Rezeki dadakan ke Saung angklung Mang Udjo di Bandung
Juni 2011
Ini cerita lain lagi ketika saya dan pasukan sepupu ke Bandung pada bulan Juni lalu. Jika belum pernah ke sini, masukkanlah ke dalam daftar wajib wisata anda di Bandung.
Saat itu kami bermaksud menghadiri pernikahan salah satu keponakan kakek. Sayangnya karena sakit, kakek justru tak ikut dalam perjalanan tersebut. Rasanya sudah lama tak melakukan perjalanan ramai-ramai bersama pasukan sepupu. Terakhir sekitar hampir satu tahun lalu ke Cinangneng. Atau biasanya kami hanya gelar tikar di belakang rumah dan berebutan makan tempe goreng.
Suasana tambah ramai ketika sudah sampai Bandung, bocil-bocil ini meminta naik kuda. Oh no! Tolong jangan paksa saya naik kuda! (ya nggak ada yang maksa juga sih -__-).
Akhirnya kami biarkan saja para orangtua repot dengan kuda, sementara kami yang besar-besar sibuk makan hehe. Sambil makan, kami bertanya-tanya sebenarnya lokasi pernikahan ada di sebelah mana dan jam berapa sih? Karena setiap para orangtua alias ibu-ibu kami ditanya, semua memberi jawaban tempat dan waktu yang berbeda. Satu bilang pukul 4 sore. Satu lagi bilang pukul 7 malam.
“Kok nggak jelas ya?” tanya saya. Anggi dan Ririn hanya bisa mengangkat bahu.
Maka selesai menyantap makanan, kami pun bergegas mandi dan berganti pakaian di wisma milik kantor paman kami itu. Dalam perjalanan menuju tempat pernikahan, kami masih saja tak mengerti sebenarnya lokasi pernikahannya di mana. Ada yang bilang di rumah, ada yang bilang di restoran.
Saat itu saya tak sadar, Tuhan menyiapkan kejutan sangat manis untuk saya. Serupa dengan kejutan seperti di Lembah Harau waktu itu atau kejutan bertemu dengan Riza Marlon beberapa waktu lalu.
Begitu mobil masuk ke lokasi parkir, Ririn berseru; “Mbak, ini kan Saung Mang Udjo?”.
“Hah??! Serius??! Kita kondangan di sini?” jawab saya heran.
Saung Angklung Mang Udjo sudah sangat ingin saya datangi sejak lama. Sayangnya waktunya selalu tidak tepat, dan ketika pergi dengan teman-teman seperti cerita pertama di atas, hanya dua dari enam orang yang memilih Saung Angklung ini untuk didatangi. Dua orang itu adalah saya dan abang.
Kami turun dari mobil. Dan samar-samar memang terdengar suara angklung dari rumah-rumah bambu di dalam sana. Ah, tak terlihat pertunjukkannya. Ucap saya risau. Benarkah kami akan kondangan di sini? Bagaimana dengan pertunjukkan angklungnya?
Seorang penerima tamu menyambut rombongan keluarga kami dan berkata dengan sangat ramah; “Maaf ibu, bapak, adik, di dalam masih ada pertunjukkan dan sangat penuh. Disarankan untuk melihat-lihat ke toko kami dulu sambil menunggu. Sekitar 15 menit lagi acaranya selesai.”
Dengan senang hati kami melangkah ke dalam toko cinderamata, lalu dilanjutkan dengan rasa was-was karena kami membawa bocah-bocah yang sangat luar biasa heboh memegang segala benda yang dipajang di toko.
Setengah jam kemudian kami mulai masuk lebih ke dalam deretan rumah-rumah bambu itu. Saya melongo ketika kami melewati aula pertunjukkan tempat angklung biasa diperdengarkan seperti yang saya lihat di televisi, berada di hadapan saya, tanpa saya duga secuilpun sebelumnya.
Kami melangkah menuju taman di belakang aula tersebut. Rumput-rumput hijau dipotong pendek dan tertata rapi terhampar di antara saung-saung kecil. Di beberapa sudut tertata meja segi empat dan kursi yang mengelilingnya. Semua terbuat dari bambu.
Pada beberapa tempat terdapat bakaran jagung, sate, soto, dan siomay. Para orangtua kami sibuk berbincang dengan saudara-saudara yang sudah lama sekali tak bersua, suara renyah dan tawa kecil mereka membuat suasana taman menjadi semakin hidup dan hangat. Sepasang pengantin yang baru memulai bahtera rumah tangga mereka terlihat berbaur dengan tamu yang mungkin hanya berkisar antara 40-50 orang, ayah dari pengantin wanita pun bergantian mengunjungi setiap meja untuk menyapa setiap tamu keluarga. Api yang menyala dari obor yang dipasang di pinggir taman menambah semarak suasana sore yang teduh, tenang, dan penuh kekeluargaan itu.
Saya berdiri terpana menatap pesta kebun yang luar biasa, memandang langit dan berucap terima kasih padaNya dengan penuh haru di tempat yang sudah lama sekali ingin saya datangi ini.
Ternyata itu belum apa-apa, teman. Boleh jadi brace ini melekat kuat pada saya dan membuat saya sedikit minder di awal penggunaannya. Tapi Dia memberi kejutan sangat manis untuk meletupkan senyuman dari dalam hati saya.
MC mengumumkan bahwa selepas Maghrib para tamu dipersilahkan untuk duduk di aula pertunjukkan. Saya berpandangan pada Ririn. Mungkinkah kami melihat pertunjukkan angklung?
Dan benar saja. Usai shalat Maghrib semua tamu duduk di aula pertunjukkan. Kedua mempelai duduk di barisan paling depan dan tetap berbaur dengan tamu di sekitarnya. MC membuka acara. Cahaya lampu menyorot pada panggung utama. Dan pertunjukkan pun dimulai.
Empat anak kecil masuk dengan tari kuda lumpingnya. Ketika mereka keluar sejenak lalu masuk kembali bersama iring-iringan, di mana barisan paling depan membawa umbul-umbul, barisan selanjutnya menggotong tandu dengan seorang anak duduk di atasnya. Lalu masuklah berderet-deret anak kecil dan dewasa yang semuanya membawa angklung mulai dari yang kecil sampai yang besar. Mereka kemudian berbaris rapi di belakang empat anak laki dan empat anak perempuan yang menari berpasangan sambil diiringi alunan angklung dan pukulan gendang.
Selanjutnya lima orang penari masuk, membawakan tari merak dengan sangat gemulainya. Layaknya burung merak jantan yang merentangkan bulu-bulunya yang indah, mereka mengembangkan sayap mereka yang berwarna-warni berkilauan tertempa cahaya lampu.
Sesi selanjutnya dimulailah Alunan RUMpun BAmbu atau yang biasa disebut ARUMBA. Tidak hanya angklung, namun para pemain itu memainkan alat musik lain yang seluruhnya terbuat dari bambu. Tak hanya lagu tradisional, ARUMBA ini membawakan lagu modern dan bahkan lagu klasik. Lagu-lagu berbahasa inggris pun memenuhi seluruh aula.
Barisan anak-anak dan dewasa kembali masuk sambil membunyikan angklungnya sebagai iringan pemain ARUMBA. Mereka seluruhnya lalu membawakan dengan sangat cantik, secara medley, lagu daerah mulai dari Bungong Jeumpa, Kicir-Kicir, Sigulempong, Burung Kakak Tua, dan deretan lagu daerah lain dari Sabang sampai Merauke.
Aula itu riuh dengan tepuk tangan para tamu dan anak-anak kecil yang berjoget di bangkunya. Sungguh saya rasanya agak sulit percaya bahwa ini bukan mimpi. Tapi sakit ketika mencubit tangan sendiri, artinya ini nyata! Tanpa saya sadari sebelumnya bahwa kami akan menikmati pertunjukkan ini secara khusus.
Manakala sesi bermain-angklung-bersama dimulai, dan angklung dibagikan pada setiap tamu, saya merasakan sensasi ketika menyentuh alat musik bambu itu. Kelas 4 SD, 14 tahun yang lalu, alat musik ini membuat saya dan teman-teman berlatih setiap hari sepanjang tahun, baik di dalam kelas, maupun di lapangan.
“Mbak dapet apa mbak? Aku do.” Tanya Aulia.
“Aku mi.” Jawab saya.
Kain bertuliskan tangga nada digelar di depan kami. Para tamu belajar membunyikan angklung dan secara bersama-sama kemudian membawakan lagu Can’t help falling in love dan Cicak-cicak di dinding, meski dengan nada yang patah-patah. (kalau sudah selesai main angklungnya jangan lupa dikembalikan ya! Itu bukan untuk dibawa pulang!)
Pertunjukkan mendekati akhirnya. Para tamu dipersilahkan turun untuk memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Ternyata ketika kami turun dan mendatangi mereka, anak-anak kecil dengan pakaian warna-warninya itu menarik tangan kami dan berkata sambil tersenyum; “Kak, ayo kita menari.”
Saya menatap Ririn dan Dyas, bingung. Ternyata bukan hanya saya yang diajak menari, seluruh tamu sudah berpegangan tangan dengan anak kecil dan bersiap menari bersama.
“Ikuti gerakannya ya.” Ucap sang anak, dengan lembut adn logat Sunda, pada saya. Alunan nada dari musik bambu kembali muncul dengan penuh semangat. Seluruh tamu, baik kakek, nenek, ibu, bapak, remaja, dan anak kecil berpegangan tangan membentuk lingkaran besar, berputar ke kiri, ke kanan, menyilangkan kaki kiri dan kanan bergantian sambil sedikit melompat, dan berputar kembali, mengikuti gerakan anak-anak dari saung angklung yang mendampingi kami. Ketika lagu ular naga mengalun, kami membentuk deretan ular raksasa. (Eh.. ular naga kan emang ular raksasa yah? :p)
Anak kecil berbaju kuning yang terus memegangi tangan saya itu mencontohkan tangannya yang ditepuk secara bergantian ketika lagu Rasa Sayange dimainkan. Lalu lagu selanjutnya goyang pinggul kanan dan kiri, berjongkok, lalu berdiri lagi. Semua gerakan sang anak kami ikuti sambil tertawa-tawa girang. Di antara keriuhan dan kerumunan itu, Dede Aya sangat terlihat menikmati sesi ini. Joget adalah keahlian nomor satunya!
Ah, siapa bilang brace membatasi gerak? Rasanya saya tak kan melupakan malam yang penuh keriuhan musik bambu dengan kami yang bergoyang ke sana kemari itu. Barisan anak menyalami para tamu dan melambaikan tangan, mengucapkan terima kasih, ketika medley lagu usai.
Kami berterima kasih luar biasa pada keluarga mempelai yang sudah mengundang keluarga kami, juga pada kakung (kakek) kami yang tak memutus tali silaturahim sehingga kami bisa sampai di Saung Angklung Mang Udjo ini, tempat yang pernah saya mimpikan untuk didatangi.