berada di paling depan menggoyangkan jari telunjuknya sebagai isyarat memberi tanda “tak boleh” pada kami.

Ya, baling-baling kapal adalah salah satu hal serius dan berbahaya bagi penyelam. Sayangnya, penumpang lain di kapal justru malah membalas goyangan telunjuk penyelam dengan melambaikan tangan ke bawah, dadah-dadah pada para penyelam.

Beberapa menit kemudian mereka muncul di permukaan tak jauh dari kapal yang sudah mematikan mesin. Semuanya (rupanya) adalah turis asing berwajah bule. Penyelam paling depan yang saya duga adalah seorang instruktur, menatap tajam pada nakhoda; “You dont see this sign, huh?!” ucapnya berulang-ulang sambil melambaikan sehelai tanda yang sepertinya merupakan peringatan bagi kapal agar tidak melintas di area yang dipasang tanda tersebut sehingga membahayakan penyelam.

Nakhoda hanya terdiam. Dan turis asing instruktur itu masih terus mengomel dengan bahasanya sambil terus menatap nakhoda. Murid-murid selamnya, yang sepertinya masih berusia lima belas sampai delapan belas tahun, menatap nakhoda, instruktur, dan kami bergantian. Kelompok penyelam itu kemudian berlalu ke bibir pantai.

Berusaha memahami kegusaran sang instruktur selam, saya kemudian berfokus pada snorkling yang nanti akan kami lakukan. Satu hal yang sudah dinantikan sejak perjalanan dimulai. Tapi hal yang saya nantikan itu justru malah berubah menjadi sedikit was-was karena tidak adanya batas antara tempat perahu bersandar dan area menyelam dan juga snorkeling. Mungkin pulau ini harusnya juga memiliki area khusus untuk perahu bersandar. Entahlah.

Melihat ombak yang besar dan kejadian tadi, pemandu menyarankan agar kami juga bersama seorang pemandu snorkeling berpengalaman supaya lebih terawasi. Biaya untuk menyewa alat snorkeling, fin, dan pelampung adalah Rp 70.000 per orang. Sementara biaya untuk satu pemandu snorkeling per kelompok adalah Rp 100.000.

Pemandu snorkeling berambut ikal itu mengajak kami hampir ke bagian ujung pulau. Alasannya agar tak terlalu ramai. Kami menyanggupi sarannya lalu mengikutinya berjalan kaki cukup jauh menyusuri pantai, melewati semarak bikini berjemur, sepanjang jalan.

Jika dilihat dari pasir putihnya, Gili Trawangan memang memiliki pasir putih dan pemandangan sekitar yang memikat. Terik mataharinya pun cocok sekali dengan mereka-mereka yang ingin mencoklatkan kulit. Tapi hari itu, dilihat dari kenyamanan dan kebersihan, saya menilainya kurang. Sampah terlihat di beberapa titik. Dan bagi saya yang kurang suka dengan area wisata yang hingar bingar, semarak para turis berjemur di pulau ini justru membuat saya meringis.

Terlalu ramai, begitu pikir saya. Dari tiga pulau, Gili Trawangan memang merupakan pulau yang paling hingar dibandingkan dengan Gili Meno dan Gili Air.

Sambil menenteng fin dan alat snorkeling, kelompok kami terus berjalan menapaki pasir putih. Saat itu sudah pukul 12 siang dan matahari semakin terik membakar kulit. Ketika tiba di tepi laut yang kira-kira pas, pemandu pun memutuskan untuk turun ke air secara bersama-sama.

Saya mengajari Ica cara memasang alat snorkle dan bernapas melalui mulut. Ombak kecil sudah berlarian datang dan pergi di antara jari kaki kami yang sudah lekat dengan butiran pasir. Karena masih sulit bernafas dengan menggunakan alat snorkle, kami akhirnya memutuskan untuk berenang saja dan mencobanya ketika sudah berada di air.

Kekecewaan langsung melejit drastis manakala kami sudah berada pada kedalaman sebatas pinggang, ternyata air yang kami selami itu berbau solar. Kami berpandangan heran, sama-sama mengernyit dan mengeluhkan bau bensin yang menyeruak di udara sekitar kami. Pun begitu, kami tetap berenang maju menjauhi bibir pantai, tapi sambil terus mengeluhkan bau bensin.

Lama kelamaan kaki saya dan Ica sudah tak menapak di pasir. Kami sudah terapung seluruhnya, bergantung pada pelampung. Ica masih berusaha bernafas dengan baik dan benar melalui alat snorklenya. Saya memasang alat snorkle, bernafas dengan mulut, lalu mencoba menyelam, memandangi kedalaman satu setengah meter yang ternyata visibilitasnya tak terlalu baik. Kerumunan ikan kecil dengan jumlah kira-kira mencapai puluhan ekor lewat di dekat kami. Selain itu hanya ada satu sampai dua ekor ikan berwarna ungu yang saya tak tahu namanya.

Di antara pantulan air laut dan sengatan matahari yang terik, saya, yang awalnya mengira bau bensin itu berasal dari kapal di dekat kami, mengangkat telapak tangan kanan ke udara, sementara tangan kiri berpegangan erat pada Ica. Alis berkerut memandangi butiran-butiran yang mengkilap di telapak tangan, yang sama sekali tak menyatu dengan air, lalu mengendusnya. Minyak. Shi*t!

Oh yeah. Minyak kapal tumpah, visibilitas yang kurang baik, dan kami yang terombang-ambing karena sulit menyesuaikan diri dengan ombak yang cukup besar di tengah bau solar yang meruap di mana-mana.

Lengkap sekali…

Pemandu menyadari masalah minyak tumpah ini lalu mengajak kami menyingkir, kembali ke darat, berjalan kembali sekian meter mencari tempat yang lebih ramah untuk snorkeling. Sayangnya, minyak tumpah itu sepertinya sudah menyebar ke mana-mana karena ketika kami kembali ke air, hasilnya tetap sama saja. Seluruh pakaian kami pun bau bensin.

Saya dan Ica, entah kenapa selalu terbawa ombak menjauhi kelompok dan pemandu snorkeling. Kami bukannya sibuk menikmati pemandangan bawah laut, malah sibuk terbawa ombak besar kembali ke pinggir ke arah perahu yang bersandar. Di antara hidung yang perih karena kemasukan air laut asin bercampur minyak, saya dan Ica bergantian saling menyeret sambil cekikikan, berusaha berenang maju. Tapi tak kunjung juga beranjak dari tempat semula meski kami berusaha sekuat tenaga menggerakkan kaki dan tangan. Kami berenang tapi diam di tempat. Ombak pun kembali menyeret kami mundur.

Okeh. Time out! Kami berenang ke bibir pantai dengan susah payah, memutuskan untuk duduk sebentar mengambil nafas dan merilekskan mata serta hidung yang perih.

Ica, yang masih penasaran dengan snorkeling mengajak saya kembali ke air. Baiklah, semoga kali ini lebih baik penglihatannya. Tapi nyatanya? Ombak malah semakin besar. Jangankan untuk menuju kelompok snorkeling, berenang menjauhi kapal yang bersandar saja kami susah.

Pasrah, saya mencoba berenang saja menikmati keindahan bawah laut kembali, tapi arus air semakin keruh. Kami hanya berhasil melihat beberapa karang dan ikan laut berwarna ungu, biru, dan kuning, serta sekelompok ikan yang berenang bersama dalam jumlah banyak berukuran kecil. Hanya itu saja.

Ah sudahlah. Lelah terbawa ombak, kami pun memutuskan kembali menyingkir ke pantai. Itupun setelah berenang dengan susah payah menjauhi kapal dan menuju tepian yang aman. Bah!

Sekilas di pasir terdapat warna pelangi tanda bensin atau minyak atau solar atau apapun itu mengalami pembiasan dengan air. Kami berdua, di pinggir pantai, mengendus baju masing-masing.

“Bau bensin..” keluh saya dan Ica. Saya sudah tak semangat untuk melanjutkan snorkeling, energi yang habis ditambah situasi ombak yang sedang besar membuat visibilitas di dalam air tak terlalu baik. Entahlah tapi ini bahkan jauh dari apa yang saya lihat di area Pulau Air, Kepulauan Seribu, dua tahun lalu.

Awalnya memang saya berpikir kami akan snorkeling lebih ke tengah, tapi dengan ombak yang besar dan kapal hilir mudik, rasanya berbahaya. Snorkeling di tepian ini saja kami sudah kepayahan. Ini jelas bukan rileks namanya. Desember benar-benar bukan bulan yang tepat untuk melakukan snorkeling.

Setelah gagal snorkeling ini, antrian yang cukup lama untuk mencapai kamar mandi, lupa membawa handuk, dan pakaian yang seluruhnya bau bensin, kekecewaan pun semakin bertambah saat pemandu wisata mengajak kami kembali menyeberang sebelum pukul 2 siang saat ombak meninggi dan goyangan kapal semakin besar.

Huaah? That’s it? Ga ada kunjungan lanjutan atau island hopping ke Gili Meno atau Gili Air? Saya meringis dalam hati. Huhuhuhu.

Setelah menyeberang kembali ke Pelabuhan Teluk Kodek (dengan perasaan berat, halah), kami pulang kembali ke Lombok Barat. Namun kali ini tidak melewati jalur Pusuk seperti berangkat tadi tetapi melewati bukit Malimbu. Serupa seperti Pusuk tadi, Malimbu juga menyajikan jalan berkelok-kelok namun kali ini dengan bentangan alam berupa hamparan laut dan tiga Gili dari kejauhan.

image

Sekian cerita Lombok hari pertama ini. Bagaimanapun juga, pengetahuan lengkap mengenai daerah yang menjadi tempat wisata sangatlah penting. Mengenai sampah, mengenai keselamatan, mengenai pengetahuan biota laut, dan mengenai kelestarian lingkungan secara umum. Terutama bagi pemandu wisata, pengelola, dan bahkan awak kapal. Dan yang paling penting juga pengetahuan yang dimiliki wisatawan atau turis mengenai hal tersebut di atas. Supaya pariwisata itu tak hanya sekedar tagline, promosi besar-besaran, untung gede-gedean, namun hanya gegap gempita sesaat.

Hei, apa kabar brace yang ditinggal di penginapan?

wpid-DSC_1239.JPG

Yulia

Pengamat tumbuhan, burung, dan kupu-kupu amatir, ibu dua anak, penulis, pustakawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to Top