Empat alasan kenapa saya menulis buku
Ada banyak alasan tentunya mengenai “mengapa saya menulis buku?”. Untuk apa bersusah-susah merangkai kata dan menuangkannya? Supaya kepala tak penuh? Sebagai sarana untuk terus berlatih menggoyangkan pena? Atau supaya dikenal orang?
Dengan segala keriweuhan dan proses yang sungguh tidak mudah, kenapa masih juga ingin menulis buku? Self publishing pula?!
- Sebagai bagian dari kampanye #SadarSkoliosis
Banyak yang masih belum ngeh mengenai apa itu skoliosis. Atau ada juga skolioser yang merasa minder, tidak berguna, menganggap sesuatu peristiwa yang ia tidak suka (misalnya tidak diterima kerja, diputuskan pacar, dan lain sebagainya) penyebabnya adalah karena tulang punggungnya yang bengkok! Haduuh..haduuh…
Berkaca dari pengalaman “ketidaktahuan” saya sendiri dan menunda pemeriksaan ke dokter, saya tak mau lagi ada yang merasa tertinggal atau tidak mendapat informasi mengenai skoliosis. Saya pikir penting sekali untuk mencegah seseorang bilang; “Nggak tahu nih punggung saya kenapa. Saya sih nggak perduli.”
Atau jangan sampai juga ada yang bilang “I hate my back!” (Hei, itu bagian dari diri sendiri lho).
Saya bersyukur menunda pemeriksaan skoliosis karena ketidaktahuan dan berujung pada mengenakan brace, sementara ada kawan-kawan yang mengalami masa ketidaktahuan yang berakibat harus menjalani operasi yang tentunya membutuhkan perjuangan energi, waktu, dan, dana yang sangat luar biasa.
Ketika menulis kemudian menjelma menjadi bagian yang seolah sulit dilepaskan, saat mulai mengenakan brace itulah maka saya memilih menulis sebagai salah satu sarana berbagi untuk skolioser dan masyarakat umum. Menulis buku? Ah, belum bisa! Maka saya pilih blog untuk berbagi saja. Lalu bermuncullah kawan-kawan skolioser yang mampir dan akhirnya berkenalan. Yes, we are a happy scolioser!
Tapi semakin lama, berbagi lewat blog mengenai brace dan skoliosis saja rupanya belum cukup. Rasanya belum semuanya memiliki akses internet setiap saat. Dan tidak semuanya juga mau mampir ke rumah maya saya ini, membaca segala campur aduk tulisan yang ada di sini.
Jadi, bagaimana kalau membuat buku?
“Yul, seriously??”
Hmm… sebuah ide yang terlihat tak matang saat itu. Mengingat keterbatasan literatur dan kemampuan menulis saya yang rasanya masih jauh di bawah blogger lain yang tulisannya lebih waah. Tapi bukankah tujuan ini untuk berbagi?
Lalu berdatanganlah orang-orang yang memiliki kapabilitas yang saya butuhkan. Sahabat SMA yang bisa jadi editor, kawannya Abang yang bisa bikin ilustrasi, dan juga rekan komunitas yang bisa bikin desain. Iya, saya mau bikin buku indie. Self publishing yang semuanya benar-benar saya urus sendiri. (Tentang tim penulisan buku baca di sini).
Ketika orang-orang dengan kapabilitas tersebut datang, harusnya sih saya nggak heran ya. Apalagi kalo inget quotation-nya Paulo Coelho (saya sih belum baca bukunya. Sabar ya ini buku-buku pada ngantri minta dibaca!), katanya begini nih:
And, when you want something,
all the universe conspires in helping you to achieve it.
Lalu dimulailah tulisan demi tulisan yang dilempar dan direvisi bolak-balik sampai saya bahkan mual! Mabok lihat tulisan saya sendiri yang banyak salahnya, penuh coretan. Meski buku indie tapi bukan berarti boleh asal jadi, kan? Meski diterbitkan sendiri tapi bukan berarti saya nggak butuh revisi 100 kali, kan?
Nah, dengan menuliskan pengalaman dalam buku ini, saya berharap orang-orang lebih sadar bahwa skoliosis itu ada dan bisa menimpa siapa saja. Seperti yang pernah saya ceritakan, di luar dugaan saya bahkan sampai menjelaskan mengenai apa itu skoliosis di meja kurir pengiriman karena petugas kurir dan kawan-kawannya sampai hafal wajah saya yang bolak-balik mengantarkan pesanan buku! Mereka kemudian penasaran buku apa sih yang saya tulis?
Dan buat skolioser, berapapun derajatnya, apapun penanganan yang diambil, saya berharap buku ini dapat menambah jumlah karya mengenai skoliosis yang saat ini masih sangat jarang ditemukan. Juga untuk membangkitkan semangat para skolioser agar tidak malu mengungkapkan sisi skoliosisnya (tanpa mengumbar-umbar berlebihan tentunya) dan meneruskan langkah untuk berkarya dengan cara apapun.
2. Karena saya pustakawan.
Jika hampir setiap harinya berkutat pada deretan buku-buku baru yang siap dibaca pemustaka dan menjadi bagian dari proses transfer ilmu pengetahuan, siapa yang tidak tergoda untuk juga menulis buku? Aih, saya tak sanggup menolak godaannya!
Nih, saya kasih twit dari Runi yang sesama pustakawan XD.
Dan ketika tiba pada hari (akhirnya) saya mengolah sendiri buku saya, rasanya itu… campur aduk!
3. Sebagai tantangan untuk mencoba hal baru
Waktu kecil saya paling tak suka tugas mengarang dalam pelajaran bahasa Indonesia! Setiap guru memberi murid tugas atau latihan mengarang, saya selalu bersikap tak suka. Saya tak pernah memperoleh nilai baik dalam setiap tugas mengarang yang dikumpulkan. Bahkan meski bentuknya adalah PR dan saya bisa memiliki waktu banyak untuk berpikir dan menyusun kata-kata.
Saya selalu merasa buntu dalam mengarang. Jika ada tugas mengarang dengan tema “pergi tamasya dengan ayah”, maka saya akan bercerita mengenai pengalaman pergi ke kebun binatang bersama ayah. Di paragraf pertama saya akan bercerita hari, tanggal, dan naik apa kami ke kebun binatang. Selanjutnya saya akan bercerita bahwa saya melihat orangutan, macan, harimau, dan singa di kandangnya masing-masing. Paragraf berikutnya saya sudah kehabisan ide sehingga kembali bercerita bahwa saya melihat orangutan dan juga monyet. Demi mencapai target sekian kata dalam paragraf dan tugas mengarang, saya malah mengulangi kata-kata dan rangkaian kalimat yang sudah dituliskan sebelumnya sehingga cerita menjadi monoton serta tidak nyambung. Saat itu saya sungguh tak suka menulis.
Tapi lalu sekarang? Huuaaaa…. kalau tidak menulis rasanya kepala saya penuh.Menulis blog dan lalu merambah ke menulis buku tentunya menjadi tantangan yang luar biasa berat bagi saya. Ditambah lagi proses yang tercipta setiap detik dari setiap halamannya. Mulai dari mengembangkan tulisan saat macet di Kopaja, begadang tengah malam, mencoba menyamakan ide dan imajinasi untuk ilustrasi, berdamai dengan tulang punggung yang juga berteriak karena diajak duduk untuk menulis terus, datang lebih pagi ke kantor untuk meng-edit tulisan sebelum jam kerja, hingga belajar berdiskusi dan mengeluarkan pendapat. Hal terakhir ini yang paling sulit saya lakukan!
Lalu deg-degan menanti kelahiran buku ini rasanya bikin campur aduk asoy. Hingga ketika mata secara tak sengaja tertumbuk pada tulisan pembaca atau foto dari pembaca, atau sepotong status yang isinya merasa senang dengan adanya buku ini, rasanya semua proses dalam menulis hingga menerbitkannya terbayar lunas.
3. Sebagai ucapan terima kasih untuk alm. Bulik Pikoh.
Karena dirinyalah saya merasa ada kawan yang sama-sama berjuang. Bulik Pikoh yang 3 tahun lalu terkena kanker memutuskan untuk menolak menyerah dan tetap melanjutkan kegiatannya sehari-hari sebagai seorang ibu dengan berbagai pekerjaannya sehari-hari sambil terus berusaha dan berdoa. Jadi, kenapa saya yang pakai brace harus mengeluh? Maka chapter mengenai dirinya pun saya tuangkan juga di buku.
Meski buku ini didedikasikan untuknya, ia justru pergi di saat tulisan saya hampir memasuki tahap akhir. Dan rasa bersalah serta rasa sedih karena tak sempat menghadirkan buku yang sudah jadi ke hadapannya itu hampir tidak bisa saya tolak. Sekarang, saat melewati 1 tahun kepergiannya saya tersadar bahwa ia memang sudah pergi tapi semangatnya (semoga) tetap tersimpan dalam chapter di tulisan saya dan bisa terus menyebar pada yang membaca. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik untukmu, Bulik Pikoh. Aamiin.
Lega sekali rasanya ketika buku diterbitkan. Harapan-harapan di awal penulisan tercipta tapi tentu sebagai penulis saya menyerahkan sepenuhnya pada pembaca.
Rasa senang berlanjut apalagi ketika mendapat kesempatan melakukan book sharing di sebuah acara yang diadakan para skolioser Bandung yang selama ini hanya saya kenal di dunia maya.
Meski nervous luar biasa karena berbicara di depan umum dan pertama kalinya melakukan book sharing, tapi saya bersyukur bisa hadir di acara tersebut dan bertemu dengan skolioser lain dari Bandung dan sekitarnya. (baca cerita mengenai book sharing skolioser di sini).
Bahkan hingga cetakan pertama (150 eksemplar) habis dan kemudian saya memutuskan mengadakan cetakan ke-2 sebanyak 100 eksemplar, proses penulisan ini tentunya terus berlanjut dan tidak lantas berhenti.
Jadi, kenapa menulis buku? Jawaban no. 4 dan paling utama adalah:
Karena saya suka menulis!
“Publishing is a tough business, full of frustation for even the most successful writers. If you write primarily to be published and to be an author, you will never be a happy writer.” (Writer’s idea book, p. 23)
Catatan:
*Tulisan ini adalah draft yang tertunda sejak bulan Februari 2014, didedikasikan dan diluncurkan di blog pada 27 September 2014 tepat 1 tahun 10 hari kepergian Bulik Pikoh, dan di-edit kembali pada 2 Maret 2016.