Pameran “Namaku Pram”
“Ada pameran Pram di Kemang, mau ikut nggak? Gratis.”
Aba mengirimkan pesan via wa pagi itu. Ia dan teman-teman kampusnya berniat datang ke pameran tersebut kemudian buka puasa bersama. Saya langsung mengiyakan, tapi kemudian siang hari ketika mendekati waktu berangkat, A pun memasuki jam tidurnya. Tak mungkin saya bangunkan hingga akhirnya saya membatalkan niat tersebut. Sementara Abang tetap pergi bersama teman-temannya.
Dua hari kemudian, saya baru ingat bahwa hanya tinggal tersisa dua hari pameran tersebut berlangsung. Ide dadakan untuk berangkat pun muncul. Saya pikir kami akan memakan waktu lama di pameran sambil menanti buka puasa dan lalu kami menuju tempat makan udon. Sudah sejak beberapa hari sebelumnya saya ngidam makan udon!
Kami bertiga pun meluncur ke Dia.lo.gue Art Space di Kemang. Ini pertama kalinya saya ke tempat nongkrong yang katanya hits dan tangganya instagrammable itu. Saya baru tahu kalau lokasinya tidak terlampau jauh.
Sejak di rumah hingga tiba di lokasi, saya memberi tahu A kalau kami akan menuju acara pameran. “Pameran itu apa?” Katanya. Saya bilang saja dulu, “Pameran foto.”
Saya pesankan nanti jangan lari-lari banget atau goyang-goyangin barang yang di sana ya. Hati-hati ya. Ia pun setuju.
Tiba di lokasi rupanya cukup banyak yang berkunjung. Time line riwayat hidup Pram pun dibaca perlahan sambil mengantri. Sementara saya mengikuti lajur antrian, Abang dan A lebih dulu menelusur ke belakang, khawatir A bosan.
Ada banyak sekali surat dan kartu pos yang diterima maupun dikirimkan Pram saat berada dalam pengasingan, juga cerita tentang saat ia akhirnya diizinkan kembali menulis di dalam penjara.
Khusus untuk time line, kartu pos, dan surat-surat tidak boleh difoto oleh pengunjung. Ingin sekali rasanya saya mengingat isi dari kartu pos tersebut tapi tak mampu.
Kami akhirnya melihat ke ruangan tiruan yang dulu digunakan Pram untuk menulis. Ia menggunakan lebih dari 1 mesin tik untuk menuangkan ide-idenya.
Di bagian luar ruangan, digantung kain-kain putih memanjang yang disusun berjajar bertuliskan quote-quote milik Pram.
A kemudian sudah ribut lapar, maka kami pun pulang. Saya hanya berbisik padanya, “Mahal!” Saat ia bertanya kenapa kami nggak makan aja di sana. 😅.