Ujung Genteng dan keramahan terhadapnya (2009)
Catatan perjalanan ke Ujung Genteng ini dimuat di Majalah Sekar edisi 18/09 November-Desember 2009. Tapi emang dasar saya tidak bisa menulis jika dikasi ketentuan panjang sekian-sekian, maka jadilah tulisan yang dihasilkan [selalu] kepanjangan sehingga dari 10 foto yang dikirimkan hanya 3 buah yang ditampilkan pada halaman itu. Ya toh nggak mungkin dimuat semuanya.
Jadi mari dituangkan di sini, dengan foto yang lengkap, dan tentu saja dengan catatan yang berbeda dan lebih panjang lagi.
Mei 2009
Saat itu rasanya isi otak saya dipenuhi dengan segala macam literatur skripsi yang bahasanya sulit dimengerti, hasil wawancara penelitian yang tulisannya acak-acakkan, otak yang semakin mengalami masa ruwet karena mabuk bahasa asing yang awalnya saya sukai, dan hati yang sulit untuk mendefinisikan satu fase kegalauan tentang dirinya.
Sehingga, manakala ada satu perjalanan menjelajah, saya berniat menyanggupinya. Terutama karena tujuan utamanya adalah penyu; biota laut yang menarik hati saya sejak bertahun-tahun lamanya. Biota yang menarik saya untuk bersama-sama melakukan liukan tarian di antara terumbu karang, hewan purba yang pernah menjentikkan kuat-kuat tekad saya untuk sembuh agar bisa diperbolehkan menyelam.
Bahkan penyu-lah yang meledakkan semangat saya, yang terserang muntah-muntah dan buang air, satu hari menjelang berangkat, untuk terus mengunyah.
Risau karena untuk melakukan perjalanan ini butuh satu bulan lamanya meminta izin pada orangtua, dan ketika sudah siap packing saya justru diserang sakit. Sambil terus mengunyah cemilan di tempat tidur dengan kondisi perut yang sama sekali tak boleh kosong, saya menatap tas yang membisu di pojok kamar. Sembuh, lalu berangkat atau; belum pulih, lalu tidak berangkat. Itu adalah pilihannya.
Dan kekuatan mimpi itu memang menakjubkan. Dua belas jam sebelum keberangkatan, muntah-muntah dan buang air itu menghilang. Meski dengan kondisi yang sedikit masih lemah, saya mengisi si biru dengan barang-barang yang dibutuhkan selama perjalanan sambil tertawa-tawa bersama adik sepupu mengingat latihan dengan alat snorkle tadi di bak mandi.
Ujung Genteng, menjadi satu letupan kecil di bulan Mei itu, yang kembali menyadarkan saya pada satu hal; pentingnya pelestarian sekecil apapun itu, dan kekuatan kepercayaan diri untuk terus melangkah dengan rasa optimis.
Kami berangkat dari Jakarta pukul 12 tengah malam. Terang bulan purnama dan kabut malam menemani saya, yang sulit tidur, seiring perjalanan menuju Sukabumi. Dan selama perjalanan malam itu pun saya terus berusaha menghabiskan satu bungkus biskuit, selama beberapa jam ke depan tak boleh sekejap pun membiarkan lambung kosong.
Ujung genteng merupakan sebuah kawasan pesisir yang terletak di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, dengan waktu tempuh kira-kira 8 jam dari Jakarta. Kabarnya untuk sampai ke sana dengan angkutan umum bisa berganti angkutan sampai lima kali. Namun saat itu rombongan kami berangkat dengan menggunakan bus yang sudah disewa dengan jumlah penumpang kira-kira 20 orang. Selama perjalanan hanya sedikit yang terjaga, sisanya tertidur mengingat jarak Ujung Genteng yang cukup jauh dari Sukabumi, yang biasa saya ketahui.
Kurang lebih pukul 08.30 kami sampai di kawasan Muara Sungai Cikarang. Tempat transit ini oleh teman-teman disebut “Tanah Lotnya Ujung Genteng”. Disebut Tanah Lot karena [katanya] pemandangan sebuah pulau di tengah laut di depan kami mengingatkan pada Tanah Lot, Bali (saya sih nggak tahu serupa atau tidak, belum pernah ke Bali hehe).
Puas menyantap sarapan pagi berupa roti sambil menikmati deburan ombak dari kejauhan, kami pun siap berangkat lagi untuk menuju tempat penginapan yang tidak jauh dari “Tanah Lot” ini. Daerah tempat kami menginap terletak di Desa Kelapa Condong, Gunung Batu, yang langsung menghadap ke laut.
Begitu sampai di tempat penginapan, tanpa mandi terlebih dahulu, saya langsung mengeluarkan alat snorkle dari si biru dan menceburkan diri ke laut, bergabung bersama teman-teman lain.
Ombak kecil bergulung ke arah saya, seolah menertawai diri ini yang kebingungan dengan alat snorkle untuk pertama kalinya. Berulang kali air asin itu masuk ke dalam mulut, berulang kali mencoba mendekat kepada ikan kecil warna-warni yang berusaha lari sejauh-jauhnya supaya tidak muntah melihat manusia yang norak dengan alat yang dipakainya ini.
Ketika sudah semakin akrab bernafas lewat mulut, beberapa ikan mendekati saya yang berenang dengan tenang. Memang tak terlihat terumbu karang dari sini. Namun, laut dangkal yang cukup jernih itu mengingatkan saya pada sebuah mimpi yang berulang kali muncul ketika malam hari. Mimpi tentang tarian anemon dan penyu.
Namun perjalanan sesungguhnya dimulai pada sore harinya.
Empat kilometer adalah jarak yang harus ditempuh menuju tempat penangkaran penyu. Jumlah itu saya ketahui ketika sudah pulang. Sewaktu menempuh jarak, saya tak tahu berapa lama atau berapa meter lagi harus melangkah, menjejaki pasir pantai yang menyelip di antara jari-jari kaki, dan terkena cipratan ombak jika berjalan terlampau ke bibir pantai.
Angin bertiup tak terlalu kencang. Laut saat itu surut sehingga karang terlihat di sana-sini. Pesisir ini tidak ramai oleh banyak orang. Kami hanya bertemu dengan seorang ibu yang sedang menemani anaknya bermain air di antara cerukan karang, seorang bapak bersama dua anak yang sedang menebarkan jaring, laki-laki dan sekelompok kecil sapinya, dan beberapa nelayan yang melintas.
“i can’t take the distance… i can’t take the miles.”
(Evan and Jaron, The Distance)
Langkah kaki kemudian tertahan oleh tanaman liar di antara pasir dan karang-karang kecil yang tajam. Peserta yang semula tak menjinjing alas kakinya langsung mengenakannya kembali. Pada kilometer ini saya berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Pada jejak yang sudah terekam di pasir, pada jarak yang sudah dilalui.
“I will go the distance… i will go the miles.. That’s how much you mean to me.”
(Evan and Jaron, The Distance)
Mimpi-mimpi itu melontarkan saya ke sini. Mimpi-mimpi meliuk bersama penyu dan gelembung udara, melejitkan saya untuk terus melangkah pada kilometer ini. Sejurus kemudian warna pasir berubah. Begitu juga dengan butiran pasirnya. Semakin halus, sehingga beberapa peserta melepas alas kaki kembali. Di kilometer ini angin bertiup kencang dan ombak bergulung dalam skala yang besar. Sehingga bisa dengan mudah ditemukan beberapa turis asing yang berselancar. Buat orang-orang seperti mereka, ombak besar adalah anugerah.
Pasir yang semakin lembut. Saya tahu, sedikit lagi, saya akan sampai.
Dan benar saja, dari kejauhan terlihat dua sosok, dengan jarak beberapa meter di depan sana, menggotong dua ember hitam. Angin bertiup kencang menerpa wajah. Saya mempercepat langkah, semakin tak perduli pada butiran pasir yang menempel di pakaian, lalu semakin lama menjadi setengah berlari.
Sedetik kemudian terpana melihat puluhan tukik (anak penyu) berwarna biru tua berkejap-kejap berebutan keluar dari ember, puluhan tukik yang pernah berebutan masuk ke dalam mimpi.
Saya meraih satu tukik, meyakini penyu adalah biota laut terkuat di seluruh samudera. Sambil berlutut pada pasir, menyingkirkan kerudung yang beterbangan, saya meletakkannya pada butiran halus pesisir yang tentu saja sudah ia kenali sedalam relung hatinya. Sang tukik mulai merayap maju. Ia langsung mengenali arah mana yang harus ia tuju menuju laut lepas.
Matahari mengakhiri tugasnya hari itu. Langit mulai gelap. Bibir pantai dipenuhi tukik yang merayap dan peserta yang bersorak sorai menyemangati mereka, sorak sorai yang timbul tenggelam di antara deru angin dan debur ombak.
Beberapa tukik langsung berenang dengan sukses begitu mereka menyentuh gulungan ombak kecil yang datang. Namun banyak yang justru terlempar kembali ke pantai karenanya. Membuat usaha mereka yang merayap menuju laut lepas terlihat nihil dan mereka harus mengulangnya lagi. Ada yang kemudian sukses, tapi sisanya harus merayap sampai berulang-ulang kali. Gagal lagi dan lagi dilontarkan ombak. Seolah lelah, tapi tukik itu tetap mengulanginya lagi dan lagi. Ah, inilah sesungguhnya makna seluruh perjalanan ini. Melangkah optimis dengan tak mudah menyerah.
Biota yang satu ini memang menakjubkan. Ia mampu berpetualang hingga lebih dari 1000 kilometer, mampu mengingat pantai tempatnya menetas. Sehingga betapapun jauhnya penyu betina bertualang, jika sudah waktunya bertelur, ia akan kembali ke pantai tempat ia menetas lalu menggali pasir untuk bertelur, meneruskan garis keturunannya.
Hewan cantik ini bertelur banyak sekali, sampai ratusan dalam sekali bertelur, tetapi peluang anak penyu atau tukik untuk hidup sampai dewasa adalah 1: 1000 yang artinya dari ratusan telur yang menetas itu, hanya sedikit sekali yang bisa terus bertahan sampai dewasa dan bertelur kembali.
Penyu adalah hewan yang telah terancam sejak induknya mengeluarkan telur itu dari kloakanya. Ya, hewan ini sudah terancam sejak ia masih berada di dalam cangkang telurnya. Dan ancaman terbesar datang dari manusia yang mengorek-ngorek pasir untuk menemukan lubang yang telah digali dengan susah payah oleh sang induk penyu, kemudian mengumpulkannya dan mengambilnya untuk dikonsumsi atau dijual.
Jika tukik atau anak penyu berhasil menetas, mereka masih harus menghadapi predator seperti kepiting, burung, dan ular.
Apakah hanya itu? Tidak. Ketika dia lolos dari berbagai ancaman tersebut dan sudah mulai dewasa, masih ada ancaman terbesar lagi dari manusia yaitu menangkapnya lalu diambil karapasnya sebagai bahan kerajinan tangan atau untuk hiasan dinding.
Sampah juga menjadi andil yang cukup besar dalam masalah penyu ini. Sampah plastik dan stereofoam yang mengapung di lautan sering dikira sebagai ubur-ubur makanan favoritnya, membuat penyu tercekik ketika menelannya.
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan hewan ini semakin menurun populasinya. Dengan segala ancaman itu, penyu dikategorikan sebagai endangered species atau hewan yang terancam punah. Inilah pentingnya penangkaran yang ditujukan sebagai bentuk salah satu pelestarian agar telur penyu tak diambil manusia dan memberi peluang lebih besar bagi tukik untuk menetas.
Lihatlah semua masalah itu. Ia sudah dirundung berbagai cobaan bahkan ketika sebelum menetas. Tapi ketika baru menyentuh pasir, ia langsung tahu bahwa menyerah adalah bukan bagian dari hidupnya.
Di pantai ini tukik menetas dan menuju laut, maka di pantai ini jugalah nantinya mereka kembali untuk bertelur. Manakah di antara mereka yang bisa bertahan hidup dan kembali untuk bertelur? Akankah semua dari mereka? Sebagian? Ataukah hanya satu? Tak ada yang tahu.
Langit semakin gelap. Tukik terakhir telah berhasil bersahabat dengan ombak. Kami berlalu dari pantai menuju Pos Pengawasan Pelestarian penyu. Di Pos itulah kami akan menunggu sampai nanti tengah malam ketika induk penyu betina naik ke daratan untuk bertelur, satu lagi daya tarik wisata Ujung Genteng ini.
Pukul 23.00
Semakin larut malam, deru motor di luar pos memecah keheningan. Satu motor, dua motor, semakin lama semakin banyak motor yang parkir di depan pos yang kami singgahi. Mungkin saat ini ia sedang berenang menuju pantai, dan tak menyadari sama sekali betapa banyak manusia yang menantinya. Saya khawatir sang induk penyu akan terganggu karenanya.
Satu mobil berhenti di depan pos, seisi penumpangnya turun. Dengan suasana seramai ini, kasihan sekali induk penyu.
Setengah jam kemudian kami menuju pantai tak jauh dari tempat melepas tukik sore harinya. Dari jauh sudah terlihat ramainya pengunjung yang sedang mengerumuni sesuatu di pasir. Blitz kamera menyerbu dari segala penjuru.
Sangat tidak diperbolehkan untuk menggunakan blitz pada penyu yang sedang bertelur, juga menyorotnya dengan senter atau cahaya lain. Penyu merupakan hewan yang sensitif pada cahaya dan keramaian, ia bisa saja stress. Bahkan pernah terjadi penyu naik ke daratan namun melihat banyaknya orang di pantai itu ia pun kembali lagi dan tak jadi bertelur.
Tak berniat menambah ramai kerumunan, saya pun mengurungkan niat. Diam saja pada jarak yang cukup jauh. Melongok pada sang induk penyu pun tidak.
Pukul 00.15 tengah malam, kami kembali ke penginapan. Sambil berjalan kaki kembali tanpa diiringi hembusan angin, saya menatap langit malam tak berbintang. Dua hal yang berlarian dalam benak; kesenangan pada wisata dan kebaikan untuk alam yang menjadi tujuan berwisata.
Antara kesenangan akan alam dan kebaikan yang harus kita berikan pada alam. Girang melihat terumbu karang bawah laut atau menyaksikan matahari terbenam namun sedetik kemudian melemparkan sampah ke laut. Atau senang bisa berfoto dengan penyu yang sedang bertelur namun blitznya membuat penyu tak nyaman. Ada banyak hal kecil yang bisa kita hindari dan hal kecil yang bisa dilakukan untuk membuat segalanya menjadi lebih baik. Hal kecil yang jika dilakukan terus menerus bisa berdampak besar. Tidak membuang sampah sembarangan, memulai mengurangi sampah plastik dan menghindari penggunaan stereofoam adalah salah satunya. Hal kecil ini berdampak besar pada lingkungan, khususnya pada penyu.
Lampu-lampu rumah bermunculan menandakan area penginapan tak lagi jauh. Kami menaiki undakan tangga. Beberapa yang masih sanggup terjaga meraih gitar dan memainkannya. Sementara saya, usai mencuci kaki dan tangan, menggelar sleeping bag di ujung kamar, lalu terlelap dengan pikiran dan kenyataan masih banyak sekali langkah yang harus ditempuh dalam sebuah upaya pelestarian.
10 Mei 2009
Curug cikaso menjadi penghujung perjalanan kami di Ujung Genteng. Sebelum mencapai curug, kita menaiki perahu dulu yang melewati sungai berwarna cokelat namun tidak lama kemudian langsung berubah menjadi hijau. Bagi saya, curug Cikaso merupakan salah satu curug terindah yang selama ini pernah saya datangi.
Puas berbasah-basahan dan bahkan terjatuh karena licinnya bebatuan [bagi saya], kami kemudian bertolak menuju Jakarta. Meninggalkan Ujung Genteng yang memberi makna mengenai sebuah langkah riang bernama “tak mudah menyerah”.