Mengenang Cupi (1)
Tadinya saya pikir di penghujung bulan Desember 2015 saya akan menulis kenangan tentang satu tahun lalu saat proses melahirkan A. Tadinya saya pikir saya akan disibukkan dengan persiapan menjelang mudik ke Jawa Tengah bersama A pertama kalinya.
Tapi kemudian satu berita datang menghentak: Cupi, kawan kuliah saya saat itu, terbaring di rumah sakit.
Kami pun berniat menjenguknya saat akhir pekan. Dan rasanya jadi tak sabar karena semenjak berita diterima seolah-olah bumi jadi lambat berputar sehingga hari Sabtu tak kunjung datang.
Yusuf kerap dipanggil Ucup atau Cupi. Kadang saya nggak tahan memelesetkan namanya jadi Yusuf Margonda alih-alih Yusuf Margono. Cupi adalah orang pertama yang saya kenal saat kuliah selain kawan-kawan satu SMA yang kemudian satu jurusan dengan saya. Urutan absen kami juga dekat, perawakannya sama kaya saya, kurus banget, tapi dalam versi laki-laki yaitu lebih tinggi sedikit, sehingga saya yang sulit adaptasi dengan orang baru karena minder dengan berat badan ini merasa senasib dan jadi sering bertanya tentang perkuliahan padanya.
Belakangan, karena selalu satu kelas sejak dari jaman menjadi Maba alias mahasiswa baru bersama-sama Abang juga, saya jadi hafal sama Abang dan Cupi di semester-semester selanjutnya.
Saya ingat betul waktu ada mata kuliah Bacaan Anak dan kami mendapat tugas mendongeng di depan kelas, saya satu kelompok dengan Cupi. Lalu ia mengutarakan ide mendongeng seperti wayang. Maksudnya kami menggambar tokoh-tokoh cerita di kertas lalu digunting dan ditempel pada batang lidi sementara kami nantinya akan ngumpet di kolong meja sambil bercerita sehingga yang terlihat oleh penonton hanyalah tokoh-tokoh di atas meja tersebut. Entah kebetulan atau tidak, dalam sekejap saja ide ini kemudian tenar di kalangan kelompok lain sehingga di hampir banyak kelompok menggunakan cara yang sama. Tak apalah toh jadi seru.
Cupi menambahkan nantinya kami membuat panggung kecil dari kardus sebagai background cerita lalu sinar dari alat OHP (tau kan dulu yang buat presentasi itu, kalo nggak tau yo wess) akan dibuat menyorot ke arah panggung kecil kami itu.
Saya dan Cupi lalu sibuk berpikir bagaimana caranya supaya kami bisa mengganti background tanpa harus menongolkan diri kami ke atas meja. Lalu saya punya ide untuk membuat roll manual dari kertas yang digulung dan diselipkan di bagian atas kardus. Syaratnya ketika mengganti background harus perlahan dan banyak berdoa supaya kertas yang menjadi background itu nggak sobek ketika kami gulung dari kolong meja. Waktu saya sampaikan ini ke teman yang lain, hanya Cupi yang ngerti. Yang lain dadah babay 😣.
Singkat cerita kami sukses membawakan dongeng, setidaknya tidak ada properti yang roboh atau rusak ketika sesi berlangsung. Hanya saja kami kebagian dapat giliran terakhir, sehingga ide cemerlang dari Cupi dengan pertunjukan dongeng menggunakan tokoh-tokoh yang ditempelkan pada lidi itu menjadi sama saja dengan yang lain sehingga cenderung itu lagi-itu lagi dan penonton keburu bosan 😂.
Cupi sukses bikin saya iri waktu ia memamerkan foto bareng kawan-kawan lain saat perjalanan mendaki ke Gunung Gede. Foto 1 kelompok pendakian yang duduk berjajar di sebuah jembatan kayu di area Taman Nasional Gede Pangrango. Saya nggak tahu seberapa jauh tempat itu, tapi yang jelas waktu lihat foto itu saya mengucap doa semoga bisa ke tempat itu juga suatu hari nanti..
Maka foto tersebut di kemudian hari pun sukses menghantui dan memacu diri untuk sembuh serta berdamai dengan MVP di jantung yang membuat saya sempat merasa seluruh dunia tidak berpihak pada saya.
Lalu bertahun-tahun kemudian saya benar-benar berada di jembatan rawa gayonggong. Bukan untuk mendaki ke Gunung Gede atau Pangrango melainkan sebagai titik awal untuk sampai ke Cibereum. Dan saya berterima kasih pada Cupi yang sudah menunjukkan foto itu pada saya.
Pasca lulus kuliah, Cupi ikut bergabung bersama saya dan teman-teman lain untuk mengadakan berbagai acara dan menyalurkan buku-buku bacaan ke berbagai pelosok di Indonesia. Ia sempat pula ikut outbond bareng anak-anak panti asuhan ke Kandank Jurank Doank dan Taman Buah Mekarsari. Saat ke Taman Buah itu Cupi menawarkan diri membuat tulisan Kelana Kelapa dari karton.
Setahun sebelum sakit ia bahkan menjemput buku di rumah salah satu donatur lalu membawa pulang semua buku berjumlah banyak itu dengan kereta ke rumahnya. Lalu beberapa bulan sesudahnya mengirimkan keseluruhan buku tersebut ke salah satu taman baca di Jogja.
Saya dan Runi sempat menetapkan Cupi sebagai top volunteer of the day sewaktu kami bertiga ngebolang ke Taman Baca Warabal Ibu Kiswanti di Parung, Bogor tahun 2013. Saat itu Cupi menembus banjir dari Cengkareng lalu bersama-sama kami naik angkot menuju taman baca Bu Kiswanti.
Baca juga: Ngebolang ke Warabal (lagi)
Semua kenangan itu, lambat-lambat meluruh jadi satu dan tanpa saya sadari pandangan saya pada Cupi, yang terbaring tanpa sadar, terhalang butiran bening. Saya, Abang, Nurul, Shella, dan Alfan menjenguknya di RS. Di sana lalu bertemu Tata dan Irsyad.
Orangtua Cupi berkata bahwa sulit sekali membedakan apakah saat itu ia sedang tidur atau terbangun. Karena matanya selalu terpejam meski sesekali mengeluarkan air mata. Sebelumnya ia masih bisa berkomunikasi namun tidak dengan dua hari belakangan ini.
Selang 1 jam ada tetangga yang menjenguk dan karena ruangan terbatas maka kami pun pamit pulang. Lalu esok hari minggu, 20 Desember 2015 kami mendapat kabar duka bahwa Cupi telah berpulang.
Saya yang waktu itu sedang berada di Cibubur mengontak Abang yang sedang pulang ke Ciputat. Setibanya di rumah kami kemudian berangkat lagi untuk kemudian menuju RS. Dan ketika tiba di ruang jenazah saya tidak sanggup untuk melihatnya sehingga hanya menanti di luar ruangan ketika peti jenazah dikeluarkan dan jenazah siap dishalatkan. Rencananya alm. Cupi akan dimakamkan di Purwokerto.
Kami melepas keberangkatan Cupi menuju tempat terakhirnya dengan saya yang terisak. Saya ingat ada kesalahan padanya semasa kuliah dan semoga ia sudah memaafkan saya.
Sulit pula untuk saat itu memaafkan diri sendiri yang tidak tahu kabar kesehatannya setahun terakhir ini padahal saya banyak meminta bantuan darinya. Meski saya beberapa kali sempat bertanya padanya yang mengunggah foto bertemakan RS dan ia tidak menjawab apapun, saya tidak menanyakan padanya lagi lebih lanjut. Terakhir kami bertemu berarti saat buka puasa bersama di Rumah Anyo, rumah singgah untuk anak-anak kanker, 1 tahun lalu.
Malam harinya saya tersadar bahwa paket peralatan sekolah dan buku-buku bacaan saat itu masih berada dalam perjalanan menuju sebuah Sekolah Dasar di Riung, Nusa Tenggara Timur dan Cupi berkontribusi besar atas terkumpulnya peralatan sekolah tersebut.
Ah, Cupi banyak sekali kebaikan yang sudah diberikan untuk orang lain. Semoga Allah melapangkan kuburmu, menerima semua amal ibadahmu, mengampuni dosa-dosamu, dan memberi rumah terbaik untukmu di surga lengkap dengan perpustakaan terindah. Aamiin.
Seminggu sesudahnya saya sekeluarga melakukan perjalanan ke Jawa Tengah, lalu di hari ke sekian kami mengantar Abang dan kakak saya ke stasiun Purwokerto. Selagi lewat di daerah tersebut saya berdoa semoga suatu hari bisa ziarah ke makam Cupi. Lalu 6 bulan kemudian rencana perjalanan untuk ziarah pun terlaksana.